"Loh, Mas, kok ada pemberitahuan dana keluar dari rekening aku tadi siang? Kamu ambil lagi, ya, Mas?!"
"Iya, Mai, tadi Panji WA, katanya butuh uang, ada keperluan mendadak. Bulan depan juga dikembalikan. Maaf, Mas belum sempat ngomong ke kamu. Tadi Mas sibuk banget di kantor."
"Tapi, Mas, bukannya yang dua juta belum dikembalikan?"
Raut wajah Pandu masih terlihat sama bahkan begitu tenang, meski sang istri, Maira, mulai meradang oleh sifatnya yang seolah selalu ada padahal masih membutuhkan sokongan dana darinya. Apa yang Pandu lakukan tentu bukan tanpa sebab. Ya, nyatanya memiliki istri selain Maira merupakan ujian berat bagi Pandu. Istri yang ia nikahi secara diam-diam tersebut mampu membuat Pandu kelimpungan terutama dalam segi finansial. Hal tersebut membuat Pandu terpaksa harus memutar otak, mencari cara agar semua tercukupi, bahkan ia terpaksa harus membohongi Maira agar pernikahan ke duanya tidak terendus oleh Maira dan membuat Maira, istri tercintanya sakit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEADILAN YANG MENYIKSA
Sejak subuh tadi aku menghabiskan waktu di dapur, semangatku menggebu, menyiapkan apa yang Zahra mau.
Beberapa bulan tinggal di sini, membuatku begitu ingin bertemu, namun, semua tidaklah mungkin bagiku.
Memohon penuh iba, memaksa dengan amarah, hingga diam seribu bahasa tak lantas membuat Mas Pandu yang berkepala batu mengabulkan permintaanku untuk sekali saja bertemu dengan keluargaku.
"Kalau kamu sudah mau menandatangani perjanjian bahwa kamu tidak akan minta cerai atau menggugat cerai, barulah kamu boleh bertemu," putus Mas Pandu seraya menyodorkan selembar kertas berisi perjanjian konyol padaku semalam. Negosiasi kami tak menemui titik temu.
Ia memaksa, aku keras kepala. Enak saja.
Mengabulkan permintaannya sama saja menyiksa batinku.
Siapa yang mau menyiksa batin seumur hidup?
Di dapur berukuran luas ini, Mas Pandu terus mengawasi. Ia duduk sambil menikmati kopi di mini bar yang berada tak jauh dari tempatku berdiri. Berulang kali aku menghela napas dan mendengkus kesal, setiap kali netraku tanpa sengaja bertemu dengan tatapan Mas Pandu. Siapa yang tidak kesal jika diperlakukan seperti seorang tahanan.
Tak lama, nasi pun sudah matang dan segera aku mencari kotak yang bisa aku gunakan. Satu kali hingga beberapa kali aku mencoba mengambil kotak yang disimpan di tempat yang cukup tinggi. Namun tetap gagal, tinggi badanku memang standar, sulit jika harus berkutat dengan tinggi yang berlebihan. Kuambil kursi untuk kugunakan sebagai pijakan karena tak mungkin meminta tolong pada Mas Pandu. Aku masih marah pada lelaki itu.
Berhasil. Tapi sial, alih-alih memilih kotak paling lucu, tanganku tanpa sengaja menyenggol kotak lain dan mengakibatkan beberapa kotak jatuh berantakan. Cepat aku menoleh ke arah Mas Pandu karena suara kotak yang terjatuh itu cukup mengganggu dan membuat gaduh. Ia menggeleng menatapku lalu beranjak dari tempat duduk dan berjalan ke arahku.
"Mai, Mai, kebiasaan ...," ujarnya seraya meraih beberapa kotak dengan bentuk lucu dan memberikannya padaku, setelahnya tangan itu dengan kurang ajarnya menurunkan aku dari kursi secara paksa.
"Bilang apa, Mai?" Ia melanjutkan ucapan dengan nada setengah tubuhnya pun dicondongkan ke arahku, aku menjauh. Aku tahu, dia ingin mendengar kata terimakasih dari mulutku yang kaku.
Aku masih setia dalam kebisuan dan berlalu tanpa suara. Segera kubuka dan kuambil cetakan untuk mengalihkan mengembalikan mood yang terus memburuk oleh tingkahnya.
"Makasih, Mas Pandu sayang," ujarnya tiba-tiba, seraya mengecup pipi singkat. Mataku melebar. Aku menatapnya tajam dan dia tersenyum penuh kemenangan. Dasar Maling. Aku membuang napas kasar, melihat wajah yang sangat menyebalkan.
Tak berhenti di situ, ia lantas mengedipkan satu matanya padaku begitu melihat raut wajahku semakin memerah, kemudian berlalu menuju wajan yang masih berada di atas kompor. Satu sendok nasi goreng ia masukkan ke dalam mulut. "Kamu nggak buat untukku juga, Mai?" tanyanya sambil terus mengunyah.
