Hidup Danu berubah total ketika ia menemukan sebuah amplop misterius di depan pintu kosnya. Di dalamnya, terselip sepucuk surat dengan kertas usang dan bau kayu basah yang aneh.
“Untuk Danu Setyawan. Baca saat sendirian.“
Awalnya Danu mengira surat itu hanyalah lelucon dari dosen atau senior iseng. Tapi rasa penasaran mengalahkan logikanya. Sampai ia benar-benar membaca isinya…
“Kepada Danu,
Aku tahu ini terdengar aneh, tapi kamu telah menjadi suamiku secara sah sejak 7 hari yang lalu.
Aku, Nyai Laras, menyerahkan seluruh harta dan rumahku kepadamu, sebagaimana tertulis dalam surat wasiat ini.
Datanglah ke Desa Pagarjati dan tinggallah bersamaku, sebagaimana janji yang pernah kamu buat,
meski kamu mungkin tidak mengingatnya.
Hormatku,
Nyai Laras.“
***
Lalu, siapakah sebenarnya Nyai Laras? Apakah Danu hanya korban lelucon terencana? Atau justru kebenaran mengarah ke sesuatu yang jauh lebih mengerikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kembali tanpa waktu
Pagi datang pelan-pelan, menyusup di sela dinding bambu gubuk. Kabut masih tebal, menggantung rendah seperti selimut raksasa yang belum sepenuhnya terangkat. Udara menusuk kulit, dingin dan basah. Danu terbangun pelan. Punggungnya pegal, tapi yang membuatnya terjaga bukan hanya dingin, melainkan… keheningan.
Tak ada suara Nyai Laras. Tak ada aroma melati. Tak ada api di tungku.
Danu bangkit dari tikarnya, menggosok mata, dan memanggil pelan, "Nyai?"
Tak ada jawaban.
Ia melangkah keluar gubuk. Kabut menyelimuti seluruh hutan. Udara pagi terasa aneh, terlalu senyap. Seperti dunia sedang menahan napas.
"Nyai Laras?" panggilnya lagi.
Langkahnya menapaki tanah lembap di sekitar gubuk. Tapi anehnya, tidak ada jejak. Tidak ada bekas orang berjalan keluar atau masuk. Dan saat ia berbalik untuk memastikan gubuk masih di belakangnya…
Gubuk itu tak ada.
Hanya semak-semak dan pohon tua dengan batang miring. Seolah gubuk yang ia tiduri semalam hanyalah mimpi. Danu tertegun. Ia memutar badannya ke segala arah, panik, mencoba menelusuri ulang langkahnya.
"Apa-apaan ini…," desisnya.
Ia menyusuri sekitar. Dan tiba-tiba, dari balik semak, ia melihat sesuatu tergantung di dahan pohon kecil. Sebuah kalung, dengan liontin berbentuk bunga melati. Bukan hanya bentuknya yang familiar, tapi liontin itu pernah ia lihat… di mimpi tadi malam.
Tangannya bergetar saat meraihnya. Dan saat liontin itu menyentuh telapak tangannya… sekelebat bayangan muncul di benaknya, diri Danu yang lebih muda, mengenakan baju pengantin Jawa, berdiri di samping wanita bersanggul dengan selendang batik dan tatapan sendu.
Suaranya bergema dalam kepala:
"Aku akan tetap menunggumu, meski kau lupa. Tapi jika suatu hari kau kembali… maka janjimu akan kutagih."
Danu tersentak. Napasnya tercekat.
Dan lebih mengejutkan lagi, di balik kalung itu, tersembunyi sebuah foto kecil, tua, sudah kekuningan. Di dalam foto itu, dirinya. Jelas. Tapi bukan di masa kini. Ia terlihat muda, mengenakan pakaian adat, menggenggam tangan seorang perempuan yang menunduk anggun. Wajah perempuan itu… Sangat asing untuk nya.
Hanya saja… ia tidak tampak setua yang ia lihat semalam. Ia muda. Cantik. Dan di sudut bawah foto itu, tertulis dengan tinta pudar:
“Laras & Danar, 12 Sura 1986.”
Danu menjatuhkan foto itu.
Danar? pikirnya. "Nama kecilku…"
Danu masih berdiri mematung di tengah kabut saat selembar kain putih tergantung di dahan pohon tak jauh darinya mencuri perhatian. Bukan sembarang kain, itu selendang Nyai Laras. Di ujungnya, terselip sebuah lontar kecil yang digulung dan diikat dengan benang merah.
