Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabur
Epi membuka mata dengan napas tersengal. Ruangan asing itu sunyi—terlalu sunyi.
Ia duduk perlahan, menahan perih di sisi tubuhnya.
Epi (dalam hati):
“Entah sudah berapa lama aku di rumah ini… apa yang sebenarnya dia inginkan? Tidak, aku harus pergi. Sekarang.”
Ia bangkit, jalannya goyah. Pintu kamar terkunci dari luar sebelum Fandi pulang—tapi sekarang terbuka. Mungkin ART lupa menguncinya.
Lorong rumah itu luas, tenang, dan kosong.
Epi menelan ludah.
Epi: “Ponselku… lowbat lagi. Tidak bisa pesan taksi. Di mana ini sebenarnya…?”
Ia bicara sendiri, panik.
Tanpa pikir panjang, ia keluar dari rumah besar itu, berjalan gontai ke jalanan depan. Kaki luka, tapi ketakutan membuatnya terus maju.
SISI LAIN — FANDI DI RESTORAN
Fandi makan siang dengan Kei dan Alfin. Piring masih penuh, tetapi ia sejak tadi melihat ponselnya—memeriksa CCTV rumah.
Kei mendengus.
Kei: “Lo kerja bahkan pas lagi makan siang. Gilak.”
Alfin menambah, sambil minum:
Alfin: “Santai dikit lah, Fan.”
Namun tiba-tiba ekspresi Fandi berubah drastis.
Mata tajamnya menegang.
Fandi: “Dia keluar.”
Ia berdiri begitu cepat sampai kursinya hampir jatuh. Kei dan Alfin belum sempat tanya apa pun ketika Fandi sudah berjalan keluar.
Kei: “Woy! Mau ke mana, fan?!”
Tapi Fandi tak menjawab.
Bruuuummmm—
Mobilnya meraung keras, melesat di jalanan seperti peluru.
Saking cepatnya, mobil lain menepi tanpa sadar.
Dari kejauhan Fandi melihat sosok mungil yang berjalan limbung di jalanan sepi itu.
Fandi: “Astaga… gadis bodoh.”
Ia menancap gas lebih dalam.
DUGG—!!
Mobil berhenti keras tepat di depan Epi, membuat gadis itu tersentak mundur ketakutan.
Pintu mobil terbuka keras.
Fandi turun, langkahnya cepat, aura dinginnya menekan udara sekitar.
Fandi: “Kenapa kamu keluar rumah?”
Suara itu rendah… tapi terasa seperti ancaman.
Epi menggigit bibir.
Epi: “A-aku mau pulang…”
Suaranya putus-putus, tangan gemetar, kepalanya menunduk penuh takut.
Fandi mendekat, tanpa memberi ruang.
Fandi: “Kau tidak boleh pergi. Masuk mobil.”
Ia meraih tangannya, namun Epi menghindar, menggeleng cepat.
Epi: “Tolong… biarkan aku pulang. Aku sudah bilang semuanya. Aku… aku nggak tahu apa-apa lagi.”
Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
Fandi berhenti. Menatap lama.
Untuk pertama kalinya ia melihat betapa hancurnya gadis itu.
Kei sering bilang Fandi dingin. Tapi bahkan bagi Kei, ekspresi Fandi sekarang… berbeda.
Perlahan, Fandi melepaskan genggaman kuatnya—dan justru menarik Epi ke dadanya.
Epi terkejut, tubuh kecilnya kaku dalam pelukan itu.
Epi: “L-lepaskan…”
Tapi Fandi tidak.
Pelukannya bukan kasar—tapi kokoh, protektif, seolah ia takut kehilangan sesuatu.
Fandi: “Aku tidak akan menyakitimu. Tetaplah di rumah… sampai kamu sembuh. Dan aman.”
Ia menundukkan wajahnya sedikit, jaraknya hanya beberapa sentimeter dari wajah Epi.
Napas mereka nyaris bercampur.
Epi: “A-aku sudah sembuh. Tolong… biarkan aku pulang.”
Suaranya lirih, memohon.
Fandi menggeleng pelan.
Fandi: “Belum. Kamu belum sembuh.”
Epi: “Aku mau pulang sekarang… tolong…”
Air matanya makin deras.
Fandi menahan dagu Epi lembut, memaksa gadis itu menatap matanya.
Fandi: “Jangan membantah. Ini demi keselamatanmu.”
