NovelToon NovelToon
Mahira

Mahira

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Pengganti
Popularitas:8.5k
Nilai: 5
Nama Author: santi damayanti

“Aku kecewa sama kamu, Mahira. Bisa-bisanya kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu, Mahira,” ucap Rangga dengan wajah menahan marah.
“Mas Rangga,” isak Mahira, “demi Tuhan aku tidak pernah memasukkan lelaki ke kamarku.”
“Jangan menyangkal, kamu, Mahira. Jangan-jangan bukan sekali saja kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu,” tuduh Rukmini tajam.
“Tidak!” teriak Mahira. “Aku bukan wanita murahan seperti kamu,” bantah Mahira penuh amarah.
“Diam!” bentak Harsono, untuk kesekian kalinya membentak Mahira.
“Kamu mengecewakan Bapak, Mahira. Kenapa kamu melakukan ini di saat besok kamu mau menikah, Mahira?” Harsono tampak sangat kecewa.
“Bapak,” isak Mahira lirih, “Bapak mengenalku dengan baik. Bapak harusnya percaya sama aku, Pak. Bahkan aku pacaran sama Mas Rangga selama 5 tahun saja aku masih bisa jaga diri, Pak. Aku sangat mencintai Mas Rangga, aku tidak mungkin berkhianat.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

mh 35

Mahira masih duduk terpaku di depan kulkas yang terbuka. Cahaya putihnya memantul di wajahnya yang pucat. Buah anggur, apel, pir, bahkan sisa cake dingin sudah berpindah ke perutnya, tetapi rasa gelisah itu tetap tidak mau pergi.

Dia mengunyah tanpa benar-benar merasakan apa pun, hanya berharap dinginnya kulkas bisa sedikit menenangkan jiwanya.

Ponselnya terus berdering. Getarannya terdengar seperti dengungan nyamuk yang mengganggu. Mahira menutup telinganya, menolak mendengar suara siapa pun.

Hari ini dia hanya ingin diam, makan, dan berharap dunia berhenti memusuhinya.

Namun dering itu tidak berhenti. Bunyi yang sama, berulang, semakin menusuk sabarnya.

“Astaga…” gumamnya kesal.

Akhirnya ia meraih ponsel itu dan melihat layar. Satu pesan muncul begitu saja.

Pesan yang membuat seluruh tubuhnya langsung kaku.

“Nurma dalam bahaya.”

Mahira membacanya sekali lagi, lalu ketiga kalinya. Dadanya naik turun cepat.

“Nurma… apa yang terjadi sama kamu?” bisiknya panik. “Kenapa kamu masih sekolah? Kenapa kamu tidak pergi sejauh mungkin? Dunia ini terlalu kejam buat orang sebaik kamu, Nurma…”

Rasa takutnya seketika kalah oleh rasa pedulinya. Tangannya bergetar saat menekan tombol telepon.

Beberapa detik kemudian Anggi mengangkat. Suaranya terdengar seperti orang yang sedang menangis.

“Gimana, Nggi… apa yang terjadi?” tanya Mahira dengan napas memburu.

“Nurma, Mahira… Nurma…” suara Anggi terputus-putus seperti sedang panik berat.

“Ya Tuhan, Nggi, Nurma kenapa?” Mahira hampir berteriak.

“Nurma sebentar lagi dirundung Saras, Mahira. Tidak ada yang berani menolong. Aku juga… aku disekap di ruang BK. Aku tidak bisa keluar…” Anggi terisak lebih keras.

Mahira memejamkan mata, mencoba memastikan dirinya tidak salah dengar.

“Benarkah itu, Anggi?” tanyanya lirih.

“Mahira, kamu harus datang dalam satu jam. Kalau tidak, aku tidak bisa jamin keselamatan Nurma… aku benar-benar tidak bisa…” suara Anggi terdengar putus asa.

Mahira memandang kulkas yang masih terbuka. Kedinginannya terasa menabrak wajahnya, tapi tidak mampu mendinginkan rasa takut yang tiba-tiba membara.

“Baik… baiklah, aku datang,” ucap Mahira cepat. “Tolong jaga Nurma dulu. Tolong…”

Ia menutup telepon sambil mencoba menenangkan napas, tetapi tangannya masih bergetar hebat.

