Aini adalah seorang istri setia yang harus menerima kenyataan pahit: suaminya, Varo, berselingkuh dengan adik kandungnya sendiri, Cilla. Puncaknya, Aini memergoki Varo dan Cilla sedang menjalin hubungan terlarang di dalam rumahnya.
Rasa sakit Aini semakin dalam ketika ia menyadari bahwa perselingkuhan ini ternyata diketahui dan direstui oleh ibunya, Ibu Dewi.
Dikhianati oleh tiga orang terdekatnya sekaligus, Aini menolak hancur. Ia bertekad bangkit dan menyusun rencana balas dendam untuk menghancurkan mereka yang telah menghancurkan hidupnya.
Saksikan bagaimana Aini membalaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bollyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Ocehan Mertua di Pagi Hari
"Ya Allah, cobaan apa lagi ini? Sepertinya aku harus menyiapkan kesabaran setebal-tebalnya untuk menghadapi para penghuni rumah ini," gumam Aini lirih saat berada di dalam kamar mandi. Ia membasuh wajahnya berulang kali dengan air dingin, mencoba mendinginkan hati yang terasa terbakar setiap kali melihat wajah-wajah pengkhianat di luar sana.
"Sabar Aini, tahan... jangan sampai meledak sekarang. Rencana harus jalan dulu."
Keesokan Harinya
Suasana pagi di rumah yang seharusnya hangat, justru terasa mencekam bagi Aini. Ia baru saja kembali dari pasar pagi dengan kantong belanjaan kecil di tangan. Aroma embun pagi masih tertinggal, namun suasana di dapur langsung memanas begitu sosok mertuanya muncul.
"Masak apa kamu hari ini?" tanya Ibu Sarah tiba-tiba, muncul dari arah ruang tengah dengan wajah judesnya yang khas. Tangannya bersedekap di dada, matanya menatap tajam ke arah tas belanjaan Aini.
Aini meletakkan belanjaannya di atas meja dapur dengan pelan.
"Mau masak tumis kangkung sama goreng ikan asin saja, Bu," jawab Aini pelan sambil mulai mengeluarkan ikat-ikat kangkung yang masih segar.
Ibu Sarah langsung menghampiri dan mengintip kantong belanjaan itu dengan raut menghina, seolah melihat tumpukan sampah.
"Hah? Makanan apaan itu? Cuma tumis kangkung sama ikan asin? Kamu mau bikin Varo darah tinggi atau kurang gizi kasih makan begini terus? Suamimu itu kerja kantoran, butuh asupan yang berkelas!"
Aini menghela napas panjang, berusaha sekuat tenaga menekan amarahnya agar tidak tumpah.
"Ya mau gimana lagi, Bu. Uangnya cuma cukup buat beli ini saja di pasar tadi. Harga-harga lagi pada naik semua."
"Ya kamu sih boros! Pasti uang yang dikasih Varo kamu pakai buat foya-foya atau beli keperluan pribadi kamu kan? Mungkin diam-diam kamu beli baju baru atau skincare mahal, makanya uang belanja nggak pernah cukup untuk beli daging!" tuduh Ibu Sarah dengan nada bicara yang semakin tinggi dan jari yang menunjuk-nunjuk.
Aini berhenti memetik kangkung dan menatap mertuanya lurus-lurus tanpa berkedip.
"Ya ampun, Bu... boro-boro mau beli bedak atau lipstik, buat makan sebulan saja kadang nggak cukup sampai tanggal muda. Jangankan baju baru, buat beli sabun cuci saja saya harus mikir dua kali."
"Apa kamu bilang? Nggak cukup? Nggak mungkin! Itu pasti alasan kamu saja buat menutupi keborosanmu. Varo itu anak berbakti, dia nggak mungkin kasih uang sedikit ke istrinya. Kalau tiap hari makan rumput dan ikan asin begini, suamimu bisa lemas di kantor, malu-maluin keluarga!" Ibu Sarah mulai melancarkan aksi "nyinyir" andalannya yang semakin menusuk perasaan.
Aini menyeka keringat di dahinya, lalu tersenyum getir.
"Ibu mau tahu sebenarnya berapa Mas Varo kasih uang bulanan ke aku selama ini?"
"Memangnya berapa? Pasti banyak kan? Anakku itu sudah bekerja diperusahaan besar, gajinya pasti luar biasa!" sahut Ibu Sarah sinis.
