Alina harus menerima kenyataan kalau dirinya kini sudah bercerai dengan suaminya di usia yang masih sama-sama muda, Revan. Selama menikah pria itu tidak pernah bersikap hangat ataupun mencintai Alina, karena di hatinya hanya ada Devi, sang kekasih.
Revan sangat muak dengan perjodohan yang dijalaninya sampai akhirnya memutuskan untuk menceraikan Alina.
Ternyata tak lama setelah bercerai. Alina hamil, saat dia dan ibunya ingin memberitahu Revan, Alina melihat pemandangan yang menyakitkan yang akhirnya memutuskan dia untuk pergi sejauh-jauhnya dari hidup pria itu.
Dan mereka akan bertemu nanti di perusahaan tempat Alina bekerja yang ternyata adalah direktur barunya itu mantan suaminya.
Alina bertemu dengan mantan suaminya dengan mereka yang sudah menjalin hubungan dengan pasangan mereka.
Tapi apakah Alina akan kembali dengan Revan demi putra tercinta? atau mereka tetap akan berpisah sampai akhir cerita?
Ikuti Kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Pesta ulang tahun
"Tenang dulu, Alina," ucap Leon lembut. Ia menepikan mobil sejenak di bahu jalan, lalu meraih tangan Alina yang masih gemetar hebat.
"Gimana bisa aku tenang, Leon!? Kamu lihat sendiri tadi, wanita itu menghina aku dan Aeris seolah kami ini sampah!" seru Alina dengan suara bergetar. Napasnya masih memburu, amarah dan rasa sakit berbaur menjadi satu. Matanya yang indah kini berkaca-kaca, menahan tangis yang siap pecah kapan saja.
"Mama... jangan nangis, ih. Aeris nggak suka lihat Mama nangis gara-gara orang jahat itu," ucap Aeris yang duduk di kursi belakang.
Alina menoleh ke belakang, hatinya mencelos melihat binar mata putranya yang tulus. Ia langsung menarik tangan bocah itu, mengangkat Aeris ke gendongannya dan memeluk Aeris erat, mencium keningnya berkali-kali.
"Nggak apa-apa Aeris dikeluarin dari sana. Aeris nggak sedih kok, Ma. Aeris cuma sedih karena harus pisah sama Tya," gumam bocah itu pelan. "Tapi kalau sama si Rio itu... ck, harusnya kan dia juga dikeluarkan! Dia yang dorong Aeris duluan."
Alina mengusap air matanya, mencoba tersenyum di depan anaknya. "Iya, Sayang. Nanti Mama cariin TK baru yang lebih bagus buat kamu, ya."
"Kenapa sih, Ma? Kalau orang nggak punya Papa selalu dibilang anak haram?" tanya Aeris tiba-tiba. Pertanyaan itu bak petir di siang bolong bagi Alina.
"Padahal kan di dunia ini nggak ada yang namanya anak haram. Semua anak itu baik, karena mereka nggak bisa milih terlahir dari orang tua mana. Benar kan, Om Leon?"
Leon tertegun, ia menatap Aeris dengan rasa kagum sekaligus sesak. "Kamu benar seratus persen, Aeris. Kamu anak hebat, anak kebanggaan Mama."
Alina tersenyum haru.
"Semua orang jahatin Mama sama Aeris. Nenek bau tanah itu juga sama!" celetuk Aeris ketus, merujuk pada Ibu Leon yang pernah menemuinya.
Leon dan Alina spontan tertawa kecil di tengah suasana haru itu.
"Sayang, nggak boleh ngomong gitu... itu kan Mamanya Om Leon," tegur Alina, meski hatinya sedikit setuju.
"Emang bener, kok! Mamanya Om Leon itu jahat! Nyuruh-nyuruh Mama ninggalin Om Leon! Padahal Om sendiri yang terus-terusan deketin Mama!" ujar Aeris tegas sambil bersedekap dada.
Leon terkekeh pelan. "Iya, iya. Nanti Om hukum deh neneknya kalau ketemu lagi."
"Bilangin ya ke Mamanya Om, mulutnya dijaga. Nggak takut apa dia diazab? Aeris pernah nonton film, ada orang yang dikutuk jadi batu gara-gara sering jahatin orang. Ih, serem!"
Alina kembali terkekeh, bebannya sedikit terangkat karena celotehan putranya. "Udah, sekarang kita pulang."
"Mau mampir beli es krim dulu? Buat dinginin hati kalian berdua," tawar Leon sambil mulai menjalankan mobil kembali.
"Nggak usah basa-basi lagi, Om. Ya jelas mau, lah! Ukuran jumbo ya!" sahut Aeris cepat yang disambut gelak tawa orang dewasa di mobil itu.
Di sudut lain kota, suasana sibuk terasa di sebuah bangunan kecil bernama Autisa Cake. Aroma mentega cair dan vanila yang dipanggang memenuhi udara, memberikan kesan hangat bagi siapa pun yang melintas.
