Bu Ninda merasakan keanehan dengan istri putranya, Reno yang menikahi asistennya bernama Lilis. Lilis tampak pucat, dingin, dan bikin merinding. Setelah anaknya menikahi gadis misterius itu, mansion mereka yang awalnya hangat berubah menjadi dingin dan mencekam. Siapakah sosok Lilis yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BI STORY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pernikahan Creepy
Bu Ninda tiba-tiba terbangun dengan jeritan tertahan. Ia terduduk di ranjang mewahnya, wajahnya pucat pasi dan berkeringat dingin. Jantungnya berdebar kencang.
Ia melihat sekeliling, mengenali kamarnya. Pintu kamar tertutup rapat, tirai jendela masih menjuntai rapi. Tak ada lilin, tak ada cermin retak, tak ada boneka porselen yang menatapnya.
Bu Ninda menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri.
"Hanya... mimpi buruk. Hanya mimpi."
Namun, saat ia memegang dadanya, ia merasakan dingin yang aneh di punggungnya, tepat di tempat tangan hantu itu menembusnya dalam mimpi.
"Tapi rasanya... begitu nyata."
Ia bangkit, berjalan ke cermin rias, dan menatap pantulannya. Ia semakin berpikir bahwa Lilis, asisten Reno yang sebentar lagi menjadi menantunya, bukanlah manusia. Mimpi buruk itu, teror yang nyata, hanya menegaskan ketakutannya.
"Apa aku bisa menghentikannya? Aku tidak bisa membiarkan anakku menikah dengan... dengan dia!"
Waktu terus bergulir dan hari ini adalah hari pernikahan Reno dan Lilis.
Bu Ninda bersiap di depan cermin kamarnya, memakai gaun mahal yang indah.
"Aku terpaksa harus pergi."
Suasana siang hari di gedung pernikahan mewah.
Gedung serbaguna termewah di kota, didekorasi layaknya istana. Ribuan karangan bunga anggrek putih dan mawar merah menghiasi setiap sudut.
Keramaian tamu undangan, para konglomerat dan sosialita, memenuhi area.
Ini adalah salah satu pernikahan terbesar tahun ini Reno, putra tunggal keluarga Ramon dan Ninda. Lilis, mantan asisten pribadi Reno yang hidup sebatang kara menjadikan wali hakim sebagai wali nikah.
Reno terlihat bahagia namun sedikit tegang sedang merapikan dasinya.
Reno berbicara kepada dirinya sendiri.
"Akhirnya, Lilis. Aku akan menikahimu."
Bu Ninda datang, dalam balutan kebaya sutra termahal, terlihat elegan namun tatapannya kosong. Ia dipaksa tersenyum saat berhadapan dengan tamu, tetapi ketakutan mencekam di hatinya.
Bu Ninda berbisik kepada asisten pribadinya.
"Apa kamu lihat, Tina? Wajahnya... dia sama sekali tidak terlihat bahagia."
Asisten Tina menjawab
"Siapa, Bu? Pengantin wanita? Ah, Nona Lilis emang selalu tenang, Bu. Itu justru elegan."
Bu Ninda hanya mendengus. Ia tahu ketenangan itu palsu. Itu adalah dingin.
Semua tamu sudah duduk. Musik sendu mengalun indah.
Bu Ninda duduk di barisan paling depan, tangannya memegang erat buket bunga. Ia memejamkan mata, berharap agar semua ini segera berakhir.
Pintu utama terbuka. Lilis sang pengantin wanita bergaun putih panjang, sangat cantik, masuk didampingi beberapa wanita.
Saat Lilis berjalan di karpet merah, Bu Ninda memicingkan mata. Di mata Bu Ninda, gaun putih Lilis tampak sedikit merah di bagian bawah. Rambut Lilis yang disanggul rapi, entah bagaimana, terlihat bergerak-gerak seperti ular. Dan senyum Lilis di matanya terlihat seperti seringai.
Bu Ninda menggenggam tangan suaminya erat-erat.
Pak Ramon berbisik namun khawatir,
"Ninda, ada apa? Tanganmu dingin sekali."
Bu Ninda memaksakan senyum.
"Serem deh Mas auranya si Lilis."
Di barisan belakang, berdiri seorang wanita cantik berumur 20 tahunan, mengenakan gaun yang mahal. Wajahnya dingin, memancarkan kebencian. Dia adalah Clarissa, wanita yang sempat dijodohkan dengan Reno, yang kehadirannya di sana jelas tidak diundang tapi bisa masuk ke dalam karena membayar seseorang.
Clarissa memperhatikan Lilis yang berjalan arah penghulu.
"Lilis si mantan asisten. Hanya butuh beberapa minggu untuk merebut pria yang sudah aku incar. Kamu pasti punya trik licik yang luar biasa."
Clarissa mengambil ponselnya, mengarahkan kameranya ke Lilis, dan memperbesar foto Lilis.
Clarissa tersenyum dingin.
"Aku akan pastikan rumah tangga kamu tidak berjalan lancar."
Saat Clarissa mengambil foto, tiba-tiba layarnya freeze dan berganti warna menjadi merah darah sesaat. Ada garis-garis aneh seperti luka goresan muncul di foto wajah Lilis. Clarissa mengernyit, merasa sedikit ngeri, tetapi segera menganggapnya sebagai error kamera.
Reno dan Lilis duduk di depan penghulu. Reno mengucapkan ijab kabul dengan fasih.
"Sekarang, kalian resmi menjadi suami istri." kata penghulu.
Reno tersenyum bahagia dan mendekatkan wajahnya ke Lilis.
