Lintang Anastasya, gadis yang bekerja sebagai karyawan itu terpaksa menikah dengan Yudha Anggara atas desakan anak Yudha yang bernama Lion Anggara.
Yudha yang berstatus duda sangat mencintai Lintang yang mengurus anaknya dengan baik dan mau menjadi istrinya. Meskipun gadis itu terus mengutarakan kebenciannya pada sang suami, tak menyurutkan cinta Yudha yang sangat besar.
Kenapa Lintang sangat membenci Yudha?
Ada apa di masa lalu mereka?
Apakah Yudha mampu meluluhkan hati Lintang yang sekeras batu dengan cinta tulus yang ia miliki?
Simak selengkapnya hanya di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15. Mendonorkan darah
Lintang termenung. Menatap ke arah luar jendela. Ternyata hengkang dari kantor Yudha pun tak membuat hatinya tenang. Rasa bersalah kini hadir mengingat wajah lucu Lion yang ingin terus bersamanya. Sepertinya kebahagiaan masih jauh. Cerahnya sinar mentari tak secerah harapan yang kian berliku dan redup.
Semalaman penuh Lintang tak bisa tidur. Lion bagaikan hantu yang terus melintasi otaknya. Berlarian di atas lantai putih mengkilap dengan bibir yang terus menirukan bunyi kendaraan itu membuat Lintang tak bisa lupa. Sosok mungil yang selalu bertanya membuat jatuh hati dan ingin mendekapnya.
"Lintang…" Suara Arif dari depan membuyarkan lamunan nya.
Lintang merapikan rambut lalu bajunya, meraih tas dan juga surat lamaran kerja yang sudah disiapkan. Setelah itu keluar membuka pintu.
"Apa kamu sudah siap?" tanya Arif menatap penampilan Lintang yang sangat rapi. Memakai kemeja putih dengan rok hitam selutut. Make up natural dan rambut tetap terurai panjang menyempurnakan kecantikan gadis itu.
"Sudah, Mas. Kita berangkat sekarang."
Arif menatap jam yang melingkar di tangannya lalu mengangguk.
Lintang ke kamar sang ibu untuk berpamitan. Memastikan jika wanita itu dalam keadaan baik.
"Doain Lintang, Bu. Semoga kali ini Lintang mendapatkan tempat yang nyaman dan bisa melupakan masa lalu. Aku berjanji akan mencari uang yang banyak supaya ibu bisa berobat."
Mengusir kekhawatiran, untuk yang kesekian kali harus meninggalkan ibunya sendiri di rumah. Tak ada pergerakan apapun, namun air mata yang membasahi pelipis bu Fatimah adalah tanda, jika sedikit-sedikit wanita itu merespon setiap ucapan Lintang.
Setelah menitipkan kunci rumah pada Luna, Lintang mengeluarkan motornya dari teras.
Baru saja memakai helm, sebuah mobil mewah masuk dari arah pagar. Lintang mengurungkan niatnya, meminta Arif untuk berangkat lebih dulu.
Mobil siapa itu, jangan jangan __" Lintang tak meneruskan terkaannya, takut salah tebak.
"Kamu sudah tahu alamatnya, kan?" tanya Arif memastikan.
"Sudah, Mas. Nanti aku nyusul. Kalau salah bisa telepon."
Arif segera berlalu, takut terlambat.
Lintang menatap gerangan yang baru saja keluar dari mobil tadi. Tebakannya salah, ia pikir itu adalah Adam. Ternyata dia adalah orang yang sudah lima tahun meninggalkan rumah. Orang yang tega menghempaskan ibunya saat jiwanya terguncang.
Dia adalah Julianto, ayah Lintang yang tega pergi dari rumah setelah ibunya dinyatakan terkena gangguan jiwa.
"Mau apa kamu ke sini?" tanya Lintang tanpa menghadap. Menyembunyikan wajahnya yang sedikit merebak. Panggilan ayah rasanya sudah tak pantas di sematkan untuk pria itu. Demi apapun, jiwa Lintang terlanjur tercabik-cabik hingga remuk. Sudah terlalu sakit untuk memaafkan.
Sang ayah menatap langit-langit rumah yang nampak lapuk, genting menghitam hingga cat tembok yang mengelupas. Lebih parah saat ia tinggalkan.
"Kamu apa kabar, Nak." Mengulurkan tangannya di depan Lintang. Namun tak di terima oleh gadis itu yang memilih untuk melipat kedua tangannya.
"Aku sangat baik, dan lebih baik setelah kamu pergi, aku tidak punya waktu banyak, silahkan pergi dari rumah ini!" Lintang menunjuk ke arah jalan yang ada di depan rumahnya.
