Setting Latar 1970
Demi menebus hutang ayahnya, Asha menikah dengan putra kedua Juragan Karto, Adam. Pria yang hanya pernah sekali dua kali dia lihat.
Ia berharap cinta bisa tumbuh setelah akad, tapi harapan itu hancur saat tahu hati Adam telah dimiliki Juwita — kakak iparnya sendiri.
Di rumah itu, cinta dalam hati bersembunyi di balik sopan santun keluarga.
Asha ingin mempertahankan pernikahannya, sementara Juwita tampak seperti ingin menjadi ratu satu-satunya dikediaman itu.
Saat cinta dan harga diri dipertaruhkan, siapa yang akan tersisa tanpa luka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepikiran 14
Beberapa hari yang lalu, tepatnya ketika Juragan Karto memanggil Adam dan Asha, Bimo yang sangat penasaran akhirnya pun berusaha untuk mencuri dengar. Dia sangat terkejut ketika ayahnya berkata akan memberi Adam tanah milik kelurga Asha. Itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Juragan karto tak pernah memberi Adam kepercayaan.
Selama ini, Adam tidak diberikan hal semacam itu. Maka dari itu Bimo amat sangat terkejut. Terlebih tanah yang dimiliki keluarga Asha terhitung luas.
Maka dari itu, Bimo mendukung penuh ide Juwita, karena jika Asha tidak betah di rumah ini, maka Adam tidak akan bangkit.
"Lakukan pekerjaanmu dengan baik, istriku,"ucap Bimo dengan senyum penuh arti.
Dia memanfaatkan Juwita untuk terus mengganggu Asha, karena pada dasarnya mereka saling menguntungkan dengan hal itu.
Dan Bimo, matanya tidak lah buta. Dia juga tahu tentang kenyataan Adam menyukai Juwita hingga sekarang. Juwita yang dekat dengan Adam pun, dia juga mengetahuinya. Tapi Bimo memang diam, karena lagi-lagi itu menguntungkannya.
Jika Adam terus terjebak dengan Juwita, maka kepemilikan seluruh harta keluarga Darsuki akan menadi miliknya. Ia akan jadi satu-satunya pewaris.
Kondisi Adam yang sedemikian tentu tidak akan pernah mendapat kepercayaan dari Juragan Karto.
"Wanita itu datang, ku pikir dia bodoh tapi ternyata dia pintar dan cerdik. Ini akan membuat posisi ku terancam,"gumam Bimo lirih. "Bagaimanapun, Adam harus terus menjadi bodoh karena cinta itu. Dia harus jadi anak yang tidak tampak di mata Bapak,"imbuhnya.
Sementara itu, Juwita yang ada di dapur tengah menunjukkan taringnya. Dia membantu Sugiyanti yang tengah menyiapkan Makanan. Sebenarnya ada Mbok Jum yang memasak, tapi terkadang Sugi juga masuk ke dapur saat suaminya ingin makan sesuatu yang khusus.
Dan malam ini, Juragan Karto ingin makan gudeg yang dibuat langsung oleh tangan istrinya yang memang berasal dari Kota Yogyakarta. Menurut Juragan Karto hanya Sugi yang bisa menciptakan rasa yang dia inginkan.
"Aku bantu memarut kelapanya ya, Bu" ucap Juwita, dia menawarkan bantuan kepada sang ibu mertua.
"Terimakasih ya,"ucap Sugiyanti.
Juwita pun langsung mengerjakan apa yang tadi dia tawarkan kepada Sugi. Dia mengambil kelapa yang sudah dibersihkan, parut dan juga baskom.
Tidak banyak bicara, begitulah kalau Sugi memasak di dapur. Dia akan fokus dengan masakannya. Jadi Juwita pun juga tidak bicara.
"Eh lihat, Non Juwita memang beda ya. Dia benar-benar telah menyatu dengan keluarga ini. Tidak seperti Non Asha."
"Iya, Nyonya sedang masak, tapi dia tidak terlihat tuh."
"Benar-benar, bukannya mengakrabkan diri dengan mertua dan juga ipar, dia malah enak-enakan tidur di sore hari begini."
Juwita tersenyum ketika dia mendengar ucapan pekerja dan pembantu yang ada di kediaman Darsuki. Dia yang sedang membuang ampas kelapa ke kebun belakang, tersenyum simpul.
Tapi bukan Juwita kalau tidak memanfaatkan situasi tersebut. Dia harus membuat orang-orang semakin yakin bahwa dirinya lebih baik dari Asha.