Bu Ninda menutup matanya, tidak tahan melihat adegan itu. Tiba-tiba, ia merasakan angin dingin yang luar biasa menerpa wajahnya, padahal ruangan itu ber-AC.
Saat ia membuka mata, semua orang terlihat normal. Kecuali Lilis.
Di mata Bu Ninda, wajah Lilis berubah sekilas. Bukan hanya wajah yang menyeramkan, tetapi tatapan Lilis yang tampak kosong, seolah jiwanya tidak ada di sana.
Reno mencium Lilis. Semua tamu bergembira.
Bu Ninda hanya bisa terdiam, tubuhnya gemetar. Ia tahu, sekarang Reno sudah terikat selamanya dengan wanita yang ia curigai sebagai hantu.
Malam pertama setelah pernikahan. Mansion keluarga Ramon, yang mewah dan luas.
Reno terlihat ceria, memegang tangan Lilis erat-erat saat mereka memasuki ruang tamu. Lilis bersikap layaknya pengantin baru, anggun dan tenang, tetapi tatapannya selalu datar.
Bu Ninda duduk di sofa tunggal, mengenakan piyama sutra. Ia pura-pura membaca majalah, tetapi matanya terus mengawasi Lilis. Ia menjaga jarak fisik sejauh mungkin.
"Kami pulang! Selamat datang di rumah baru, Sayang."
Lilis tersenyum kecil.
"Terima kasih, Reno. Ini indah sekali."
Lilis berjalan perlahan, jari-jarinya menyentuh permukaan meja marmer dingin. Bu Ninda melihat tangan Lilis, dan ia bersumpah melihat sedikit kabut putih tipis muncul dari sentuhan itu sebelum menghilang. Bu Ninda langsung menarik kakinya.
Bu Ninda berkata dengan nada yang dipaksakan."
"Selamat datang, Lilis. Semoga kamu betah."
Lilis menoleh ke Bu Ninda, senyumnya sedikit melebar.
"Oh, aku yakin aku akan sangat betah di sini, Bu. Selamanya."
Tatapan mereka beradu. Bu Ninda menelan ludah, ketakutan dari mimpi buruknya kembali menyeruak.
Reno tidak menyadari ketegangan itu.
"Mama, aku sudah membereskan kamar sebelah untuk Lilis. Lilis akan membantuku mengurus jadwal dan urusan rumah tangga kita. Dia sangat efisien."
Bu Ninda berkata cepat,
"Ya ya ya, mama yakin dia sangat efisien."
Bu Ninda segera berdiri, berniat melarikan diri ke kamarnya.
Bu Ninda berkata,
"Mama lelah. Mama tidur dulu. Selamat malam, Ren. Selamat malam... Lilis.
Bu Ninda bergegas naik tangga, tanpa menunggu balasan dari mereka."
Di kamar tidur Zian, adik laki-laki Reno, masih sekolah, duduk di tempat tidurnya yang berantakan.
Wajahnya terlihat murung. Di lengannya, terlihat beberapa memar kebiruan yang kontras dengan kulitnya yang putih. Ia sedang mengoleskan salep.
Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu.
"Zian? Kamu sudah tidur?"
Zian cepat menarik lengan bajunya menutupi memar.
"Belum, Bang! Masuk aja!"
Reno masuk, diikuti Lilis. Reno tampak prihatin.
"Hei, adik kecilku. Kamu seharusnya istirahat total. Maaf tidak bisa menjengukmu lebih lama tadi. Bagaimana badanmu?"
Zian menggaruk kepala, canggung.
"Udah enakan, Bang. Cuma sakit biasa."
Reno tampak tidak yakin, tapi ia mengalihkan perhatian.
"Nah, ini dia. Kenalkan, ini Istriku. Lilis. Lilis, ini Zian, adik kesayanganku. Dia kelas 2 SMA."
Lilis melangkah maju. Ia memandang Zian, dan pandangannya yang datar itu kini tampak sedikit tertarik. Zian, merasa merinding saat Lilis menatapnya.
Lilis dengan suaranya yang halus, tetapi dingin berkata,
"Senang bertemu denganmu, Zian."
Zian gugup.
"S-senang bertemu juga, Kak Lilis. Selamat atas pernikahannya."
Lilis mengulurkan tangannya yang pucat untuk menyentuh kepala Zian, seperti seorang kakak.
"Kamu terluka? Di sini."
Zian terkejut. Tangan Lilis menyentuh kepala Zian, tepat di tempat memar yang ia tutupi dengan rambut.
Zian menepis tangan Lilis tanpa sadar.
"Gapapa Kak. Hanya terbentur."
Reno memandang mereka, merasa ada ketidaknyamanan, tetapi menganggapnya hanya karena Zian masih sakit.
"Lilis itu sangat teliti. Dia pasti melihat kamu pucat. Kalau ada apa-apa, bilang saja ya." kata Reno.
Lilis melirik tajam ke arah Reno, lalu kembali tersenyum ke Zian.
"Ya. Beri tahu saja. Aku bisa membantu menyembuhkan ketakutanmu. Kamu tahu, aku punya cara-cara yang... efisien."
Zian merasa takut. Ia merasa bukan sedang ditawari bantuan, melainkan diancam.
Zian memaksakan senyum.
"T-tentu. Terima kasih."
Reno berkata,
"Ya sudah. Kami akan beristirahat. Kamu juga, cepat tidur. Jangan main game sampai larut."
Reno dan Lilis keluar dari kamar Zian. Reno menutup pintu. Zian menangis sedih. Dirinya yang cupu selalu di bully sama berandalan kuat jago berkelahi di sekolahnya. Memar-memar, kepala dibentur, beberapa kali Zian mengalaminya di sekolah.
Bersambung