Danu sedikit takut saat membukanya.
Tulisan tangan halus dan miring terpampang jelas di permukaannya:
"Mas Danu…
Terima kasih telah memilih tinggal meski hatimu ragu. Aku tak bisa menunggumu lagi di sini. Tapi jawabanmu sudah cukup membuatku tahu… ingatan itu belum benar-benar hilang. Liontin itu bukan sekadar hiasan. Itu adalah saksi. Simpanlah.
Turunlah sebelum matahari tepat di atas kepala. Jangan kembali menoleh. Tak semua yang tertinggal bisa kau bawa pulang.
Ikuti suara gemercik air, sampai kau temui pohon kembar. Lurus dari sana, sampai tanah menjadi berpasir dan kabut tak lagi menempel di kulitmu.
Maaf… untuk segalanya.
– L”_
Danu membaca ulang, memastikan ia tak salah paham. Tapi tak ada tanda tangan, tak ada nama lengkap. Hanya satu huruf—L.
Pohon kembar.
Ia menoleh ke sekeliling dan menyipitkan mata. Kabut perlahan menipis, dan samar, di kejauhan, dua batang pohon yang tumbuh sejajar, identik, seperti penjaga hening di tengah hutan.
Danu menapakkan kaki dengan pelan. Langkah pertamanya terasa berat, seolah meninggalkan sesuatu yang tak terlihat tapi erat. Tapi ia terus berjalan. Melewati semak basah, daun-daun licin, dan gemercik air yang akhirnya terdengar di telinganya, memandu langkah seperti yang tertulis di pesan.
Saat matahari mulai naik dan bayangannya memendek, Danu sampai di tanah yang lebih berpasir. Kabut benar-benar hilang. Hutan terasa lebih nyata. Suara burung mulai terdengar. Jalanan kecil terbuka di depannya.
Dan Danu terus melangkah, melewati hutan yang sepi, sendirian, tapi dengan liontin itu tergenggam erat di tangan kanan nya.
Sampainya di rumah singgah, Danu menatap rumah itu dengan langkah ragu, tubuhnya masih terasa dingin meski matahari tepat berada di atas kepala. Debu jalanan desa menempel di sepatunya, dan peluh masih menetes di pelipisnya. Begitu kakinya menginjak anak tangga pertama, pintu rumah terbuka.
"DANU!!"
Teriakan itu nyaring, menggema di telinganya.
Galang berlari cepat dari dalam rumah, disusul Bima dan Naya. Wajah mereka campur aduk, panik, lega, dan amarah yang ditahan.
"Lo dari mana aja, Nu!?" Galang langsung menarik lengannya, menatapnya dari ujung kepala hingga kaki. "Lo kenapa!? Apa yang terjadi? Kenapa lu baru balik sekarang!?"
Danu mengerutkan dahi. "Hah? ngomong apa sih? Kan gue pergi cuman semalem—"
"CUMA!?" potong Naya, nadanya meninggi. "Lo tau ini udah hari keberapa sejak lo naik ke lereng!?"
Danu terdiam.
Bima maju, wajahnya lebih tenang, tapi sorot matanya menyiratkan kecemasan yang belum reda. "Hari ketiga, Nu. Hari ketiga lo nggak balik-balik. Kita udah hampir minta bantuan tim SAR."
"Apa...?" Danu menatap mereka satu per satu. "Enggak, kalian pasti becanda... Jelas gue naik ke sana kemarin sore. Dan itu cuman nginep semalam. Terus turun pagi ini."
Naya menggeleng keras, napasnya tercekat. "Danu... Lo hilang sejak dua malam yang lalu. Kita nunggu lo pulang malam itu. Gak ada kabar. Kita pikir lo cuma salah jalan. Tapi sampai keesokan harinya... lo nggak balik. Terus tadi pagi, ada warga yang katanya lihat lo jalan dari arah hutan. Makanya kami tunggu di sini."
Danu melangkah mundur setengah langkah. Kepalanya berat, matanya berkunang. Ia mencoba mengingat detik-detik kemarin sore. Hujan. Aroma melati. Gubuk tua. Nyai Laras. Api di tungku. Tapi semua terasa terlalu nyata untuk disebut ilusi…
"Tapi gue yakin banget, Nay... itu baru semalam," gumamnya.
Bima menatap Danu tajam. "Lo yakin nggak sempat pingsan atau semacamnya? Atau... lo nggak ngelewatin tempat aneh?"