"Satu juta, Bu. Cuma satu juta. Ibu pikir saja, tinggal di kota besar begini uang sejuta harus cukup buat sebulan untuk kita semua. Bayar listrik yang sering naik, air, bahan masakan yang harganya nggak masuk akal... semuanya mahal, nggak ada yang murah. Beda kalau kita tinggal di kampung yang petik sayur bisa di halaman, di sini semua harus pakai uang," jelas Aini panjang lebar, mencoba memberi pengertian pada mertua julidnya itu.
Mendengar angka tersebut, Ibu Sarah terdiam sejenak. Wajahnya seperti sedang menghitung sesuatu di dalam kepalanya, namun egonya terlalu besar untuk mengakui kebenaran ucapan Aini. Ia memalingkan wajah, mencari celah lain untuk menyalahkan menantunya.
"Halah! Itu kamu saja yang nggak bisa atur keuangan rumah. Ibu dulu saja zaman Varo masih kecil, cukup-cukup saja uang segitu. Malahan Ibu masih ada lebihnya buat beli perhiasan emas. Kamunya saja yang manja, nggak mau hidup prihatin!" ucap Ibu Sarah enteng, seolah ia masih hidup di dekade yang berbeda di mana harga beras masih ratusan perak.
Aini tertawa hambar, hampir tidak percaya dengan pola pikir mertuanya yang begitu kolot. "Ibu pikir ini zaman dulu? Kalau di zaman Ibu mungkin uang seribu masih berharga, tapi sekarang seribu cuma dapat permen satu, Bu! Mana ada yang bisa disisihkan kalau buat makan saja sudah megap-megap."
Ibu Sarah yang merasa terpojok karena logikanya dipatahkan langsung pergi meninggalkan dapur dengan hentakan kaki yang keras dan wajah masam. Aini hanya bisa menghela napas, lalu melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Tak lupa, ia menghampiri kamar Cilla untuk memberinya tugas pagi agar adiknya itu tidak makin melunjak.
Tok! Tok! Tok!
"Cilla! Cepat bangun! Bantu Mbak beresin rumah!" seru Aini sambil menggedor pintu kamar adiknya.
Setelah beberapa menit dan gedoran yang makin keras, pintu terbuka sedikit. Cilla berdiri di sana dengan wajah bantal, mata yang masih lengket, dan rambut berantakan.
"Apa sih Mbak... pagi-pagi sudah ribut saja, kayak ada kebakaran. Berisik tahu!"
"Mbak sudah bilang kan, setiap pagi kamu harus bangun lebih awal buat bantuin Mbak. Jangan cuma numpang tidur dan makan saja. Cepat kamu sapu ruang tengah sama ruang tamu sekarang!" perintah Aini tegas.
"Iish... malas tahu, Mbak. Aku masih ngantuk berat habis ngerjain tugas semalam, lagian jam delapan nanti aku ada kelas. Nanti saja habis pulang kampus!" rengek Cilla manja seperti anak kecil yang tidak pernah diajari tanggung jawab.
"Nggak ada nanti-nanti! Justru karena mau kuliah, kamu harus gerak cepat biar semua beres sebelum berangkat. Cepat ambil sapu, Mbak nggak mau dengar alasan lagi atau Mbak kunci pintu dapur biar kamu nggak bisa sarapan!"
"Iya, iya... bawel banget sih, kayak nenek-nenek," gerutu Cilla dengan wajah cemberut dan terpaksa mengambil sapu, meski gerakannya sangat lamban dan asal-asalan.
Setelah sarapan pagi yang penuh drama di mana Ibu Sarah terus mencibir menu kangkung dan ikan asin namun anehnya tetap melahapnya sampai tak bersisa di piring1 Varo pun berangkat kerja dengan tas kerja mewahnya. Aini kini bersiap untuk pergi ke rumah makannya. Ia sudah berjanji bertemu Siska untuk membicarakan langkah selanjutnya.
Sesampainya di Bakti Aini Rasa, Aini melihat Siska sudah duduk menunggunya di meja paling pojok, tempat favorit mereka untuk bicara rahasia.
"Hai Sis, maaf ya gue telat banget hari ini," ucap Aini sambil menghempaskan tubuhnya di kursi dengan helaan napas berat.
"Duh, seperti biasa lo nggak pernah on-time deh, Ai," sahut Siska dengan wajah pura-pura kesal namun tatapan matanya penuh perhatian.
"Kenapa muka lo? Kusut banget kayak baju belum disetrika sebulan."
