aku temani dia saat hidupnya miskin, bahkan keluarganya pun tidak ada yang mau membantu dirinya. Tapi kenapa di saat hidupnya sudah memiliki segalanya dia malah memiliki istri baru yang seorang janda beranak 2? Lalu bagaimana denganku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB
"Istri durhaka! Kamu dengar itu, Rukayah?! Kau perempuan tak tahu diri! Semua harta itu milik Ramli, bukan milikmu! Kau pikir kau siapa?!"
Ucapan ibu mertua itu menusuk seperti duri, tapi aku hanya berdiri di ambang pintu, bersedekap, lalu tersenyum sinis.
Durhaka?
Ah, betapa mudahnya mereka menyematkan kata itu padaku.
Padahal siapa yang dulu berjuang bersama Ramli dari nol? Siapa yang ikut berpanas-panasan di toko material itu saat belum ada satu pun pelanggan datang? Siapa yang kelola uang, atur pembukuan, sampai usaha itu berdiri tegak seperti sekarang?
Aku.
Bukan ibu mertuaku, bukan saudara-saudara Ramli yang tahunya cuma datang saat minta uang, dan bukan juga Wulan si janda yang datang-datang langsung minta hidup enak.
Tapi lihat sekarang. Begitu aku bersikap tegas, mempertahankan apa yang jadi hak anak-anakku, aku disebut durhaka.
Lucu.
“Kalau saya ini durhaka, Bu,” kataku tenang, menatap mata ibu mertua yang membara, “lalu apa sebutan yang pantas untuk wanita yang merebut suami orang dan memaksanya meninggalkan anak-anaknya?”
Ibu mertua terdiam. Tapi Ramli buru-buru menarik tangannya, seolah ingin melindungi ibunya dari jawabanku.
“Semua harta itu memang atas nama Ramli, Bu. Tapi semua hasil jerih payah saya. Saat Ramli sibuk menuruti godaan wanita murahan, siapa yang jaga toko? Siapa yang bayar karyawan? Siapa yang urus semuanya?”
Aku mendekat satu langkah, lalu menatap tajam ke arah Ramli.
“Ibu boleh ambil Ramli, Bu. Tapi jangan harap aku akan menyerahkan semua ini begitu saja. Aku berjuang untuk harta ini, untuk masa depan anak-anakku. Dan tidak akan ada satu pun dari keluarga Ramli yang bisa menikmati hasil keringatku lagi.”
Wajah ibu mertuaku langsung memerah, seperti air yang baru saja mendidih. Matanya menatapku tajam, penuh kemarahan dan harga diri yang tercabik. Aku bisa lihat bibirnya bergetar, seolah ingin melontarkan makian lain, tapi tak ada satu kata pun yang keluar. Hanya napasnya yang memburu cepat, seperti ingin meledak.
Di sampingnya, Ramli berdiri kaku. Wajahnya juga memerah, tapi bukan karena marah—lebih karena malu dan tersinggung. Aku tahu, kata-kataku barusan menampar egonya sebagai suami, sebagai lelaki yang selama ini merasa masih punya kuasa atas semuanya. Tapi aku tak peduli. Sudah terlalu lama aku diam dan bersabar.
Ramli menunduk perlahan, lalu mencoba membuka suara, suaranya lirih tapi memaksa.
“Rukayah… jangan bawa-bawa keluargaku begitu…”
Aku menyipitkan mata, menatapnya tajam. “Kenapa? Sakit, ya? Dengar ucapan yang benar? Kamu pikir aku selama ini diam karena tidak tahu diri? Aku diam karena aku masih menghargai kita sebagai suami istri. Tapi kamu… kamu yang memulainya dengan membawa perempuan lain ke hidup kita.”
Ibu mertua melangkah maju satu langkah, telunjuknya menunjuk wajahku. “Perempuan macam apa kamu ini, bicara seperti itu pada suami sendiri di depan ibunya?!”
Aku tersenyum miring. “Perempuan yang tidak sudi diperlakukan seperti keset, Bu. Dan perempuan yang tidak akan membiarkan suaminya yang tua bangka itu menghamburkan hasil kerja keras untuk wanita lain.”
Ramli menatapku tak percaya. Tapi aku sudah muak. Kalau ini caranya mereka ingin melawanku, maka aku akan tunjukkan bahwa aku tidak takut—bahkan pada seluruh keluarga Ramli sekalipun.