"Minta saja pada Viona," jawabku asal.
"Masih marah aja, nanti cepet tua."
"Tapi nggak papa, aku tetep cinta." Kata-katanya membuatku semakin geram. Entah dari mana orang ini belajar seperti anak ABG labil.
Aku tetap fokus pada kotak dan nasiku, tak kuhiraukan ocehan Mas Pandu yang semakin ke sini semakin membuatku mual saking garingnya.
"Jangan terlalu serius, Mai, jangan marah terus. Nanti nasinya jadi monster, bukannya Zahra makan malah nangis ketakutan," lanjutnya terus menggodaku. Aku masih diam, mencoba untuk tidak terpengaruh oleh ucapan Mas Pandu, dengan terus memberi hiasan lucu pada nasi yang sudah kucetak dengan bentuk boneka panda.
"Kok, diem terus, cemberut, pantesan nasinya asin banget," celetuknya setelah memasukkan sisa nasi ke dalam mulut untuk ke sekian kali. Seketika, tangan yang tengah sibuk memberi hiasan pun terhenti.
Aduh, masak? Mas Pandu serius atau hanya mencari masalah denganku saja? Aku bahkan sudah menggunakan takaran seperti biasanya.
Tanpa melihat ke arahnya, kuambil sendok dan kurasakan lagi nasi yang masih tersisa di atas wajan. Lalu aku kembali menatapnya dengan tajam.
"Becanda Cantik. Buatkan satu untukku, kalau butuh bantuan untuk ngupas bawang, katakan. Mas selalu siap." Ia berujar lagi lalu kembali ke tempat duduknya semula. Menyebalkan.
Kuselesaikan kotak untuk Zahra. Tanpa sepatah kata, aku segera menuruti permintaannya. Membuat satu porsi nasi goreng, tapi pedas. Bukan apa-apa, mau bagaimanapun aku masih terikat pernikahan dengannya, aku hanya tak mau berdosa. Penderitaanku sudah cukup sempurna, mana mau aku rugi dengan menelantarkan kebutuhan suami, lalu mendapat dosa sebagai istri yang tidak bisa menjalankan tugasnya atau patuh pada suami. Ya kali, aku yang menderita, aku pula yang mendapatkan dosa. Rugi. Sabar dulu, sabar sampai semua terkendali dan keinginanku untuk mengakhiri hubungan ini terpenuhi. Sabar Maira.
"Sini, ngelamun aja. Keburu banyak orang, Mai."
Kurasakan sebuah tangan mengambil bawang merah yang sedang aku kupas. Entah sejak kapan dia berada di sebelahku. Bahkan, bawang putih yang belum aku siapkan sebelumnya pun sekarang sudah ada di atas cobek.
Setelah semua cukup, ia lalu menghaluskan semua bumbu tersebut.
Aku terpaku, menatap suami yang sudah tak seperti dulu. Ia berubah seratus delapan puluh derajat. Jika dulu, setiap ada masalah dia selalu lari tanpa berusaha mengerti, maka sekarang sebaliknya. Dia begitu berusaha keras menghibur meski kadang terasa hambar. Tapi jujur, aku suka. Ah, apa aku sudah tergoda?!
"Segini, Mai, garemnya?" Suara Mas Pandu segera menyadarkan aku dari pikiran yang tidak seharusnya.
"Apa aku sedang memujinya?" Aku bertanya, pertanyaan yang hanya kuutarakan dalam hati seraya kutepuk jidat pelan.
"Mai?" Ia memanggil setelah tak ada jawaban dariku.
Sontak aku menoleh. Terlihat, tangannya memegang satu sendok penuh garam.
"Kebanyakan," jawabku dengan nada datar lalu kuambil alih sendok garam tersebut dan menguranginya.
Ia tersenyum. "Nah, gitu kan enak dengernya," ujarnya lalu kembali menghaluskan bumbu. Lagi, aku menghela napas. Ah, pakai keceplosan segala lagi.
Setelah bumbu cukup halus. Aku segera memanaskan minyak. Tak mau berlama-lama bersama orang ini sebab sajak tadi dadaku terus berdebar. Entah mengapa, tapi yang jelas aku sama tak menyukainya.
Kuambil bumbu penyedap, ia mendahului lalu tersenyum setelah menyerahkannya padaku.
Kuambil sayuran, ia mendahului lalu tersenyum lagi.
Aku mau ambil kecap pun ia mendahului.
Aku menghela napas. Sok siaga.
"Nggak dihias kayak punya Zahra, biar gemoi. Biar semangat aku makannya," katanya polos seolah tanpa beban.