Epi: “Tidak mau… aku mau pulang.”
Fandi mendekat lebih dekat lagi—sangat dekat—tangan satunya melingkari pinggang Epi agar tidak goyah.
Tatapannya tajam. Tak berkedip.
Fandi (suara rendah, namun menekan):
“Epi… ikutlah. Jangan buat aku ulangi dua kali.”
Gadis itu membeku. Wajah merah padam seperti terbakar.
Ketakutan, bingung, semuanya bercampur.
Dan Fandi… tetap menatapnya, dingin namun seakan tidak rela melepas.
Epi mendorong sekuat tenaga, namun pertahanan Fandi seperti tembok kokoh yang tak tergoyahkan. Fandi justru semakin mendekat, tatapannya mengunci mata Epi, membuat jantung gadis itu berdebar tak karuan.
"apa yang kamu lakukan?" bisik Epi, suaranya bergetar.
Fandi tak menjawab. Tangannya terangkat, membelai lembut pipi Epi. Sentuhan itu membuat Epi membeku, seluruh tubuhnya seolah kehilangan daya.
"Aku..." Fandi menggantungkan kalimatnya, matanya menyorotkan sesuatu yang tak bisa Epi baca.."
Tanpa menunggu jawaban, Fandi semakin mendekatkan wajahnya. Epi hanya bisa mematung, pikirannya kosong. Satu tangan Fandi memegang tengkuknya, seolah memastikan Epi tak bisa melarikan diri.
Napas Fandi terasa hangat menerpa wajah Epi. Gadis itu memejamkan mata, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Cup.
Bibir Fandi menyentuh bibir Epi, lembut namun pasti. Awalnya hanya kecupan ringan, namun kemudian berubah menjadi ciuman yang dalam dan menuntut. Epi terkejut, matanya langsung terbuka lebar.
Ya Tuhan, apa yang terjadi? batin Epi histeris.
Fandi semakin menekan tengkuk Epi, memperdalam ciuman mereka. Epi berusaha memberontak, namun tenaganya seolah terkuras habis. Tangan Fandi melingkar di pinggangnya, menahannya agar tidak bisa menjauh.
Ciuman itu berlangsung lama, sangat lama hingga Epi mulai kehilangan akal sehatnya. Ia merasa seperti terhisap ke dalam pusaran yang tak berujung.
Akhirnya, Fandi melepaskan ciumannya. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti, napas keduanya terengah-engah.
“A-apa yang kamu lakukan…” bisiknya gemetar.
Fandi tidak menjawab langsung. Ia menatap gadis itu dari dekat, napasnya masih menyentuh kulit Epi.
“Kenapa kamu keluar rumah?”
Suaranya dalam, berat, dan sangat dekat.
“Aku… mau pulang…”
Epi menunduk, takut, suaranya terbata-bata.
“Kau tidak boleh pergi. Masuk mobil.”
Fandi menarik tangan Epi, namun gadis itu menggeleng cepat.
“Aku mau pulang… tolong biarkan aku pergi… aku sudah bilang semua yang aku tahu…”
Air mata turun, tubuhnya gemetar.
Fandi menahan napas, memandang wajah gadis itu lama, seolah mencoba mengerti ketakutannya. Lalu—untuk pertama kalinya—ia menarik Epi ke dalam pelukan.
Gadis itu terkejut, tubuhnya kaku.
“Aku tidak akan menyakitimu,” ucap Fandi, nada suaranya rendah namun pasti. Tangannya menahan pinggang gadis itu, seolah ia takut gadis itu jatuh. “Tetaplah di rumah. Hingga kamu sembuh. Hingga aman.”
“Aku sudah sembuh… tolong izinkan aku pulang…”
Epi memohon, suaranya sangat pelan.
“Tidak bisa.”
Suara Fandi lembut namun tegas. “Kamu belum sembuh. Jika kamu benar-benar sembuh, aku yang akan mengantar kamu pulang.”
Tapi Epi kembali menggeleng—air mata jatuh lagi.
“Aku mau pulang sekarang…”
Suaranya pecah.
Fandi mendekat lagi. Sangat dekat.
Hembusan napasnya menyentuh bibir Epi. Tangannya kembali melingkar di pinggang gadis itu.
“Ikutlah,” bisiknya lembut namun penuh tekanan.
“Jangan membantah aku.”