Rasa trauma semalam masih menempel kuat di tubuhnya, namun bayangan wajah Nurma jauh lebih kuat.

Mahira bangkit.

Untuk Nurma, dia memaksa dirinya keluar dari tempat yang paling aman.

,,

Anggi mematikan telepon lalu memekik kecil. Tubuhnya berjingkrak seperti anak yang baru mendapat hadiah Lebaran.

“Yes… akhirnya aku bisa mendekat ke Pak Baskara,” bisiknya sambil memeluk ponselnya seolah itu tiket menuju hidup baru.

Obsesi Anggi pada kekuasaan sudah mengakar. Baginya status adalah segalanya.

Menjadi istri Baskara yang berusia enam puluh tahun pun bukan halangan.

Perbedaan usia yang hampir empat puluh tahun tidak mengusiknya sama sekali.

Yang penting ia bisa duduk di kursi PKK, memakai kebaya resmi, disorot kamera, dan memberi sambutan seolah dirinya terlahir untuk itu.

Anggi langsung menekan nomor Baskara. Panggilan baru berjalan setengah detik, langsung terhubung.

“Pak, Mahira akan datang ke sekolah dalam satu jam,” ucap Anggi dengan suara bergetar bangga.

“Kerja bagus, Bu Anggi.” Suara Baskara terdengar ceria. “Ponselnya aktif terus ya. Saya akan menghubungi Anda berkali-kali.”

“Baik, Pak,” ujarnya sambil menahan senyum yang hampir pecah.

Ia menatap layar ponsel sambil membayangkan dirinya memakai seragam PKK warna hijau, duduk di kursi depan saat acara kota, tersenyum ke kamera, dan memberikan rekomendasi jabatan pada orang yang ia suka.

Bayangan itu membuat dadanya hangat.

Fani masuk dengan wajah penasaran. “Kenapa kamu bahagia banget, Nggi?”

Anggi merapikan rambutnya dengan gaya sok tenang. “Mahira sebentar lagi datang. Tolong kondisikan yang lain, ya.”

Fani menghela napas panjang. Wajahnya menunjukkan rasa malas, tetapi ia tetap mengangguk.

Dalam pikirannya ia menimbang-nimbang. Jika Anggi benar-benar naik status, kalau benar bisa jadi istri wali kota, maka ini saatnya menabung jasa.

Suatu hari ia mungkin bisa menagih janji itu dan meminta rekomendasi jadi PNS.

“Baiklah,” gumam Fani sambil berjalan keluar. “Demi masa depan.”

Baskara menelpon Antonio sambil menatap jendela kantornya yang berkabut tipis.

“Siapkan penangkapan Mahira di SMK Nusantara.”

Suara Antonio terdengar tenang seolah hal itu hanya rutinitas. “Dalam waktu satu jam sepuluh menit polisi akan menangkapnya.”

“Bagus.” Baskara menahan senyum kecil. “Jangan lupa media.”

Begitu sambungan berakhir, ia segera menelpon Anggi.

“Bu Anggi, mohon kondisikan Bu Mahira agar tidak kabur.”

“Baik, Pak. Saya akan lakukan yang terbaik,” jawab Anggi dengan suara riang.

Telepon terputus. Anggi menatap jam tangannya. Sepuluh menit sudah lewat. Di kepalanya hanya tersisa satu hitungan: lima puluh menit menuju momen ketika nama Mahira akan hancur, dan jalannya menuju status ibu wali kota akan terbuka lebar.

Mahira setengah berlari menuju pangkalan ojek. Nafasnya memburu.

“Bang, ke SMK Nusantara. Secepat mungkin.” Ia menyodorkan uang seratus ribu.

“Bu, ini kebanyakan,” ujar tukang ojek bingung.

“Buat Bapak makan. Tolong cepat. Waktu saya sedikit.”

Motor pun melaju menembus lalu lintas pagi.

Anggi kembali mengecek jam. Waktu tersisa dua puluh lima menit. Degup jantungnya makin cepat. Ia mencoba menelpon Mahira, tapi tidak diangkat.

“Jangan bilang dia berubah pikiran,” gumam Anggi cemas.

Ia menulis pesan singkat: tolong lebih cepat, Mahira.

