NovelToon NovelToon
Sayap Patah Angkasa

Sayap Patah Angkasa

Status: tamat
Genre:Angst / Tamat
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Realrf

Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Memilih

Lembar demi lembar Angkasa baca…..dan kebohongan itu kini terbaring di pangkuannya, terbungkus sampul kulit usang, beraroma debu dan penyesalan.

Kata-kata terakhir Laras di halaman itu bukan sebuah akhir, melainkan sebuah pintu gerbang menuju jurang pemahaman yang lebih kelam. Angkasa menatap kalimat itu hingga huruf-hurufnya kabur, seolah tinta itu meresap dari kertas, mengalir melalui nadinya, dan meracuni sisa harapan yang masih bersembunyi di sudut tergelap hatinya. Pria itu, syarat itu, kehidupan baru itu… semua dibangun di atas pengorbanannya.

Tangannya yang gemetar secara refleks membalik halaman terakhir yang rapuh itu. Ada satu halaman lagi yang terisi, terpisah dari entri sebelumnya. Sepertinya ditulis dalam ketergesa-gesaan, dengan tekanan pena yang lebih kuat, meninggalkan jejak amarah dan keputusasaan yang dalam. Hanya satu kalimat, tanpa tanggal, tanpa basa-basi. Sebuah wasiat sekaligus kutukan.

Jika aku memilih bahagia, maka kau harus membenci ibumu.

Angkasa membacanya sekali. Dua kali. Tiga kali.

Udara di paru-parunya seakan membeku. Jadi ini wasiatnya. Bukan permintaan maaf, bukan penjelasan, melainkan sebuah perintah. Sebuah pembebasan tanggung jawab yang dibungkus dalam martir palsu. Ibunya tidak memintanya untuk mengerti.

Ibunya memerintahkannya untuk membenci agar ia bisa hidup dengan pilihannya tanpa merasa bersalah. Tawa getir dan sunyi lolos dari bibirnya. Ia bahkan tidak diberi hak untuk merindukan ibunya; ia diperintahkan untuk membencinya.

Dengan gerakan lambat dan pasti, Angkasa menutup buku harian itu. Bunyi sampul kulit yang bertemu dengan halaman-halaman tua terdengar seperti pintu penjara yang dibanting tertutup untuk selamanya. Selesai. Tidak ada lagi pertanyaan.

Tidak ada lagi harapan samar bahwa suatu hari nanti ibunya akan kembali dengan penjelasan yang bisa menyembuhkan lukanya. Penjelasannya ada di sini: ia adalah harga yang harus dibayar untuk kebahagiaan orang lain.

Ia baru saja akan memasukkan buku itu kembali ke dalam kotak saat pintu kamar terbuka. Dokter Adrian, kepala hematologi yang menangani kasusnya, masuk dengan map di tangan. Wajahnya yang biasanya tenang kini membawa seutas garis ketegangan yang tidak bisa disembunyikan di balik senyum profesionalnya.

“Selamat sore, Mas Angkasa,” sapanya, matanya melirik sekilas pada buku tua di pangkuan Angkasa sebelum kembali fokus pada wajah pasiennya.

“Bagaimana perasaanmu hari ini?”

“Seperti biasa, Dok,” jawab Angkasa datar, menyembunyikan buku itu di bawah selimut.

Dokter Adrian menarik kursi, gerakannya penuh pertimbangan.

“Saya sudah lihat hasil lab darahmu yang terbaru. Dan hasilnya… kurang baik.”

Angkasa tidak terkejut. Ia bisa merasakannya di tubuhnya sendiri. Rasa lelah yang semakin dalam, pusing yang datang tiba-tiba saat ia mencoba berdiri, dan memar-memar kecil yang muncul tanpa sebab.

“Seberapa kurang baik?” tanya Angkasa datar.

“Transfusi darah hanya bekerja sebagai penopang sementara. Pabrikmu, sumsum tulangmu benar-benar berhenti bekerja, Mas,” jelas Dokter Adrian dengan nada hati-hati.

“Kita tidak bisa terus-menerus mengandalkan transfusi. Sudah waktunya kita mengambil langkah yang lebih agresif.”

Gilang, yang sejak tadi pura-pura asyik dengan ponselnya, kini menajamkan telinga. Ia meletakkan ponselnya di dada, matanya mengawasi interaksi itu dari seberang ruangan.

“Langkah agresif?” ulang Angkasa dengan mengerutkan keningnya.

“Transplantasi sumsum tulang,” kata Dokter Adrian tegas.

“Itu satu-satunya harapanmu untuk sembuh total. Kita harus melakukannya segera. Semakin lama kita menunggu, semakin lemah kondisimu dan semakin tinggi risiko kegagalan.”

