"Aku ingin menikah denganmu, Naura."
"Gus bercanda?"
***
"Maafin kakak, Naura. Aku mencintai Mas Atheef. Aku sayang sama kamu meskipun kamu adik tiriku. Tapi aku gak bisa kalau aku harus melihat kalian menikah."
***
Ameera menjebak, Naura agar ia tampak buruk di mata Atheef. Rencananya berhasil, dan Atheef menikahi Ameera meskipun Ameera tau bahwa Atheef tidak bisa melupakan Naura.
Ameera terus dilanda perasaan bersalah hingga akhirnya ia kecelakaan dan meminta Atheef untuk menikahi Naura.
Naura terpaksa menerima karna bayi yang baru saja dilahirkan Ameera tidak ingin lepas dari Naura. Bagaimana jadinya kisah mereka? Naura terpaksa menerima karena begitu banyak tekanan dan juga ia menyayangi keponakannya meskipun itu dari kakak tirinya yang pernah menjebaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fega Meilyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Laras pergi
Laras akhirnya tiba di rumah orang tuanya seorang diri.
Tak ada Rendra di sampingnya. Tak ada tangan yang menggenggam untuk menguatkan. Namun Laras memaksakan langkahnya tetap tegak. Ia harus terlihat baik-baik saja. Ia tidak ingin ayahnya mencurigai apa pun tentang pernikahannya—tentang luka yang sedang ia sembunyikan rapat-rapat.
Begitu melihat jasad ibunya terbaring kaku, pertahanan Laras runtuh.
Ia berlutut di samping jenazah itu, tangannya gemetar saat menyentuh kain kafan. Tangisnya pecah seketika. Bahunya bergetar hebat, sesenggukan yang keluar dari dadanya begitu pilu hingga siapa pun yang mendengarnya ikut merasakan perih yang sama.
“Ibu…” lirihnya parau. “Maafin Laras… Laras telat…”
Tangis itu bukan hanya untuk kepergian ibunya,
melainkan juga untuk hidupnya sendiri yang perlahan runtuh.
"Ibu... Jangan tinggalin Laras dan bapak. Kenapa ibu pergi secepat ini?" Isak tangis Laras tidak bisa ditahan lagi. Hendrawan hanya bisa mengusap punggung putrinya, menenangkannya.
Tak lama kemudian, jenazah ibunya dimakamkan. Tanah merah menutup liang lahat, doa-doa dipanjatkan, dan Laras berdiri mematung. Wajahnya pucat, matanya sembab, seolah seluruh tenaga hidupnya ikut dikuburkan hari itu.
Bapak Laras memeluk pundak anaknya dengan lembut. “Yang sabar, Nak…”
Ia menatap sekeliling, lalu kembali menatap Laras. Ada pertanyaan yang tertahan di matanya. “Rendra kenapa gak datang?” tanyanya hati-hati.
Laras menelan ludah. “Mas Rendra masih di kota, Pak,” jawabnya pelan. “Kerjaannya lagi banyak. InsyaAllah… nanti menyusul.”
Hendrawan mengangguk kecil, namun hatinya tak sepenuhnya percaya. Ia mengenal anaknya. Dan ia tau Laras sedang berbohong.
Namun ia memilih diam. Ada kesedihan yang terlalu besar untuk dipaksa terbuka hari itu.
Beberapa saat kemudian, langkah Laras mulai goyah. Dunia di sekelilingnya berputar. Perutnya terasa mual, dadanya sesak, pandangannya menggelap.
“Pak…” suaranya nyaris tak terdengar. Tubuhnya limbung, lalu ambruk tak berdaya.
“Laras!” seru Hendrawan panik.
Orang-orang segera berhamburan menolong. Laras dilarikan ke rumah sakit terdekat dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Di rumah sakit itu, takdir mempertemukan Laras dengan seseorang yang sangat ia kenal. Tari—sahabat Laras sejak lama—kini bertugas sebagai dokter di sana. Tari juga datang ke pernikahan Laras.
Begitu melihat nama Laras di berkas pasien, Tari tertegun. “Kenapa kamu bisa sampai pingsan, Ras…” gumamnya pelan, perasaan cemas langsung memenuhi dadanya.