"Sangat yakin. Gue justru nginep... di tempat Nyai Laras," akhirnya ia berkata. "Dia bilang... gue harus milih buat nginep semalam. Lalu pagi nya kita turun bersama"
"Lalu… Nyai Laras di mana sekarang?" tanya Naya cepat, seperti tidak bisa menahan pertanyaan itu lebih lama lagi.
Danu menatap Naya, sejenak terdiam. Lidahnya kelu. Kalau ia jujur dan bilang Nyai Laras menghilang begitu saja di antara kabut, mungkin teman-temannya akan menganggapnya sudah terlalu jauh terseret dalam dunia yang tidak bisa dijelaskan.
"Aku... sempat ke rumah kerabatnya dulu," jawab Danu akhirnya, menghindari tatapan mereka. "Dia minta aku turun lebih dulu. Ada urusan katanya."
Ketiganya saling berpandangan, dan meski tak ada yang menyela, keheningan itu menyiratkan ketidakpercayaan.
Galang menyipitkan mata, memperhatikan Danu dengan seksama. Ia menatap mata sahabatnya itu, lalu menggeser pandangan ke tangan Danu yang terlihat menggenggam sesuatu erat-erat, meski Danu cepat-cepat menyelipkan tangan itu ke dalam saku jaketnya.
"Kau yakin, Nu?" suara Galang terdengar pelan, tapi dalam. "Yakin itu yang sebenarnya?"
Danu menoleh pelan, menatap Galang. Wajahnya berusaha datar, tapi jelas ada keraguan di matanya.
"Gue... yakin," katanya singkat.
Namun Galang tidak melanjutkan pertanyaannya. Ia hanya menatap langit siang yang sudah mulai terasa panas, lalu melangkah ke arah sisi rumah. Berdiri di sana, diam beberapa detik, sebelum akhirnya berkata, "Gue rasa kita harus keluar dari desa ini."
"Ha?" Naya menoleh, kaget. "Kenapa?"
Bima pun menyipitkan mata. "Lo ngerasa ada yang salah?"
Galang mengangguk pelan. "Entah... tapi perasaanku nggak enak. Semua ini... terasa nggak wajar. Danu hilang tiga hari tapi merasa cuma semalam. Desa ini... Nyai itu... Semuanya aneh."
Danu masih diam. Tangannya mengepal di dalam saku. Liontin itu terasa dingin sekarang, berbeda dari tadi pagi yang hangat, seolah menyatu dengan tubuhnya. Ia tidak bisa menjelaskan kenapa ia tak ingin menunjukkannya pada siapa pun.
"Danu?" panggil Naya pelan. "Lo nggak keberatan, kan? Kalau kita pergi dari sini dulu?"
Danu menoleh perlahan. Matanya menatap tiga orang di depannya, teman-temannya yang sudah seperti keluarganya sendiri. Lalu ia mengangguk pelan.
"Ya. Ayo kita pergi."
Tidak ada yang bicara sepanjang beberapa detik setelah itu. Tapi keputusan sudah dibuat.
*****
Setelah menenangkan diri dan mengemasi barang-barang secukupnya, mereka berempat berjalan menuju rumah kepala desa. Mereka sepakat untuk berpamitan secara sopan sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu. Jalan setapak yang biasanya terasa biasa saja, kini seperti mengandung bisikan asing. Sunyi... terlalu sunyi untuk siang hari.
Rumah kepala desa berdiri di ujung barat desa, tidak terlalu besar, tapi khas, berbahan kayu tua dan beratap genteng merah gelap. Saat mereka tiba, pintu rumah itu tertutup rapat.
"Pak Kades?" seru Danu, mengetuk pelan pintu.
Tak ada jawaban.
"Pak Kades!" ulang Galang, kali ini lebih keras.
Masih tak ada respons. Rumah Pak Kades terlihat sepi. Tidak ada lampu, tidak ada suara. Bahkan halaman depan yang biasanya bersih, kini tertutup dedaunan kering seperti tak pernah disapu.
"Ini bener kan rumah yang kemarin kita datangi?" Tanya Bima sambil mengetuk pintu pelan.
Naya melongok ke jendela. "Ini kayak… kosong banget."
"Cuma rumah ini yang gelap. Rumah warga yang lain masih ada aktivitas." Galang melirik ke arah gang kecil di seberang jalan.
"Tapi nggak ada yang lewat juga," gumam Naya.
