Duit tinggal ceban, aku ditawarin kerja di Guangzhou, China. Dengan tololnya, aku menyetujuinya.
Kupikir kerjaan itu bisa bikin aku keluar dari keruwetan, bahkan bisa bikin aku glow up cuma kena anginnya doang. Tapi ternyata aku gak dibawa ke Guangzhou. Aku malah dibawa ke Tibet untuk dinikahkan dengan 3 laki-laki sekaligus sesuai tradisi di sana.
Iya.
3 cowok itu satu keluarga. Mereka kakak-adik. Dan yang paling ngeselin, mereka ganteng semua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mega Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Tok! Tok! Tok!
Di balik pintu, suara ketukan masih terdengar. Aku panik setengah mampus karena takut membuka pintu, takut menghadapi tiga pria yang sudah jadi suamiku itu.
“Buka pintunya. Kenapa lama?” suara Sonam terdengar lagi, lebih tegas dari sebelumnya.
“Sebentar,” sahutku panik.
Tubuhku mendadak gemetar, lanjut meraih ponsel di atas meja rias. Tanpa pikir panjang, aku langsung menekan nama Deti dan menempelkan ponsel ke telinga.
Diangkat.
“Halo? Kenapa, Ca?” suara Deti terdengar santai—terlalu santai untuk situasi segenting ini.
“Kamu di mana?” tanyaku setengah berbisik, napasku memburu.
“Aku udah pulang,” jawabnya ringan.
“Pulang? Ngapain kamu pulang?“
“Loh, memangnya kenapa, Ca? Aku harus ke rumah sakit. Anakku lagi dijagain suamiku sendirian.”
Dadaku langsung sesak. “Tapi kenapa harus buru-buru, sih? Aku masih butuh kamu.”
Tok! Tok! Tok!
“Baby, buka pintunya,” suara Norbu terdengar jelas.
“Tunggu sebentar!” teriakku refleks ke arah pintu, lalu kembali berbisik panik ke ponsel.
“Det, mereka di luar. Bertiga.”
“Hah?” Deti terdengar bingung. “Kenapa suaramu kayak mau nangis gitu? Ada apa, sih?”
Aku menelan ludah, mataku mulai panas. “Mereka mau masuk kamarku.”
“Loh, memangnya kenapa? Mereka kan udah jadi suami kamu.”
“Itu masalahnya! Aku takut, Det! Aku takut kenapa-kenapa. Ini malam pertamaku, mereka pasti mau iclik aku!”
Beberapa detik hening, lalu Deti malah tertawa.
“Ngapain ketawa!” bentakku.
“Ya ampun, Ca,” katanya seolah menenangkan, tapi justru bikin aku makin gemetar. “Bukannya itu bagus, ya?”
"Bagus apanya?!”
“Ya bagus lah. Semakin cepat mereka iclik kamu, berarti semakin cepat juga kamu hamilnya. Biar cepat punya anak.”
“Hah?”
“Iya,” lanjutnya enteng. “Kalau kamu cepat punya anak, misi kamu di keluarga Dorjen kan cepat selesai, otomatis uang cepat cair. Bukannya dari awal kamu mau itu? Habis itu kamu kan bisa pergi.”
“Tapi aku belum siap, Det!” Aku hampir berteriak, tapi kutahan agar tak terdengar ke luar. “Ini bukan soal uang doang! Aku masih perawan. Bisa bayangin gak kondisi fefekku kalo langsung diiclik tiga pria gitu? Hah? bisa bayangin gak?! Bisa habis fefekku, Det!”
Tok! Tok! Tok!
Ketukan itu makin cepat.
“Sweety,” suara Tenzin terdengar menyusul. Lebih lembut, tapi justru bikin aku makin takut. “Kamu baik-baik saja?”
Aku menutup mulut dengan tangan.
“Det,” bisikku gemetar. “Aku gak punya pengalaman iclik dengan siapa pun. Masa harus langsung menghadapi mereka bertiga? Aku takut, Det. Sumpah aku takut.”