Aku menggelengkan kepala. Orang ini, padahal aku tahu, bebannya lebih dari pada diriku. Mengurus dua istri, membagi waktu dan perhatian. Lalu, pekerjaan yang terlihat tak sesantai dulu, tentu tidaklah mudah dia jalani. Tapi, sikap ini lah yang membuatku semakin diliputi rasa Entah.
Atau memang seperti ini, jika kebusukan seseorang sudah diketahui? Segera aku menyadarkan diri dari perasaan yang tak kumengerti. Hatiku hampir luluh kembali oleh semua perlakuannya, tapi rasa kecewaku, belum tentu. Dua hal yang bertentangan ini terus menyiksaku dari hari ke hari.
Tanpa menjawab sepatah kata pun, aku segera meletakkan piring nasi dengan telur, dan sayur di atas meja mini bar. Tanpa hiasan. Ia menatapku. Aku tak menggubris. "Oke, ini cukup." Akhirnya, dia mengalah.
Lalu duduk dan langsung melahap nasi goreng buatanku.
Hanya ada suara sendok dan piring saling beradu. Aku terus menatap lelaki yang tengah menikmati nasi goreng di sebelahku.
Aku menghela napas, lagi. Pemandangan ini sudah lama tak pernah aku jumpai selama aku tinggal di rumah ini. Di mana aku menyiapkan nasi goreng dan dia melahapnya tanpa sebutir nasi pun yang tersisa di piring. Semua terlihat sama seperti dulu, tak ada yang berubah darinya. Hanya, suasana saja yang berbeda. Dapur ini besar dan bersih, tapi tak membuat nyaman. Saat ini semua tersedia, tapi rasanya ada saja yang kurang. Karena memang, semua yang tak lagi utuh tak akan pernah terlihat sempurna.
Aku menarik pikiranku dari semua hal yang membuat hatiku berubah sendu. Kutuang segelas air dan kuletakkan di depan Mas Pandu, lalu bergegas aku meninggalkannya.
Tiba-tiba saja aku merasa ada hal yang tak biasa, bagaimana tidak aneh, bahkan sampai jam menunjukkan pukul tujuh, Mbok Darsih dan yang lain belum juga terlihat olehku.
"Mai, bisa bicara dulu."
Mas Pandu menghentikan langkah ini dengan mencekal pergelangan tanganku saat aku hendak mencari Mbok Darsih keluar dapur.
Aku menghela napas untuk mengupgrade kesabaran.
"Mau sampai kapan kamu marah? Harapanku, kita bisa merawat anak Viona bertiga. Bukankah kamu juga menginginkannya? Dulu kamu minta untuk adopsi Zahra. Oke, Mas akan kabulkan, asal kamu tetap tinggal dan melupakan semua keinginanmu yang tidak mungkin Mas kabulkan," tuturnya panjang lebar, suaranya bergetar.
Zahra... Sekarang Mas Pandu memakai Zahra untuk kepentingan pribadinya? Benar-benar tak habis pikir aku dibuatnya.
Aku menghempaskan tangan kokohnya, kemudian berbalik menghadap ke arah lelaki yang saat ini bergeming di kursi menundukkan kepala. Hatiku kembali terharu, saat kulihat ia tertunduk dalam. Wajah sendunya tak tampak oleh pandangan, tapi aku tahu dia sedang menyeka sudut mata yang mulai basah. Sesakit inikah mendua dan diduakan?
Tak mau terbawa suasana, aku segera menguasai diri dengan menghela napas dalam beberapa kali. "Zahra tidak akan bahagia karena ada ibu lain yang akan membuatnya tak nyaman dan bingung. Anak kalian mempunyai ayah dan ibu yang utuh. Jangan membuatnya bingung dengan melibatkan aku di dalamnya. Ibu dan ayah normalnya hanya satu. Lagi pula, tak ada anak yang rela ibunya dimadu," jelasku tanpa rasa ragu. Mas Pandu masih bergeming. Hingga dering suara telepon rumah berbunyi lagi, sebenarnya sudah sejak pagi telepon itu berbunyi beberapa kali. Tapi, Mas Pandu melarang untuk mengangkat dan menyuruhku fokus pada permintaanZahra saja, karena ia yakin, itu hanya telepon dari kantornya. Ini bukan jam kerja, biarkan saja mereka menunggu katanya setiap kali telepon berbunyi.
"Sudah jam kerja. Aku akan mengangkatnya."
Kutinggalkan Mas Pandu yang masih membeku lalu segera kuangkat telepon yang terlihat mendesak dari pagi itu.
"Halo, Pandu. Ke mana saja kamu? Istri mau melahirkan malah enak tidur sama perempuan lain!" Baru saja ingin mengucapkan salam, tapi cacian dan makian sudah terlebih dahulu terdengar dari seberang sana.
Berbagai umpatan dengan nada penuh amarah dari Miranti Sanjaya bisa kudengar dengan sangat jelas.
