NovelToon NovelToon
Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Epik Petualangan / Fantasi Timur / Balas Dendam
Popularitas:11.8k
Nilai: 5
Nama Author: Kokop Gann

Di puncak Gunung Awan Putih, Liang Wu hanya mengenal dua hal: suara lonceng pagi dan senyum gurunya. Ia percaya bahwa setiap nyawa berharga, bahkan iblis sekalipun pantas diberi kesempatan kedua.

Namun, kenaifan itu dibayar mahal. Ketika gurunya memberikan tempat berlindung kepada seorang pembunuh demi 'welas asih', neraka datang mengetuk pintu. Dalam satu malam, Liang Wu kehilangan segalanya: saudara seperguruan dan gurunya yang dipenggal oleh mereka yang menyebut diri 'Aliansi Ortodoks'.

Terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan kuil yang terbakar, Liang Wu menyadari satu kebenaran pahit: Doa tidak menghentikan pedang, dan welas asih tanpa kekuatan adalah bunuh diri.

Ia bangkit dari abu, bukan sebagai iblis, melainkan sebagai mimpi buruk yang jauh lebih mengerikan. Ia tidak membunuh karena benci. Ia membunuh untuk 'menyelamatkan'.

"Amitabha. Biarkan aku mengantar kalian ke neraka, agar dunia ini menjadi sedikit lebih bersih."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Gerbang Kota Yan

Jalan raya menuju Kota Yan bukanlah jalan tanah becek seperti di desa, melainkan jalan yang dilapisi batu kapur abu-abu. Batu-batu itu dingin dan keras, sama seperti hati kota yang menanti di ujung sana.

Liang Wu berjalan di antara rombongan pedagang pagi dan petani yang membawa hasil bumi. Dia menundukkan kepalanya, caping jeraminya menutupi sebagian besar wajahnya. Parang karatannya disembunyikan di balik gulungan tikar jerami yang dia panggul di punggung, menyamar sebagai pengembara miskin yang mencari kerja.

Saat matahari mulai naik, tembok Kota Yan terlihat.

Tembok itu tinggi, lima belas meter dari batu granit hitam. Di atasnya, bendera biru Sekte Pedang Azure berkibar malas, bersanding dengan bendera emas Kekaisaran Naga Langit.

Namun, yang membuat langkah Liang Wu melambat bukanlah tembok itu, melainkan antrean di gerbangnya.

Pemeriksaan hari ini sangat ketat.

Dua baris penjaga berdiri di gerbang. Satu baris adalah prajurit Kekaisaran berbaju zirah besi, memeriksa barang bawaan. Baris lainnya adalah murid luar Sekte Pedang Azure, memegang cermin tembaga kecil—Artefak Pendeteksi Qi.

Setiap orang yang masuk harus melewati cermin itu. Jika cermin bersinar, berarti orang itu adalah kultivator. Dan setiap kultivator tanpa lencana resmi akan ditahan untuk interogasi.

Liang Wu bersembunyi di balik gerobak jerami seorang petani, mengamati.

"Nama?" tanya penjaga Kekaisaran pada seorang pria kekar di depan.

"Bao, Tuan. Tukang pandai besi."

Murid Sekte Azure mengarahkan cermin ke dada pria itu. Cermin tidak bereaksi.

"Lewat."

Berikutnya, seorang pemuda berpakaian rapi. Saat cermin diarahkan, cahaya redup muncul.

"Berhenti!" bentak murid Azure. "Kau kultivator? Tingkat berapa?"

"Pengumpulan Qi Tingkat 2, Tuan. Saya hanya murid bela diri di selatan..."

"Ikut kami ke pos. Kami perlu memverifikasi identitasmu. Banyak sisa iblis kuil yang berkeliaran."

Pemuda itu diseret paksa. Wajahnya pucat ketakutan.

Liang Wu menggertakkan gigi di balik capingnya. Dia berada di Tingkat 7 Pengumpulan Qi. Cermin itu akan bersinar terang seperti matahari jika diarahkan padanya. Dia tidak bisa lewat.

Dia mundur perlahan, keluar dari antrean, berpura-pura membetulkan tali sandalnya di pinggir jalan.

Dia butuh jalan lain.