Dan tanpa mereka sadari, pingsannya Laras hari itu bukan hanya karena kelelahan dan duka—melainkan karena rahasia besar yang perlahan bersiap untuk terungkap.
***
Tari memeriksa Laras dengan teliti. Tekanan darah, denyut nadi, hingga hasil pemeriksaan penunjang ia perhatikan satu per satu. Keningnya sedikit berkerut, lalu ia menarik napas panjang.
Saat Laras akhirnya sadar, Tari duduk di samping ranjangnya. “Ras…” panggilnya pelan.
Laras menoleh lemah. “Aku kenapa, Tar?”
“Kamu pingsan bukan cuma karena capek dan terlalu banyak pikiran,” jawab Tari hati-hati. “Tubuh kamu drop… dan ada satu hal lagi.”
Tari menggenggam tangan Laras. “Kamu hamil.”
Laras membeku. “Hamil?” suaranya nyaris tak terdengar.
“Tujuh minggu,” lanjut Tari lembut.
Dunia Laras seakan berhenti berputar.
Di tengah kehilangan ibunya.
Di tengah hancurnya kepercayaannya pada Rendra.
Di saat ia hampir menyerah pada pernikahannya—
Tuhan justru menitipkan kehidupan baru di rahimnya.
Air mata Laras jatuh perlahan. Bibirnya bergetar, namun senyum tipis justru terbit di sela tangisnya. Bahagia… sekaligus perih. Dua perasaan yang bertabrakan tanpa ampun.
Mas… kalau kamu tahu…
Tangannya refleks menyentuh perutnya yang masih rata. Ada kehidupan kecil di sana. Darah dan dagingnya. Harapannya.
Namun kebahagiaan itu segera ia telan kembali.
Ia menoleh pada Tari, mengusap air matanya cepat-cepat.
"Rendra mana? Kamu harus segera kasih tau dia."
"Nanti saja Tar. Aku ingin buat kejutan dulu."
Tari terdiam, lalu mengangguk mengerti. “Kamu yakin?”
Laras mengangguk pelan. “iya beneran, beliau masih di Jakarta, aku akan beri tau saat ia pulang nanti."
"Baiklah. Kamu jaga kesehatan ya Ras. Jangan banyak pikiran atau kelelahan."
"Makasih ya Tari."
Tari tersenyum, lalu membantu Laras untuk bangun.
Dan Laras belum tau harus berbuat apa dengan perasaan dan kenyataan yang datang bersamaan ini. Ia belum tahu apakah kehamilan ini akan menjadi penyelamat—atau justru luka baru.
Yang Laras tau, selama ini ia tidak pernah menyadari perubahan pada tubuhnya. Ia mengira semua itu hanya kelelahan, duka, dan tekanan batin.
Padahal tanpa ia sadari, di saat hidupnya terasa paling runtuh, Tuhan sedang menumbuhkan alasan baru untuk bertahan di dalam dirinya.
***
Sementara di tempat lain...
Rendra baru saja mengaktifkan ponselnya. Notifikasi dari Laras begitu banyak, panggilan tak terjawab dan juga pesan-pesan yang ia kirim. Rendra membaca semuanya, dan berhenti di pesan terakhir. "Mas, ibu meninggal, aku izin kesana sendiri ya. Maaf aku tidak bisa menunggu kamu."
Rendra mematung. Lagi-lagi ia tidak ada di saat Laras membutuhkan dirinya. Rendra makin dihantui rasa bersalah. Ia segera bersiap untuk ke desa menjemput istrinya.
Namun dengan cepat, mamanya menghentikan langkah Rendra. "Kamu mau kemana lagi?"
"Aku mau pulang, ma."
"Rumah kamu itu bersama Aurel bukan wanita murahan itu."
"Cukup ma! Dia Laras, dia istriku. Dan Laras bukanlah wanita seperti yang mama bilang!"
"Kamu bodoh Rendra! Dia sudah selingkuh, kalau dia hamil, berati itu bukan anak kamu!"
Rendra tidak peduli ucapan mamanya, dengan langkah cepat ia masuk ke mobil dan segera meninggalkan perkarangan rumahnya.
Aurel yang mendengar itu semua juga makin dihantui merasa bersalah. Laras, perempuan yang seharusnya tidak terluka karena dirinya. Namun, Aurel juga mulai merasakan kenyamanan pada Rendra. Meskipun setelah malam itu-di hotel, Rendra tidak pernah menyentuhnya lagi. Tapi karena rasa tanggung jawab yang Rendra berikan, membuat Aurel mulai merasa nyaman.