Untukku dan untuk Mas Pandu. Semua kata-kata kasar ia berikan pada kami yang katanya tak tahu diri.
"Viona melahirkan di mana, Tante?" Akhirnya aku memotong ucapan yang membuat telingaku panas. Aku tak ingin mendebatnya.
"Kamu Maira?!"
"Halo, Ma." Mas Pandu mengambil telepon secara tiba-tiba dari tanganku, entah sejak kapan ia mengikutiku, mungkin ia mendengar ucapanku tentang Viona yang hendak melahirkan.
Ocehan dan umpatan itu masih bisa kudengar meski samar karena jaraku dan Mas Pandu memang sangat dekat. Mas Pandu hanya diam, tak melawan atau membantah ibu mertua yang sedang diliputi amarah. Ya, siapa yang tidak marah saat anak yang bahkan akan mempertaruhkan nyawanya seolah diabaikan.
"Iya, Ma. Pandu segera ke sana." Mas Pandu meletakkan gagang telepon lalu bergegas menuju kamar Viona dengan terburu-buru. Aku mengekori. Raut wajahnya berubah pasi, tegang, penuh rasa bersalah, sekaligus khawatir. Semua seolah melebur menjadi satu.
Aku berdiri di ambang pintu. Melihat Mas Pandu menyiapkan segala sesuatu yang Viona dan sang buah hati butuhkan. Sesekali, kulihat ia mengusap kasar wajahnya yang terus berkeringat, untuk mengurangi ketegangan. Ah, tapi mengapa aku justru merasa bahwa ia sedang menekan amarahnya padaku. Sebab, semalaman tertidur di kamarku setelah sibuk menenangkan aku.
Perlahan, aku melangkah masuk setelah kulihat Mas Pandu banyak melakukan kesalahan secara berulang. Memasukkan sesuatu lalu mengeluarkannya lagi, begitu terus hingga beberapa kali. Hatiku terenyuh melihat pemandangan ini.
"Duduklah, biar aku yang menyiapkannya." Aku berucap meski sedikit ragu. Kuambil tas dari tangannya lalu kusiapkan apa yang sekiranya dibutuhkan, walau tak pernah berada di posisi ini, tapi sebagai sesama wanita setidaknya aku tahu keperluan yang dibutuhkan Viona dan anaknya.
Mas Pandu menghempaskan diri di ranjang, tanpa sepatah kata, tapi mata yang berkaca-kaca sudah cukup untuk mengatakan apa yang sedang ia rasakan. Kedua
Tangannya menopang kepala. Gurat penyesalan terlihat begitu jelas di mata sendunya. Detik selanjutnya ia beranjak keluar dengan napas memburu entah ke mana.
"Hasan, Darma, Totok, Danu, semua! Sini kalian!" Mas Pandu berteriak memanggil semua penjaga yang ada di rumah. Terdengar suara sepatu saling berlarian lalu berhenti setelah sampai di ruang tengah.
"Go-blok kalian! Istri saya ke rumah sakit mau lahiran, kenapa nggak ada yang kasih tau saya?! Haah? Molor kalian?!" Bentakan disertai suara gebrakan meja itu menyita perhatianku.
Kemarahan Mas Pandu terdengar jelas. Karena memang kamar Viona ada di lantai bawah di depan ruang keluarga.
"Maaf, Pak, saya kira Bapak sudah dikasih tahu sama Nyonya." Dengan suara bergetar salah seorang dari mereka menjawab. Kalau tidak salah, itu suara Pak Danu.
"Kalian punya mata, kan? Apa mata kalian nggak lihat.
Kalau saya belum keluar rumah?!"
Suara Mas Pandu semakin menggelegar memenuhi rumah. Hatiku pun semakin teremas. Sekarang, aku bisa merasakan apa yang Viona rasakan. Dengan penuh kesadaran aku melihat apa yang Mas Pandu lakukan untukku dulu, ia lakukan juga untuk Viona saat ini.
Inikah yang dinamakan keadilan itu menyakitkan?
"Maaf, Pak, Nyonya nggak pesen apa-apa, jadi saya juga nggak berani berbuat apa-apa. Saya kira Bapak susah tahu."
"Go-blok kamu!"
"Mas, semua sudah siap. Kita berangkat, aku ikut,"
ujarku memotong perdebatan yang hanya akan membuang
waktu, setelah semua kusiapkan untuk maduku.
"Totok, Danu, kamu ikut saya. Awasi Maira di sana,"
bentaknya dengan amarah yang masih menggebu, setelah menyambar tas yang ada di tanganku.
Bahkan, saat genting seperti ini pun ia masih sempat memikirkan hal itu. Sama sekali tak mau memberi celah untuk aku bisa lari dan terbebas dari hubungan yang menyesakkan ini.