Kamelia, wanita berusia empat puluh lima tahun yang masih tampak awet muda, sibuk di dapur. Tangannya cekatan menata adonan kue di atas loyang.
"Cika, tolong ambilkan menteganya di kulkas. Stok yang di meja sudah habis," katanya tanpa mengalihkan pandangan.
"Tunggu bentar, Bi," sahut Cika yang sedang asyik duduk di sofa depan sambil mengipasi wajahnya. Dengan gesit, gadis itu membawakan beberapa batang mentega ke dapur.
"Kayaknya istimewa banget deh, yang pesan kue ini. Sampai Bibi dari pagi nggak berhenti dandanin kuenya," komentar Cika.
"Yang pesan orang kaya dari Kota B, Cik. Pesanannya banyak dan detail banget. Jadi Bibi harus ekstra hati-hati jangan sampai ada yang kurang," jawab Kamelia lembut.
"Siapa sih yang pesan, Bi?"
"Bibi juga nggak tahu namanya siapa. Kata asistennya, majikannya sudah lama banget pengen makan kue buatan Bibi. Nanti sore asistennya yang ambil langsung."
"Sini bantuin Bibi, ya. Dua jam lagi orangnya sampai," tambahnya lagi.
Cika segera membantu: mengaduk adonan, menyiapkan loyang, dan menyusun kotak kemasan yang elegan. Tak lama kemudian, Afkar, seorang pemuda seumuran Cika, masuk membawa kantong belanjaan.
"Bi, ini stroberi segar sama whipped cream-nya," katanya sambil menyerahkannya pada Kamelia.
"Taruh di sini, Kar. Makasih ya," sahut Kamelia.
Ia memang mempekerjakan Cika dan Afkar karena kasihan melihat mereka belum mendapat pekerjaan tetap. Baginya, mereka sudah seperti anak sendiri.
"Ish, Afkar!" seru Cika tiba-tiba saat Afkar dengan jahil mengoleskan mentega ke pipinya.
"Bi! Lihat tuh, Afkar buang-buang bahan!" adunya cemberut.
"Afkar, jangan main-main, sayang bahannya," tegur Kamelia sambil menahan tawa.
"Habisnya mukanya lucu kalau lagi serius, Bi," jawab Afkar santai. Ia melihat Cika yang sibuk mengusap wajahnya yang berminyak. "Sini, biar aku bersihin."
Afkar mengambil selembar tisu dan mendekat. Ia dengan hati-hati mengelap wajah Cika. Jarak mereka begitu dekat hingga Cika bisa merasakan deru napas Afkar.
"Ngedip, yang..." bisik Afkar dengan suara husky-nya yang khas tepat di telinga Cika.
"Ish! Apaan sih!" Cika memukul pelan lengan pemuda itu, wajahnya merona merah padam karena panggilan godaan itu.
"Ehem... Nggak kasihan apa sama Bibi yang jomblo di sini?" celetuk Kamelia menggoda, membuat keduanya makin salah tingkah.
Sore harinya, sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan Autisa Cake. Jefri, asisten kepercayaan keluarga Revan, turun dari mobil dengan setelan jas rapi.
Setelah mengecek pesanan dan memastikan semua kue tertata sempurna di bagasi, Jefri menatap Kamelia dengan tatapan kagum.
"Terima kasih banyak, Bu Kamelia. Kuenya terlihat luar biasa. Saya yakin Nyonya akan sangat senang," ucap Jefri sopan.
"Sama-sama, Nak Jef. Sungguh sebuah kehormatan bagi toko kecil kami," jawab Kamelia tulus.
"Jangan kapok ya, Om Ganteng! Nanti pesan lagi yang banyak!" celetuk Cika sambil tertawa kecil, yang langsung dibalas pelototan cemburu oleh Afkar.
Jefri tersenyum geli, namun kemudian ia teringat sesuatu. Ia merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah kartu undangan mewah berwarna gold.
"Mm... Bu Kamelia, jika Anda dan staf berkenan, datanglah ke pesta malam ini di Kota B. Ini adalah pesta ulang tahun Nyonya besar. Beliau sendiri yang meminta saya untuk mengundang pembuat kue favoritnya."
"Apa!?" Kamelia terkejut bukan main.
"Bi! Kita diundang ke pesta orang kaya!" pekik Cika kegirangan.
"Tapi Nak Jef, kami ini hanya orang biasa... saya rasa pakaian kami pun tidak pantas untuk acara seperti itu," ucap Kamelia ragu.
"Jangan khawatirkan hal itu. Majikan saya sangat menghargai ketulusan lebih dari sekadar penampilan. Datanglah kesini. Acara dimulai jam delapan malam," jelas Jefri meyakinkan.
Setelah Jefri pergi, Cika langsung melompat-lompat senang. "Bi! Ayo berangkat! Kita bisa sekalian kasih kejutan buat Kak Alina di sana!"
Kamelia terdiam sejenak, menatap undangan di tangannya. Ada perasaan aneh di hatinya, seolah ada sesuatu yang besar yang menantinya di Kota B. "Kota B, ya... Baiklah, kita berangkat."