“Ya sudah,” katanya akhirnya. “Kalau kamu belum siap, jangan buka pintu. Bilang aja kamu capek.”
“Beneran bisa?” tanyaku lirih.
“Coba aja.”
“Tapi–”
“Coba dulu aja, Ca. Udah dulu ya teleponnya, aku mau masuk ruang NICU.”
Aku tarik napas dalam-dalam. “Oke, aku coba. Semoga anakmu cepat sehat.”
“Aamiin.”
Panggilan tertutup, tiba-tiba aku mendengar sesuatu dari luar pintu. Suara itu mirip seperti suara anak kunci yang sedang dibuka dari luar.
“Astaga.”
Aku menoleh ke arah pintu dengan mata membelalak, napasku tertahan. Kelopak mataku pun semakin terbuka lebar saat pegangan pintu bergerak pelan.
“Hey! kalian ngapain?!” teriakku.
“Kami suamimu,” jawab Sonam di luar sana, lalu pintu pun tiba-tiba terbuka.
Aku terkejut setengah mati. Di sana, aku sudah melihat tiga pria gagah yang berdiri kokoh. Mereka sama-sama memandangku, yang baru beberapa jam lalu resmi menjadi suamiku.
“Kalian?” bisikku tak percaya.
Sonam dan Tenzin menatapku tanpa ekspresi, sedangkan Norbu tersenyum jahil sambil memutar-mutar anak kunci serep di jari telunjuknya.
“Ngapain kalian masuk?!” bentakku.
“Kenapa kamu marah?” tanya Norbu.
“Ya jelas marah. Kalian gak sopan buka-buka pintu kamarku!”
“Maaf,” sahut Tenzin. “Kami hanya takut kamu kenapa-napa. Soalnya kamu lama sekali buka pintunya.”
“Tapi ya jangan langsung main buka!”
“Memangnya kenapa?” tanya Sonam. “Kamu istri kami, kan?”
Aku terdiam.
“Kami berhak masuk kamarmu tanpa persetujuan darimu,” sambung Sonam.
“Oke.” Aku menarik napas dalam, berusaha untuk tenang. “Kalian mau apa?”
“Ini malam pertama kita.” Jawaban Sonam membuat mataku membelalak.
“Lalu?” jantungku berdebar.
“Lakukan tugasmu sebagai istri,” jawab Sonam lagi.
“Tugas apa?” Aku pura-pura gak mengerti, padahal aku takut setengah mati.
“Bukannya kamu ingin diiclik kami?” Pertanyaan Norbu membuat tubuhku tegang.
“Iclik?” Tubuhku mendadak gemetaran.
“Kenapa? Bukankah itu normal setelah menikah?” tanya Sonam.
Kutarik napas panjang lagi untuk berusaha tenang. “Oke, sistemnya gimana? Kakak tertua duluan?” tanyaku sambil memandang Sonam.
“Mana bisa begitu. Kami akan iclik kamu bersama-sama.” Jawaban Norbu membuatku menganga.
“Bersama-sama?” Aku terkejut sampai kehilangan tenaga.
“Ya, ini adalah malam pertama kita berempat,” jawab Sonam.
“Semuanya?” Aku semakin gemetaran. “Sekarang?”
“YA,” jawab mereka kompak.
“Maaf, gak bisa sekarang,” jawabku cepat.
“KENAPA?” jawab mereka kompak.
“Aku ....” Setengah mati otakku berputar untuk mencari alasan. “Aku sedang datang bulan.” Akhirnya aku menemukan jawaban, meskipun berbohong.
“Datang bulan?” Sonam mengernyit.
“Iya, aku lagi datang bulan. Menstruasi.”
“Oh ya?” Norbu memicing.
“Iya, serius. Aku gak bohong.”
“Coba kami lihat.” Jawaban Norbu membuat mataku membola.
“L-lihat?”
“Ya, kami ingin lihat. Buka celanamu sekarang,” titah Sonam.