Angkasa terdiam, mencerna vonis itu. Transplantasi. Sebuah kata yang terdengar begitu final, begitu besar. Angkasa terkekeh sumbang

“Siapa yang akan bersedia mendonorkan sumsum tulang belakangnya, Dokter?”

“Itulah yang ingin saya bicarakan,” Dokter Adrian mencondongkan tubuhnya sedikit.

“Peluang terbaik dan tercepat selalu datang dari keluarga inti. Saudara kandung punya peluang kecocokan tertinggi, diikuti oleh orang tua. Jadi, pertanyaan saya, Mas Angkasa… apakah ada keluarga yang bisa kita hubungi untuk tes kecocokan? Ayah, ibu, atau saudara?”

Pertanyaan macam apa itu? Kata-kata Dokter Adrian menggantung di udara, lebih berat daripada diagnosis itu sendiri. Angkasa menatap kosong ke dinding di belakang sang dokter.

Di benaknya, terngiang kembali kalimat terakhir dari buku harian itu. Jika aku memilih bahagia, maka kau harus membenci ibumu. Menghubungi Laras bukan lagi sekadar menelan harga diri.

Itu berarti merangkak kembali pada orang yang telah membuangnya, mengemis serpihan hidup dari orang yang memilih untuk menghapusnya. Itu berarti menjadi bukti nyata dari kegagalan hidupnya, sebuah noda dalam kanvas sempurna keluarga baru ibunya.

“Mas Angkasa?” panggil Dokter Adrian lembut, melihat tatapan kosong pasiennya.

Angkasa menarik napas panjang. Keputusan itu datang bahkan sebelum ia sempat berpikir. Itu adalah sebuah refleks, sebuah insting bertahan hidup dari luka yang lebih mematikan daripada anemia.

“Nggak ada, Dok,” jawabnya, suaranya tenang dan tegas.

“Saya nggak punya siapa-siapa.”

Dokter Adrian mengerutkan kening. “Di data administrasimu memang tertulis begitu. Tapi kadang… situasi bisa berubah. Ini soal hidup dan mati, Mas. Apa kamu yakin tidak ada satu orang pun?”

“Saya yakin, Dok,” tegas Angkasa.

Tatapannya bertemu dengan tatapan sang dokter, dan di sana ada keteguhan yang membuat Dokter Adrian tidak bisa bertanya lebih jauh.

“Baiklah kalau begitu,” sang dokter menghela napas pasrah.

“Pilihan kedua adalah mencari donor dari bank data nasional dan internasional. Prosesnya akan lebih lama dan peluangnya lebih kecil, tapi bukan berarti tidak ada. Kita akan mulai proses pencariannya hari ini.”

Dokter Adrian berdiri, menepuk bahu Angkasa pelan.

“Jangan putus asa. Keajaiban itu ada. Kamu istirahat, ya.”

Setelah dokter itu pergi, keheningan yang berat kembali menyelimuti kamar. Angkasa memejamkan mata, merasakan kelegaan aneh yang bercampur dengan keputusasaan. Ia telah membuat pilihan. Ia tidak akan menjadi pengemis di depan pintu kebahagiaan ibunya. Harga yang harus ia bayar untuk hidup terlalu mahal.

“Lo bohong, kan?”

Suara Gilang memecah keheningan. Angkasa membuka matanya dan menoleh. Remaja itu kini duduk tegak di ranjangnya, menatapnya dengan sorot mata yang tajam dan dewasa, melampaui usianya.

“Bohong soal apa?” tanya Angkasa, pura-pura tidak mengerti.

“Soal keluarga,” kata Gilang langsung.

“Gue mungkin bocah, Kak. Tapi gue nggak bodoh. Semua orang punya keluarga, seburuk apa pun itu. Lo pasti punya.”

Angkasa memalingkan wajahnya.

“Bukan urusanmu, Gilang.”

“Jadi bener, kan?” desak Gilang, nadanya sedikit meninggi.

“Kenapa lo nggak mau hubungin mereka? Ini bukan soal pinjam duit seratus ribu, Kak! Ini soal nyawa lo!” Desak Gilang.

“Gue bilang bukan urusanmu!” bentak Angkasa, suaranya serak karena emosi.

Gilang terdiam, terkejut oleh ledakan emosi yang jarang Angkasa tunjukkan. Ia menelan ludah, lalu suaranya melembut.

“Maaf. Gue… gue cuma nggak mau lo nyerah gitu aja.”

Angkasa menghela napas, rasa bersalah langsung menyergapnya.

“Gue nggak nyerah, Lang. Gue cuma… memilih jalan gue.”

“Milih mati?” celetuk Gilang sinis.

“Milih cara gue hidup di sisa waktu yang gue punya,” koreksi Angkasa pelan.

“Dengan harga diri.”