Dari kejauhan, ia melihat motor memasuki gerbang sekolah.

“Itu dia,” bisiknya senang. Ia langsung menelpon security. “Tolong antar Mahira ke ruangan saya.”

Mahira bergegas menuju ruangan BK. Nafasnya belum teratur penuh kekhawatiran.

“Di mana Nurma?” tanya Mahira.

“Sebentar lagi datang.” Anggi melirik jam tangannya. Masih ada sekitar dua puluh menit. Jalannya menuju kehidupan glamor seolah makin terbuka.

Mahira memicingkan mata. “Anggi… kamu bohong, ya?”

“Bawel,” bentak Anggi.

Dari balik jendela, Anggi menangkap pemandangan mengejutkan. Sebuah mobil rantis masuk halaman. Badannya merinding.

“Gila… sudah kayak nangkap teroris saja,” gumamnya.

Mahira yang melihatnya ikut kaget. Tubuhnya menegang. Pandangannya langsung mengarah pada Anggi.

“Kamu menjebakku, Anggi.” Suaranya pecah, penuh amarah dan takut.

“Aku tidak menjebak. Aku hanya membantu menangkap penjahat.” Nada Anggi berubah sinis, penuh kemenangan.

Pintu rantis terbuka. Pasukan serba hitam turun dengan perlengkapan taktis lengkap. Masker menutupi wajah mereka. Hanya mata tajam yang terlihat.

Anggi berlari kecil menghampiri mereka. “Itu dia orangnya, Pak.”

“Anggi, kamu jahat!” teriak Mahira, tetapi suaranya tenggelam oleh langkah berat sepatu pasukan.

Tidak ada yang menanggapi. Tubuh Mahira lunglai. Salah satu pasukan langsung mengangkatnya, membawanya masuk ke mobil rantis.

Pintu rantis menutup keras. Mobil itu melaju keluar dari area sekolah.

Anggi tersenyum puas. Telapak tangannya dingin, tetapi euforia menutupi semuanya. Ia segera menelpon Baskara.

Belum sempat bicara, matanya membesar. Di gerbang sekolah muncul dua mobil patroli berlogo kepolisian resmi.

Beberapa polisi berseragam lengkap turun tergesa.

“Maaf, Bu Anggi. Apa Bu Mahira sudah dikondisikan?” tanya salah satu dari mereka.

Anggi mengernyit. “Bapak dari polisi mana?”

“Saya suruhan Pak Baskara.”

“A… apa?” Suara Anggi tercekat.

Tubuhnya gemetar. Ponselnya jatuh dari tangannya, menghantam lantai dengan bunyi keras.

Darah di wajahnya seolah hilang seketika.

1
puspa endah
ceritanya bagus thor susah di tebak
puspa endah
teka teki banget ceritanya👍👍👍👍 lanjut thor😍😍😍
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
partini
oh seperti itu
puspa endah
lanjut thor👍👍👍
puspa endah
banyak teka tekinya thor😄😄😄. siapa lagi ya itu....
anak buah doni kah?
puspa endah
woow siapakah Leo?
NP
ga jadi mandi di doni
puspa endah
🤣🤣🤣 lucu banget mahira n doni
partini
Leo saking cintanya sama tuh Kunti Ampe segitunya nurut aja ,,dia dalangnya Leo yg eksekusi hemmmm ledhoooooooooo
partini
sehhh sadis nya, guru ga ada harganya di mata mereka wow super wow
partini
hemmm modus ini mah
partini
apa Doni bukan anak SMA,, wah banyak misteri
puspa endah
wah kereen bu kepsek👍👍👍 hempaskan bu susi, bu anggi dan pak marno😄😄😄😄
partini
Reza takut ma bosnya 😂😂
sama" cembukur teryata
puspa endah
bagus mahira👍👍👍 jangan takut klo ga salah
puspa endah
doni kayaknya lagi menyamar
partini
daster panjang di bawah lutut ga Sampai mata kaki ya Thor
tapi pakai hijab apa ga aneh
NP: q kalo dirumah jg sering kayak itu ..to pake legging lengan pendek
total 3 replies
partini
hemmmm Doni ,, kenapa aku berfikir ke sana yah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!