Aurel begitu iri pada Laras, dicintai sebegitu dalamnya oleh laki-laki. Sedangkan Aurel, ia sudah menyerahkan semuanya namun laki-laki itu malah pergi.
***
Hendrawan tau.
Sejak awal, ia tahu Laras sedang menyembunyikan sesuatu. Kebohongan kecil yang dipaksakan, senyum yang tak sampai ke mata, dan bahu yang terlalu sering bergetar—semua itu tak pernah luput dari pandangan seorang ayah.
Malam itu, saat suasana rumah mulai sepi, Hendrawan duduk di samping Laras. “Ras,” panggilnya lembut. “Kamu boleh bohong ke siapa saja… tapi jangan ke Bapak.”
Laras menunduk. Tangannya saling meremas, dadanya naik turun menahan sesak yang sejak tadi ia pendam.
“Bapak tahu kamu gak jujur,” lanjut Hendrawan tenang. “Dan Bapak gak marah. Bapak cuma pengin dengar kebenarannya dari kamu.”
Pertahanan Laras runtuh. Air matanya jatuh tanpa bisa dicegah. Tangisnya pecah, penuh luka dan kelelahan. Dengan suara terputus-putus, Laras akhirnya menceritakan semuanya—tentang Rendra, tentang pengkhianatan, tentang kebohongan yang menumpuk, dan tentang kehamilan yang baru ia ketahui.
Hendrawan mendengarkan tanpa memotong. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras, namun matanya justru berkaca-kaca.
Setelah Laras selesai, Hendrawan menarik napas panjang. Ia meraih tangan putrinya dan menggenggamnya erat.
“Bapak gak akan memaksa kamu ambil keputusan apa pun,” ucapnya tegas namun lembut. “Ini hidup kamu. Ini luka kamu.”
Laras terisak. “Aku bingung, Pak…”
Hendrawan mengangguk. “Wajar. Tapi apa pun pilihan kamu nanti—bertahan, pergi, atau memulai hidup baru—Bapak akan berdiri di belakang kamu.”
Ia menatap Laras penuh kasih. “Kamu gak sendirian. Selama Bapak hidup, kamu punya rumah.”
Pelukan ayahnya menjadi tempat Laras bersandar. Untuk pertama kalinya sejak semua itu terjadi, Laras merasa sedikit lebih kuat.
Karena di tengah dunia yang mengecewakan, ia masih punya satu tempat yang tidak pernah mengkhianatinya.
***
Rendra datang menjemput Laras esok harinya.
Hendrawan menyambutnya dengan sikap yang tampak biasa saja. Wajahnya tenang, tutur katanya tetap sopan. Ia tidak mengungkit apa pun, tidak pula mencampuri urusan rumah tangga anaknya. Namun entah mengapa, dari nada bicaranya yang singkat dan tatapan matanya yang tak lagi hangat, Rendra merasakan sesuatu yang ganjil—seolah ada amarah yang dipendam rapi.
“Terima kasih sudah datang,” ujar Hendrawan datar.
“Iya, Pak,” jawab Rendra hormat, meski dadanya terasa tak nyaman. "Maaf saya telat datang, kemarin ada pekerjaan yang tidak bisa saya tinggalin."
"Tidak masalah." Hanya itu kata yang keluar dari Hendrawan. Rendra merasa ada sesuatu yang berbeda, seperti kekecewaan.
Laras pun tak banyak bicara. Sejak berangkat hingga perjalanan pulang, ia hanya menjawab seperlunya. Singkat. Dingin. Tatapannya lebih sering tertuju ke luar jendela, seakan pikirannya berada jauh dari mobil yang mereka tumpangi.
Rendra beberapa kali mencoba membuka percakapan.
Namun Laras hanya mengangguk atau menjawab pelan, tanpa emosi.
Sesampainya di rumah, Laras kembali menjalani rutinitasnya seperti biasa. Ia memasak, merapikan rumah, menyiapkan keperluan Rendra—semuanya dilakukan dengan rapi dan tenang, namun tanpa kehangatan. Tak ada senyum. Tak ada cerita.