"Hehe, maaf ya. Biasa, drama pagi rumah tangga gue. Gue harus perang urat syaraf dulu soal menu kangkung, beresin rumah sendirian, ditambah lagi mertua gue kelakuannya makin ajaib tiap hari," curhat Aini sambil memesan minum.
"Tumben mertua lo sepagi ini sudah bikin ulah? Bukannya biasanya cuma sore doang?"
"Bukan sekadar bertamu lagi, Sis. Sekarang mereka resmi tinggal di rumah gue. Katanya rumah mereka disita bank. Gue pusing banget, Ran... eh, Sis. Di rumah sekarang ada mertua julid, ada adik yang nggak tahu diri, ditambah suami yang bermuka dua. Tadi pagi gue kena semprot cuma gara-gara masak menu hemat," tutur Aini dengan raut wajah yang sangat tertekan.
Siska mengernyitkan dahi.
"Menu hemat gimana? Emangnya suami lo kasih uang belanja berapa sih sampai lo harus sehemat itu?"
"Satu juta, Sis. Bayangin, seorang Manajer di perusahaan sekelas Artha Kencana cuma kasih bininya satu juta sebulan buat kebutuhan satu rumah. Gue harus putar otak, potong sana-sini biar cukup buat makan mereka semua."
"Hah?! Satu juta?!" Siska berteriak kaget sampai beberapa pelanggan di meja sebelah menoleh.
"Ai, lo jangan bercanda deh! Gue tahu posisi Varo memang hanya karyawan biasa tapi gue yakin gajinya pasti bisalah kasih uang bulan lebih dari satu juta!"
"Dua puluh juta, Sis. Itu gaji pokoknya. Belum bonus target bulanan yang bisa tembus sepuluh juta. Total dia bisa kantongin tiga puluh juta per bulan. Tapi dia cuma kasih gue sejuta, sementara gue dapet info dia sering belanja barang branded buat 'orang lain' sampai ratusan juta," suara Aini mulai bergetar karena menahan emosi yang meluap.
Siska mendekat, suaranya merendah namun tajam.
"Lo sudah benar-benar yakin siapa orang yang dia manjakan itu?"
Aini menarik napas dalam, matanya menatap Siska dengan nanar, lalu ia menyodorkan ponselnya yang sudah terbuka di galeri video. "Lo lihat sendiri dan jangan sampai lo teriak lagi."
Mata Siska membelalak lebar saat melihat video yang direkam Aini secara diam-diam. Tubuhnya mendadak gemetar karena marah sekaligus rasa tidak percaya.
"Astaga... Ai... kok... kok mereka tega banget? Ini... ini adik kandung lo sendiri, Ni! Cilla?! Orang yang selama ini lo sayang dan bantu uang sekolahnya?!"
"Iya, Sis. Cilla. Adik yang selama ini gue sayang, gue biayai kuliahnya dari hasil keringat gue dari usaha ini, gue turuti semua rengekannya... dia malah tidur sama suami gue di bawah atap yang gue bersihin tiap hari," bisik Aini dengan air mata yang akhirnya pecah juga.
Siska langsung bangkit dari kursinya dan memeluk sahabatnya itu dengan sangat erat. "Biadab! Ini benar-benar nggak bisa dibiarin, Ai. Lo harus gugat cerai detik ini juga! Buat apa lo pertahanin laki-laki sampah dan adik ular kayak gitu? Lo berhak bahagia!"
Aini melepaskan pelukan Siska perlahan, ia menghapus air matanya dengan gerakan yang sangat tegas. "Gue nggak akan cerai sekarang, Sis. Kalau gue cerai cuma modal video ini, mereka mungkin cuma malu sebentar terus nikah. Gue nggak mau mereka bahagia di atas penderitaan gue. Gue mau mereka jatuh sejatuh-jatuhnya sampai nggak punya harga diri lagi."
"Gue dukung lo seribu persen, Ai. Apa pun yang lo butuhin seperti mata-mata, orang hukum, atau sekadar buat nemenin lo nangis—gue siap. Kita hancurkan mereka pelan-pelan," ucap Siska mantap.
Aini tersenyum miring, sebuah senyuman dingin yang membuat Siska sedikit merinding.
"Ini baru permulaan, Sis. Gue bakal kumpulin semua bukti transfer, bukti aset, dan rahasia kantor Varo. Tunggu saja, sebentar lagi permainan 'istri sabar' ini akan berubah jadi neraka buat mereka."
Bersambung
****************