"Apa yang kalian omongkan itu? Aku mohon jangan bicara demikian. Bagaimanapun dia adalah menantu keluarga ini, dia adalah istri dari Adam. Dan lagi pula, Asha belum ada seminggu jadi menantu keluarga ini, dia masih butuh menyesuaikan diri dan belajar, aku harap kalian bisa memahami itu dan."
Ucapan Juwita terdengar tegas. Orang-orang yang mendengar ucapan Juwita itu seketika langsung diam. Mereka kemudian meminta maaf.
"Maaf Non, kami tidak bermaksud. Hanya saja memang Non Juwita dan Non Asha berbeda,"ucap salah satu pembantu di rumah ini.
"Iya, kami jelas berbeda. Aku lebih dulu jadi menantu dan Asha baru. Tapi kalian tidak boleh membanding-bandingkan kami begitu. Sudah sudah, kalian lanjut saja pekerjaan kalian."
Juwita melenggang pergi, meski terlihat marah tapi dia tersenyum puas.
"Waah Non Juwita beneran baik ya?"
"Iya, selayaknya menantu pertama. Wibawanya itu lho, mirip seperti Nyonya Besar. Non Juwita sudah pantas untuk jadi penerus nyonya rumah ini."
Semakin lebar saja senyum Juwita. Dia benar-benar puas dengan tanggapan dari orang-orang. Apalagi ketika ada yang mengatakan bahwa dirinya sudah selayaknya jadi nyonya rumah berikutnya, percayalah bahwa hati Juwita menari-nari sekarang ini.
Dengan membawa rasa puasnya, Juwita kembali ke kamar. Dia menceritakan semuanya kepada Bimo.
"Kamu hebat, sayang. Aku bangga padamu. Bagaimanapun istana ini harus dimiliki oleh kita,"ucap Bimo.
"Ya benar, semua orang berkata demikian. Adam yang suka membuat onar dan Asha yang tidak peka jadi menantu, katanya memang lebih baik kita dari berbagai banyak sisi."
Sungguh sangat kompak sekali pasangan ini. Mereka benar-benar berpikir dengan pikiran yang sangat licik.
Setelah kejadian itu, setiap harinya ada saja komentar yang buruk bagi Asha. Isinya dari setiap ucapan itu tentang perbandingan dan tidak cocoknya Asha menjadi menantu keluarga ini.
Bagi Asha, dia tidak peduli dengan ucapan orang-orang yang ada di sini. Baginya yang terpenting adalah kedua mertuanya yang tidak pernah menganggapnya begitu.
Akhir pekan pun tiba, hari dimana Adam tidak pergi ke kampus dan tetap berada di rumah.
Hari ini Asha juga diminta libur oleh Juragan Karto. Setiap har Asha selalu rajin dan tidak pernah berhenti melakukan pekerjaannya.
"Suami mu kan libur, jadi kamu besok juga tidak perlu mengerjakannya." Begitulah ucapan Juragan karto. Akhirnya mau tidak mau, Asha pun menuruti apa yang dikatakan sang ayah mertua.
"Apa ada sesuatu di rumah?" tanya Adam ketika Asha keluar dari kamar mandi. Pria itu sudah berdiri di depan pintu kamar mandi, seolah memang menunggu Asha sedari tadi.
"Tidak ada apa-apa. Kenapa? Kenapa kamu tiba-tiba peduli kepadaku, Mas? Bukankah selama ini kamu tidak pernah peduli terhadapku?"
Ucapan Asha langsung menghujam jantung Adam karena memang apa yang dikatakan oleh istrinya itu benar adanya.
Dan sebenarnya dia pun awalnya juga tak ingin terlalu peduli. Akan tetapi mendengar ucapan orang-orang di rumah ini, entah mengapa hatinya tergerak untuk menanyakan keadaan Asha.
"Aku hanya tidak ingin saja kamu terganggu dengan ucapan mereka,"ucap Adam. Apa yang dia katakan itu benar-benar kekhawatiran yang tulus.
"Tenang saja, aku bisa mengatasinya sendiri. Seperti kata Bapak, fokus dulu pada kuliahmu yang tinggal sedikit lagi itu."
Asha melenggang pergi ke luar dari kamar. Sedangkan Adam, ia hanya menatap punggung istrinya yang menghilang dari balik pintu.
"Sialan, gara-gara ucapan Adi aku benar-benar jadi kepikiran degan dia,"umpat Adam lirih.
TBC
Dam.. Asha ingin kamu menyadari rasamu dulu ya...
Goda terus Sha, kalian kan sudah sah suami istri