Rendra merasa dadanya semakin sesak.
Ia mendekati Laras yang sedang di dapur. “Kamu marah karena aku gak datang waktu ibu kamu meninggal?” tanyanya pelan.
Rasa bersalah kembali menyeruak. “Aku minta maaf,” lanjutnya tulus. “Aku benar-benar gak bisa ninggalin pekerjaan waktu itu.”
Laras berhenti sejenak, lalu melanjutkan pekerjaannya. “Gak apa-apa, Mas,” jawabnya singkat.
Hanya itu.
Tak ada amarah.
Tak ada tangisan.
Dan justru itulah yang membuat Rendra semakin gelisah.
"aku kangen kamu, sayang." Rendra memeluk Laras dari belakang.
Tak ada jawaban dari Laras, hanya senyuman tipis di wajahnya. Rendra merasa ada sesuatu yang berbeda, sikap dingin istrinya. Laras tetap melayani Rendra untuk yang terakhir kalinya.
Rendra tidak tau bahwa perubahan Laras bukan karena ketidakhadirannya di pemakaman, melainkan karena pengkhianatan yang telah Laras ketahui sepenuhnya.
Ia juga tidak tahu bahwa istrinya kini sedang menunggu waktu—waktu yang tepat untuk pergi tanpa pamit,
tanpa penjelasan, tanpa kesempatan baginya untuk mempertahankan apa pun.
Dan yang paling besar dari semua ketidaktahuannya:
Rendra tidak tahu bahwa Laras sedang mengandung anaknya.
Sebelum Rendra datang menjemput, Laras telah lebih dulu mengambil keputusan bersama Hendrawan.
Ia akan pergi. Diam-diam. Tanpa diketahui Rendra.
Ia akan memulai hidup baru di Yogyakarta, tempat adik Hendrawan tinggal. Kota yang jauh. Kota yang memberinya jarak—dan mungkin juga keselamatan—dari luka lama.
Laras tahu, jika ia bertahan lebih lama, ia akan kembali luluh. Dan kali ini, ia memilih menyelamatkan dirinya… dan anak yang tumbuh diam-diam di rahimnya. Tanpa siapa pun tahu.
***
Laras telah menyiapkan segalanya.
Bukan hanya pakaian dan barang-barang penting, tetapi juga keberanian untuk benar-benar pergi dari hidup seseorang yang pernah ia cintai sepenuh jiwa. Ia memilih waktu yang paling sepi—saat Rendra bekerja dan rumah itu tak lagi menyimpan suara selain detak jam di dinding.
Tak ada air mata yang jatuh saat ia menutup koper. Tangisnya telah habis jauh sebelum hari itu tiba. Laras tidak berpamitan. Ia tidak menjelaskan.
Di atas meja, ia hanya meninggalkan secarik kertas yang telah ia tulis berulang kali, sebelum akhirnya berani membiarkannya tertinggal:
“Maaf, Mas. Aku pergi. Jangan pernah cari aku. Aku sudah bahagia dengan pilihanku.”
Kalimat itu sengaja dibuat dingin. Sengaja terdengar egois.
Laras ingin Rendra membencinya. Karena kebencian akan membuatnya berhenti mencari, berhenti berharap, berhenti menyesali.
Bagi Laras, Rendra telah mati dalam hidupnya—mati sejak pengkhianatan itu terjadi. Dan ia tidak ingin tahu apa pun lagi tentang lelaki yang pernah ia panggil suami.
Di meja yang sama, Laras juga meninggalkan surat cerai. Tanpa penjelasan. Tanpa tuntutan. Hanya sebuah akhir yang dipilih dalam diam.
Tak lama kemudian, Laras melangkah keluar rumah bersama ayahnya.
Tak ada pelukan perpisahan. Tak ada tangisan di depan orang lain.
Mobil yang membawa mereka menjauh perlahan meninggalkan halaman rumah itu—dan bersamaan dengan itu, Laras meninggalkan masa lalu yang terlalu menyakitkan untuk diselamatkan.
Tak seorang pun tahu ke mana ia pergi. Tak seorang pun tahu bahwa ia membawa kehidupan kecil di dalam rahimnya.
Dan sejak hari itu, dunia Rendra akan kehilangan Laras— tanpa pernah benar-benar tauu mengapa.