Percakapan mereka terhenti di sana. Gilang kembali merebahkan diri, memunggungi Angkasa, tetapi keheningannya terasa seperti sebuah protes. Angkasa kembali menatap langit-langit, dunianya menyempit menjadi keputusan yang baru saja ia ambil. Ia merasa damai, meski di dasar hatinya ada ketakutan yang begitu besar.

Tiba-tiba, dari ranjang seberang, terdengar suara tarikan napas yang berat dan tercekat.

“Lang?” panggil Angkasa, tidak mendapat jawaban. Ia menoleh.

Gilang tidak lagi berbaring. Ia duduk dengan punggung membungkuk, satu tangannya mencengkeram dada dengan erat. Wajahnya yang biasanya pucat kini berubah menjadi kebiruan, matanya membelalak ngeri. Keringat dingin membasahi pelipisnya.

“Gilang, lo kenapa?!” seru Angkasa, panik menjalari seluruh tubuhnya.

Remaja itu mencoba menjawab, tetapi yang keluar hanyalah suara rintihan tertahan. Ia megap-megap, seperti ikan yang terlempar ke darat, mencari udara yang seolah menolak masuk ke paru-parunya.

Dan kemudian, suara yang paling ditakuti di setiap bangsal rumah sakit memecah keheningan. Bunyi monoton dari monitor jantung di samping ranjang Gilang berubah menjadi jeritan digital yang melengking, cepat, dan putus asa. Garis hijau yang tadinya berirama teratur kini melonjak-lonjak liar sebelum menukik tajam.

TIIIT… TIIIT… TIIIT… TIIIT!

Pintu kamar terbanting terbuka. Lila, yang baru saja akan masuk, membeku di ambang pintu. Kantong kertas berisi makanan jatuh dari genggamannya, isinya tumpah berantakan di lantai. Wajahnya kehilangan semua warna. Kepanikan murni yang membekukan melumpuhkannya selama satu detik yang terasa seperti selamanya, sebelum akhirnya pecah menjadi satu teriakan yang menyayat hati.

“GILANG!”

1
Puput Assyfa
cerita yang sangat menyentuh dan alur yg menguras air mata.
Puput Assyfa
ceritanya yang menyentuh, akhirnya Lila sampai di titik ini dgn Angkasa yg baru dan cerita baru.
Puput Assyfa
setiap ada kesedihan pasti ada kebahagiaan, km sangat beruntung Lila menjadi bagian dari Angkasa
Puput Assyfa
Angkasa, walaupun ragamu sudah terkubur tanah tp kenangan yg km tinggalkan tidak akan terlupakan oleh waktu
Puput Assyfa
ya Allah belum waktunya Angkasa kecil lahir ini, semoga Dy bisa bertahan hidup
Puput Assyfa
mungkin sudah waktunya Gilang tau siapa pahlawan yg sudah mendonorkan jantung untuknya dibalik rahasia besar yg tersembunyi Lila
Puput Assyfa
jangan bilang Lila hamil anak Angkasa? angkasa sudah pergi jauh tp Dy meninggalkan kenang2 yg terindah jantung buat Gilang dan anak buat Lila 🤧
Puput Assyfa
sampai nafas terakhir pun Laras GK muncul bner2 ibu yg jahat, apa GK ada simpatik sedikit pun atau penyesalan terhadap Angkasa
Puput Assyfa
dia sudah ada di surga Gilang ditempat yang indah 🤧 km memiliki kehidupan baru dgn jantung Angkasa
Puput Assyfa
pada akhirnya Angkasa menyerah oleh takdir dan pusat kehidupannya diberikan pada Gilang, pengorbanan Angkasa yang menyedihkan mak🤧
Puput Assyfa
menanti harapan palsu🤧
Puput Assyfa
Mak bull aq butuh pelukan, sumpah gak kuat 😭😭😭
Puput Assyfa
makin kesini makin gak kuat baca tp penasaran sama angkasa 😭😭😭
Puput Assyfa
ya Allah Angkasa aku takut😭😭😭
Puput Assyfa
bener2 Laras bikin muak sikapnya yg arogan dan gak peduli sama anak kandungmu
Puput Assyfa
setiap Angkasa sekarat semakin takut akan kehilangan Angkasa dan tiba2 menutup mata untuk selamanya 😭😭
Puput Assyfa
Laras muncul2 hanya untuk menyakiti angkasa, bukannya sedih anaknya sakit atau prihatin malah marah2 GK jelas km Laras
Puput Assyfa
bahagia yg sederhana tapi berkesan untuk Angkasa disisa waktunya yg tinggal sedikit 🤧
Puput Assyfa
selamat ya Angkasa km sudah memiliki istri yg akan setia menemani disisa hidupmu, walaupun menyakitkan tp aq bahagia akhirnya km punya keluarga baru angkasa.
Puput Assyfa
Laras kah yg datang
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!