Pak Juli menunduk, raut wajahnya tampak ditekuk, entah apa yang dipikirkan, Lintang pun tak tahu.
"Ayah ke sini ingin minta tolong sama kamu," ucapnya penuh keraguan. Malu pada Lintang yang lebih tegar daripada dirinya.
"Adik tiri kamu kecelakaan, dia butuh darah, sedangkan di seluruh rumah sakit stoknya kosong. Dari semua keluarga hanya golongan darah kamu yang sama dengannya."
Plok Plok Plok
"Wow keren," Lintang menghela nafas panjang. Mengacungi jempol ayahnya yang nampak melas.
"Ternyata kamu ke sini mengemis demi anak dari simpananmu. Bagaimana kalau aku menolak?"
Pak Juli berlutut di depan Lintang, membuang rasa malu demi seorang putri yang kini terkapar di rumah sakit. Hanya dirinya yang bisa menentukan semuanya.
"Ayah mohon, Lin. Apapun yang kamu minta pasti ayah akan turuti. Asalkan kamu mau mendonorkan darahmu untuk Indira."
Sebegitu pentingkah dia bagi ayah, demi dia ayah rela berlutut di depanku, anak sendiri. Tapi kenapa hanya sekedar menemaniku wisuda ayah tidak mau, bahkan ayah mengusirku dengan kasar. Apa aku terlalu hina di mata ayah.
Jika mengingat itu, belas kasih terbang ke angkasa. Buliran bening lolos membasahi pipi Lintang. Dadanya kembali sesak, bertubi-tubi masalah datang silih berganti hingga membuatnya tak bisa bebas.
"Percuma saja ayah memohon, karena sampai kapanpun aku tidak akan memberikan darahku untuk Indira."
Lintang meninggalkan pak Juli yang masih bersimpuh di lantai.
Suara mesin motor semakin jauh membuat pak Juli menoleh, menatap punggung Lintang yang menghilang di ujung jalan.
Ayah memang salah, Lin. Ayah salah sudah meninggalkan kamu dan ibumu. Ayah sudah menyia-nyiakan kalian demi wanita lain. Sekarang apa yang bisa ayah lakukan untuk menebus semuanya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Mbak, di mana kamar pasien atas nama Indira?" tanya wanita cantik pada petugas resepsionis rumah sakit.
"Silahkan ikut saya, Mbak." Salah satu suster mengantar tamunya.
"Itu kamarnya." Menunjuk salah satu ruangan yang ada di bagian pinggir. Dua orang duduk di kursi besi. Mereka menangis sesenggukan dan saling merangkul.
"Aku dengar dia butuh darah, suster ambil darahku saja, tapi jangan sampai keluarganya tahu kalau aku yang menyumbangkan darah. Bilang saja kalau stok darah di rumah sakit ini memang sudah datang."
"Baik, saya akan memeriksa Mbak dulu. Setelah itu baru bisa diambil darahnya."
Langkah pak Juli lunglai, seakan tak ada kekuatan untuk kembali ke rumah sakit. Namun, semua butuh dirinya termasuk Indira yang kini berjuang melawan maut.
Menatap nanar ke arah ruangan Indira yang tertutup rapat. Matanya terpejam, tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika sampai tidak mendapatkan darah seperti milik putrinya.
"Papa, kamu dari mana saja? Aku hubungi tidak aktif." Seorang wanita menepuk lengan Pak Juli yang baru saja bersandar di dinding.
"Mama, papa dari luar, mencari pendonor untuk anak kita."
Ya, dia adalah Sovia, wanita yang sudah berhasil merebut hati seorang Julianto.
Senyum merekah terbit di bibir Sovia.
"Stok darah di rumah sakit ini sudah datang, jadi papa tidak perlu khawatir lagi. Dokter sudah berhasil mentransfusi darah untuk Indira."
"Mama yakin?" tanya pak Juli antusias.
Sovia mengangguk, menggiring suaminya menuju kamar putrinya.
Meskipun hidupku menderita, setidaknya kalian bahagia. Cepat sembuh Indira. Pasti ayahmu sangat menyayangimu.
Wanita yang terlihat pucat itu berjalan sempoyongan keluar dari rumah sakit. Tak menghiraukan tubuhnya yang terasa lemas demi menyembunyikan identitas dirinya dari dokter yang lain. Namun sayang, seorang pria sudah melihat semuanya.
"Terima kasih, Kakak. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu. Tapi aku akan menjaga rahasia ini sampai waktu yang akan membongkar semuanya."
🤡 lawak kali kau thor