Matanya menyapu sekeliling. Tembok kota dilindungi formasi mantra, memanjatnya sama saja bunuh diri. Sungai yang mengalir ke dalam kota dipasang jeruji besi di bawah air.

Lalu, dia melihatnya.

Di jalur khusus yang terpisah dari antrean utama—jalur yang biasanya digunakan untuk membuang sampah atau kotoran—ada sebuah gerobak kayu tua yang ditarik oleh seekor keledai kurus.

Gerobak itu tertutup terpal hitam yang dekil. Baunya... Liang Wu mengenal bau itu. Bau formalin murah, kapur barus, dan daging busuk.

Itu adalah gerobak Rumah Duka.

Seorang kakek tua bungkuk sedang berdebat dengan penjaga di jalur itu.

"Ayolah, Tuan Prajurit," suara kakek itu serak. "Roda gerobakku patah satu ruji. Keledaiku tua. Aku butuh bantuan untuk mendorongnya masuk. Mayat-mayat ini harus dikubur sebelum tengah hari atau baunya akan membuat Walikota marah."

Penjaga itu menutup hidungnya, jijik. "Itu urusanmu, Pak Tua Ma! Jangan minta kami mendorong mayat orang miskin yang mati kena wabah! Cepat jalan atau kami bakar gerobakmu di sini!"

"Tapi Tuan... berat..."

Liang Wu melihat kesempatan itu.

Dia berdiri, menepuk debu di celananya, dan berjalan mendekat dengan langkah berat seorang kuli kasar. Dia mengubah postur tubuhnya, membungkuk sedikit agar terlihat lebih pendek namun kekar.

"Tuan Tua," sapa Liang Wu dengan suara yang dibuat sengau. "Butuh tenaga?"

Kakek tua itu—Pak Tua Ma—menoleh. Matanya yang rabun menyipit melihat sosok bercaping itu. "Kau siapa, Anak Muda?"

"Saya perantau. Kehabisan uang. Belum makan dua hari," Liang Wu menunjuk perutnya. "Saya bantu dorong gerobak Tuan sampai ke dalam, Tuan beri saya dua keping tembaga untuk beli bakpao. Bagaimana?"

Pak Tua Ma menatap Liang Wu, lalu menatap penjaga yang sudah tidak sabar.

"Dua tembaga? Mahal sekali. Satu tembaga dan sisa roti kerasku."

"Sepakat."

Liang Wu tidak banyak bicara. Dia langsung pergi ke belakang gerobak. Baunya memang menyengat. Di balik terpal itu, ada tumpukan mayat orang miskin atau pengemis yang tidak punya keluarga, yang akan dibawa ke Rumah Duka untuk didata sebelum dibakar massal.

"Hiiyaa!" Pak Tua Ma memecut keledainya.

Liang Wu mendorong. Dia menyalurkan sedikit Qi ke otot lengannya—sangat sedikit, hanya agar terlihat kuat secara fisik tanpa memicu fluktuasi energi. Gerobak berat itu bergerak lancar seolah kosong.

Mereka mendekati gerbang.

Penjaga Kekaisaran melambaikan tangan, menutup hidung dengan kain. "Cepat! Cepat! Bau sekali!"

Tapi murid Sekte Azure yang memegang cermin itu melangkah maju. Dia masih muda, mungkin baru bergabung, dan terlalu rajin.

"Tunggu," kata murid itu. Dia mengarahkan cermin ke arah gerobak.

Jantung Liang Wu berdegup kencang. Dia menundukkan kepalanya lebih dalam, berpura-pura batuk-batuk parah. "Uhuk! Uhuk! Bau mayat ini... uhuk!"

Murid itu ragu-ragu. Dia jijik mendekat. Dia mengarahkan cerminnya ke arah Pak Tua Ma—tidak ada reaksi. Lalu dia mengarahkan ke arah tumpukan mayat di gerobak.

Tidak ada reaksi. Mayat tidak punya Qi.

Lalu cermin itu bergerak ke arah Liang Wu yang ada di belakang gerobak.

Liang Wu menahan napas. Dia menggunakan teknik Penyembunyian Kura-kura.

Cermin itu berkedip redup. Sangat redup.

"Hmm?" Murid itu mengerutkan kening. "Ada sedikit fluktuasi..."