Danu hanya berdiri diam, matanya menatap daun pintu yang tak bergerak. Hatinya tidak tenang, tapi ia tidak bisa bilang kenapa. Liontin di sakunya makin dingin, nyaris menusuk kulit.
Setelah hampir setengah jam menunggu, mereka pun sepakat.
"Udahlah, kita pergi aja. Pamitnya nanti bisa by phone. Kita cuma tamu di sini," ujar Bima akhirnya.
Mereka akhirnya memutuskan kembali berjalan menelusuri jalan setapak untuk menuju kearah mobil Bima.
Sampainya di mobil silver itu, Galang duduk di belakang bersama Naya, Danu duduk di depan, di samping Bima yang langsung menyalakan mesin.
Mobil pun melaju perlahan melewati jalanan kecil desa. Pepohonan di kiri kanan jalan seperti lebih rapat dari biasanya. Tapi mereka tetap diam. Tak ada yang ingin bicara lebih dulu.
Saat mobil hendak meninggalkan gapura desa, Danu tanpa sengaja menoleh ke spion tengah.
Jantungnya nyaris berhenti.
Seorang perempuan berdiri tepat di tengah jalan yang baru saja mereka lewati. Rambutnya digelung rapi, mengenakan kebaya lusuh, dan wajahnya tersenyum hangat.
Nyai Laras.
Ia tidak mengejar. Tidak menatap dengan marah. Ia hanya berdiri… melambai pelan, seolah melepas Danu pergi dengan tenang.
Senyumnya tulus. Bahkan damai.
Danu menatap bayangan itu, membeku di tempatnya. Napasnya tercekat. Tapi detik berikutnya, sosok itu perlahan menghilang di balik debu yang terangkat oleh roda mobil.
Ia tidak mengatakan apa-apa. Tak satu pun kata keluar dari bibirnya. Hanya genggaman tangan di saku semakin erat.
Liontin itu kini hangat lagi. Seperti berdetak perlahan… mengikuti degup jantungnya.
*****
Beberapa jam kemudian, saat mobil mulai memasuki jalur aspal besar yang mengarah ke kota, suasana di dalam mobil perlahan mencair. Pepohonan lebat yang tadi seperti mengurung mereka mulai berganti dengan ladang luas dan bukit di kejauhan. Sinar matahari lebih terang, jalanan lebih ramai.
Bima membuka kaca jendela sedikit. Ia menghela napas panjang, lalu menoleh ke Danu dengan senyum tipis.
"Gila sih… perjalanan ini kayak… kita masuk ke negeri dongeng," katanya akhirnya. "Tapi versi yang aneh banget."
Galang tertawa kecil dari belakang. "Nggak salah. Kita kayak nginep di tengah naskah film horror, terus paginya nongol di drama keluarga, siangnya… kabur dari desa yang entah ada entah nggak."
Naya menyandarkan kepala ke jendela, ikut nyengir. "Tapi lucu juga sih. Kita semua datang buat liburan… ujung-ujungnya kayak bertamu ke dunia lain."
"Gue masih mikir," Bima menyambung, "itu Nyai Laras beneran manusia biasa, atau kita halu bareng-bareng? Tapi yang jelas, dia baik… aneh, tapi baik."
Galang menimpali, "Iya. Dan rumah Pak Kades yang kosong tadi… itu bagian paling creepy. Tapi mungkin aja mereka pergi dadakan atau ada urusan."
Danu hanya tersenyum samar, masih menatap jalan di depan.
"Gue juga nggak ngerti kenapa kita bisa ngalamin semua itu," gumamnya akhirnya. "Tapi… rasanya kayak kejadian yang udah nungguin kita dari lama. Kita cuma… dateng di waktu yang pas."
Semua terdiam sebentar. Hanya suara mobil dan angin yang masuk dari jendela.
Lalu Galang tertawa pelan. "Coba bayangin, kita cerita ini ke temen-temen kampus. Mereka pasti mikir kita baru ikut ritual aneh di gunung."
Naya tertawa juga. "Kita tinggal nambahin satu bab lagi: 'dan ternyata ada satu dari kita yang bawa pulang benda dari sana untuk kenang-kenangan.’"
Danu langsung menoleh sekilas, sedikit kaget. Tapi Galang dan Bima hanya tertawa, tidak sadar apa yang barusan Naya ucapkan.
Danu buru-buru mengalihkan pandangannya ke luar jendela, menggenggam erat saku jaketnya. Liontin itu tetap tersembunyi. Dan entah kenapa… dia merasa memang belum waktunya untuk menceritakannya. Belum sekarang.