"Dunia boleh jahat sama kamu, tapi kamu tidak boleh jahat sama dunia."
Semua orang punya ceritanya masing-masing, pengalaman berharga masing-masing, dan kepahitannya masing-masing. Begitu juga yang Luna rasakan. Hidup sederhana dan merasa aman sudah cukup membuatnya bahagia. Namun, tak semudah yang ia bayangkan. Terlalu rapuh untuk dewasa, terlalu lemah untuk bertahan, terlalu cepat untuk mengerti bahwa hidup tidak selamanya baik-baik saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEBENARAN
Pagi itu, lapangan parkir sekolah masih sepi, hanya beberapa mobil yang terparkir rapi dan beberapa murid yang berjalan menuju gerbang. Angel, Bela, dan Raisha melangkah sambil bercakap-cakap riang, tawa mereka terdengar jelas di udara pagi yang sejuk.
Arga yang baru saja turun dari motor hitamnya, tas selempang yang tergantung di bahunya, melangkah melewati mereka, tanpa sengaja ia menangkap percakapan mereka. Bela sedang bercanda, Angel menimpali dengan nada serius tapi jenaka, sementara Raisha menambahkan komentar ringan yang membuat tawa mereka pecah.
"Eh... eh, lo semua tahu gak?" Ucap Bela. "Video si Luna yang gue unggah kemaren di instagram, banyak banget yang komen."
"Serius?!" Mata Angel membulat besar.
Saat nama itu disebut, langkah Arga sedikit melambat, tanpa sepengetahuan mereka, seolah tanpa sengaja ia terseret oleh percakapan itu.
Bela mengangguk mantap. "Ide lo buat ngejebak si Luna emang pinter banget."
"Terus, begonya... semua orang percaya gitu aja, lagi!" Tambah Raisha.
Angel tertawa puas. "Siapa dulu, dong... gueee! Lagian, kenapa gue punya ide seperti itu dan yakin semua orang percaya, karena yaaa namanya juga manusia, mereka lebih percaya kebelakang daripada kebaikan seseorang. Bener, gak?"
Bela menjentikkan jari. "Setuju!"
Arga yang berdiri tak jauh dari sana mengepalkan tangan, ruas-ruas jarinya menegang. Rahangnya mengeras, menahan sesuatu yang perlahan mendidih di dadanya.
Tanpa pikir panjang, ia melangkah cepat, suaranya memotong udara pagi yang semula tenang. “Tunggu!” Serunya lantang.
Langkah Angel dan Bela serentak berhenti. Keduanya menoleh hampir bersamaan, sedikit terkejut melihat Arga yang kini berdiri beberapa langkah di belakang mereka, sorot matanya tajam, penuh tekanan yang sulit diartikan.
“Itu kan cowok yang kemarin…” Gumam Angel pelan, matanya membulat sedikit. Ia lalu menyenggol pelan siku Bela di sisi kiri dan Raisha di kanan.
Ketiganya saling berpandangan sejenak, ekspresi mereka berubah cepat—antara kaget, canggung, dan sedikit waspada—sementara Arga semakin mendekat dengan langkah mantap, pandangannya tak lepas dari mereka.
"Iya!" Jawab Arga tegas. "Gue Arga. Argantara Putra Pradipta. Dan gue Arga... udah tahu kebenarannya!"
Angel, Raisha dan Bela menahan keterkejutannya.
"A-Arga..." Angel bergerak, selangkah lebih dekat. "A-Apa yang lo dengar tadi—"
“ITU JAHAT!” Potong Arga dengan bentakan keras. Suaranya memantul di dinding-dinding lorong yang masih sepi, menggema hingga membuat ketiganya refleks terdiam.
Angel terpaku sesaat, senyum puasnya menghilang begitu saja. Bela menelan ludah pelan, sementara Raisha spontan menunduk, berusaha menghindari tatapan tajam Arga yang kini berdiri di hadapan mereka.
“Lo bentak gue?!” Nada Angel meninggi, sorot matanya menajam, menantang. Kini, tak ada sedikit pun rasa takut di wajahnya. “Dari banyak cowok yang gue kenal, cuma lo yang berani berlaku kasar sama gue!”
Arga tertawa pelan, tapi getir—suara yang lebih mirip helaan napas penuh amarah yang ditahan. “Kasar?” Ujarnya rendah, menatap Angel tanpa berkedip. "Lo tuh sadar gak si? cewek seperti lo emang pantas diperlakukan seperti ini apalagi oleh laki-laki manapun!"
Angel tersentak.
"Apa yang udah lo lakuin itu udah keterlaluan!” lanjut Arga, suaranya meninggi, nyaris bergetar karena emosi yang ditahan terlalu lama. “Lo udah fitnah, lo udah nuduh, lo udah jelekin nama orang… picik lo, Angel!”