"Itu energi kematian, Tuan Muda!" seru Pak Tua Ma cepat. "Anak ini baru saja memegang kaki mayat yang kena kolera tadi untuk membetulkan posisinya. Hati-hati, Tuan, penyakitnya menular lewat napas!"

Liang Wu batuk lagi, kali ini lebih keras dan berdahak. Dia meludah ke tanah—ludah yang sengaja dia campur dengan sedikit darah dari gusi yang dia gigit.

"Maaf Tuan... uhuk... kepala saya pusing..."

Melihat ludah berdarah itu, murid Sekte Azure langsung melompat mundur dua langkah. Wajahnya pucat. Bagi kultivator muda, penyakit menular fana adalah hal yang menjijikkan dan "kotor".

"Pergi! Pergi!" usir murid itu sambil mengibaskan tangan. "Jangan bawa wabah ke sini!"

"Terima kasih, Tuan! Terima kasih!"

Pak Tua Ma memecut keledainya lagi. Liang Wu mendorong.

Roda gerobak berderit melintasi ambang gerbang batu. Bayangan tembok kota menelan mereka.

Mereka masuk.

Begitu sampai di jalanan kota yang ramai namun kumuh—distrik pinggiran tempat orang miskin tinggal—Pak Tua Ma menghentikan gerobaknya.

"Kerja bagus, Nak," kata Pak Tua Ma, melempar sekeping koin tembaga dan sepotong roti keras yang sudah berjamur sedikit. "Kau kuat juga. Jarang ada orang muda yang mau dekat-dekat mayat."

Liang Wu menangkap koin itu. Dia menggigit rotinya tanpa ragu. Setelah makan tikus, roti berjamur ini terasa enak.

"Saya butuh kerja tetap, Tuan Tua," kata Liang Wu, tidak beranjak. "Satu tembaga tidak cukup untuk hidup."

Pak Tua Ma menatap Liang Wu. Dia melihat pakaian petani yang kotor, caping yang menutupi wajah, dan tangan yang diperban. Tapi dia juga melihat kekuatan.

"Kerja di Rumah Duka bukanlah kerjaan enak. Gajinya kecil, baunya busuk, dan orang-orang meludah saat melihatmu lewat. Kau yakin?"

Liang Wu mendongak sedikit, memperlihatkan separuh wajah kanannya yang utuh, dan seulas senyum tipis yang dingin.

"Saya lebih suka mayat daripada orang hidup, Tuan Tua. Mayat tidak berbohong."

Pak Tua Ma tertawa kekeh. "Bocah aneh. Baiklah. Ikut aku ke Rumah Duka Pemakaman Barat. Kita lihat apakah kau punya nyali untuk memandikan mereka yang mati penasaran."

Liang Wu mengangguk. Dia memakan rotinya sambil berjalan di samping gerobak mayat.

Kota Yan bising dan penuh warna, tapi mata Liang Wu hanya tertuju pada kegelapan di balik gang-gang sempitnya. Dia telah berhasil menyusup ke dalam perut musuh.

Dan sekarang, saatnya bekerja.

1
azizan zizan
jadi kuat kalau boleh kekuatan yang ia perolehi biar sampai tahap yang melampaui batas dunia yang ia berada baru keluar untuk balas semuanya ..
azizan zizan
murid yang naif apa gurunya yang naif Nih... kok kayak tolol gitu si gurunya... harap2 si murid bakal keluar dari tempat bodoh itu,, baik yaa itu bagus tapi jika tolol apa gunanya... keluar dari tempat itu...
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yeaaah 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Waooow 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Misi dimulai 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Cerita bagus...
Alurnya stabil...
Variatif
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sukses 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sapu bersih 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Hancurken 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yup yup yup 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Jlebz 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Rencana brilian 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Dicor langsung 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Bertambah kuat🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Semangat 🦀🍄
Wiji Lestari
busyet🤭
pembaca budiman
saking welas asihnya ampe bodoh wkwkwm ciri kas aliran putih di novel yuik liang ambil alih kuil jadiin aliran abu² di dunia🤭
syarif ibrahim
sudah mengenal jam kah, kenapa nggak pake... 🤔😁
Wiji Lestari
mhantap
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Keadilan yg tidak adil🦀🍄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!