"Ramli, istri tua kamu sudah kelewatan. Harusnya dia tidak boleh seperti ini sama ibu. Biar bagaimana pun aku ini mertuanya. Harusnya dia tahu bahwa mertuanya lah yang melahirkan suaminya ke dunia ini. Kalau tidak ada anakku, mana mungkin kamu dan Ramli punya segalanya, tapi dengan keluarga sendiri kalian kikir!"
Aku menatap lurus ke arah ibu mertua yang masih berdiri dengan dada membusung, seolah merasa paling benar. Nafasku sudah tidak lagi bergejolak, tapi ucapanku tetap tajam seperti bilah pisau.
“Dengar, Bu. Satu hal yang harus ibu ingat," kataku tenang namun penuh tekanan, “waktu Ramli belum punya apa-apa, saat kami masih makan hanya dari hasil jualan kecil-kecilan, ke mana kalian?”
Ibu mertua mengernyit, hendak menyela, tapi aku tak memberinya kesempatan.
“Waktu itu, jangankan menengok, melihat Ramli pun kalian enggan. Bahkan waktu kami datang ke rumahmu, tatapanmu seolah jijik, seolah kami ini beban. Saudara-saudara yang sekarang sibuk merengek minta uang, dulu bahkan tak peduli Ramli tidur di lantai beralaskan tikar robek.”
"Bu, tolong tenang. Yang kamu hadapi saat ini ibuku, jangan kamu ungkit masa lalu. Dia ini ibuku," ujar suamiku membela bak pahlawan kesingan.
"Diam, kamu! Aku hanya ingin ingatkan bagaimana perlakuan ibu kamu terhadap menantu dan juga cucunya saat hidup kita susah! Apa kamu lupa saat anak pertama kita sakit dan harus dibawa ke rumah sakit? Saat itu kita hanya punya uang untuk makan, sedangkan anak kita butuh perawatan di rumah sakit. lalu apa yang ibu kamu katakan? Saat itu dia bilang itu bukan urusannya. Anakku sakit juga karena ulah ibunya yang tidak becus mengurusnya!"
Aku mendekat selangkah. “Sekarang ketika hidup kami mulai layak, kalian datang... minta ini itu, seakan kalian yang membesarkan dan berpeluh bersamanya. Di mana kalian saat kami susah, Bu? Jangan baru datang saat kami senang.”
Ramli terdiam. Matanya memerah, wajahnya tertunduk. Aku tahu ucapanku menamparnya juga. Tapi ini bukan soal menyakiti, ini soal menyadarkan. Bahwa semua ini bukan didapat dari duduk santai dan berharap orang lain berkorban.
Ibu mertua menggertakkan giginya, tapi aku sudah tak takut lagi.
“Kalian bilang aku istri durhaka? Tapi aku tidak pernah mengambil sepeser pun dari Ramli untuk diriku sendiri. Semua ini aku perjuangkan... dan sekarang, jangan harap kalian bisa merampasnya seenaknya.”
Ibu mertua terdiam. Wajahnya memerah, tapi bukan karena malu—melainkan amarah yang tertahan. Tatapannya menusukku, seolah ingin melubangi dadaku dengan kebencian yang tak bisa ia sembunyikan lagi.
“Sudah! Kalau begini terus, ceraikan saja dia!” bentaknya sambil menunjukku dengan kasar. “Perempuan ini cuma bikin keluarga kita hancur, bikin kamu lupa sama ibumu sendiri, Ramli!”
Aku mengangkat alis, tersenyum sinis menanggapi teriakannya.
“Lucu sekali,” ucapku pelan tapi dingin. “Kalian dulu yang diam saat kami susah, dan sekarang kalian suruh Ramli menceraikan aku? Hanya karena aku nggak mau kasih uang seenaknya ke kalian?”
Ramli terlihat kebingungan. Bibirnya bergerak-gerak seperti ingin bicara, tapi tak satu pun kata keluar.
“Silakan,” aku menatap Ramli tajam. “Kalau memang kamu lebih memilih keluargamu yang hanya muncul saat ada uang, silakan ceraikan aku. Tapi jangan lupa, semua usaha ini atas nama siapa, harta ini siapa yang kelola, dan siapa yang bertahan saat kamu nggak punya apa-apa.”
Ibu mertua menggertakkan giginya. Tapi ia tetap tak bisa membantah. Karena yang aku ucapkan, adalah kebenaran yang mereka coba lupakan.