Angel menatapnya tak terima, tapi Arga tak memberi celah. Ia melangkah maju, kini jarak di antara mereka hanya sejengkal.
“Lo tahu nggak, gara-gara mulut lo, Luna sampai nggak berani ngangkat kepala di depan orang lain?” Suara Arga pecah, nada marah bercampur kecewa. “Dia nggak nyuri apa pun! Tapi lo bikin semua orang percaya dia pencuri, seolah lo paling benar di dunia ini!”
Angel menegakkan dagu, mencoba bertahan dari tekanan tatapan itu, tapi bibirnya tak lagi setegas tadi.
Arga mengepalkan tangan lagi, napasnya memburu. “Lo emang anak pemilik sekolah ini, siapa si yang gak kenal sama lo? Lo boleh punya geng, boleh punya banyak teman, tapi itu nggak bikin lo berhak ngerusak hidup orang lain. Lo itu udah keterlaluan!"
“Bahkan sampai video itu viral!” seru Arga lagi, nadanya semakin tajam, nyaris menohok. “Lo tahu nggak rasanya jadi Luna waktu semua orang ngeliat dia kayak sampah gara-gara video bohong itu?!”
Angel terdiam. Sekilas, wajahnya kehilangan ekspresi congkak yang tadi masih melekat.
Arga menatapnya tanpa berkedip. “Dia cuma pengen hidup tenang, sekolah kayak orang lain. Tapi lo—lo bikin semuanya hancur cuma karena ego dan kesenangan lo sendiri! Apa si salah Luna sama lo?!"
Lorong itu mendadak terasa dingin. Tak ada satu pun suara selain napas mereka yang memburu pelan. Sekolah masih sepi—jam pelajaran belum dimulai, dan sebagian besar siswa masih berada di halaman depan atau kantin.
Tak ada satu pun langkah kaki yang terdengar, tak ada saksi yang Muncul untuk melihat bagaimana kebenaran akhirnya terungkap di antara tembok-tembok sunyi itu. Seandainya saja ada siswa lain yang datang, mungkin mereka akan tahu siapa yang sebenarnya bersalah sejak awal.
Namun kenyataannya, hanya ada mereka berempat di lorong itu. Bela dan Raisha menunduk dalam, seolah ingin menelan rasa bersalah yang tiba-tiba membesar di dada. Angel berdiri kaku, kehilangan sisa keberaniannya.
Sementara Arga, dengan dada naik turun menahan emosi, berdiri di tengah kesunyian yang terasa begitu menekan—kesunyian yang menjadi saksi satu-satunya atas kemarahan dan kebenaran yang akhirnya terucap.
“Lo pikir semua bisa lo atur kayak permainan?” Lanjut Arga mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Nggak semua orang punya keberanian buat lawan lo, Angel. Tapi kali ini—gue nggak bakal diem.”
Angel menggertakkan giginya, wajahnya memerah menahan amarah yang tak lagi bisa disembunyikan. Tangannya mengepal di sisi tubuh, matanya menatap tajam ke arah Arga yang kini mulai berbalik dan melangkah pergi tanpa menoleh sedikit pun.
“Eeeeuuh! Nyebelin banget tuh cowok!” Umpat Angel sambil menghentakkan kedua kakinya ke lantai, membuat suara sepatu bergema di lorong kosong. Wajahnya masih memerah, bibirnya mengerucut kesal.
“Gue kira… dia gak bakalan tahu dan peduli soal ini,” Lanjutnya dengan nada jengkel, tangan terlipat di dada. “Tapi ternyata malah ikut campur, sok jadi pahlawan segala lagi!”
Bela dan Raisha saling pandang sejenak, sebelum akhirnya maju selangkah mendekati Angel.
“Gel…” Panggil Bela hati-hati, mencoba menenangkan nada suaranya. “Udah deh, jangan emosi dulu. Nanti malah makin ribet.”
Raisha mengangguk pelan, menambahkan dengan suara lebih lembut, “Iya, Angel. Tadi Arga juga nggak salah sepenuhnya. Mungkin dia cuma—”
“Cuma apa?!” Potong Angel cepat, matanya menatap tajam dua temannya itu. “Cuma udah bikin harga diri gue diinjak-injak! Untung sekolah masih sepi, gak ada satu pun yang tahu percakapan tadi, kan?!”
Bela dan Raisha saling berpandangan, wajah mereka sama-sama tegang. Detik berikutnya, keduanya menggeleng pelan tanpa suara.
“Bagus,” Desis Angel lirih, mengembuskan napas lega meski nada suaranya masih diselimuti amarah. Ia menggigit bibir bawahnya sambil memalingkan wajah, menatap kosong ke arah ujung lorong tempat Arga tadi menghilang. Sungguh, tatapan lelaki barusan mulai terus muncul di benaknya, membuat dadanya terasa sesak.
****