NovelToon NovelToon
Senja Garda

Senja Garda

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Mengubah Takdir / Action / Dosen / Epik Petualangan / Penyelamat
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Daniel Wijaya

Siang hari, Aditya Wiranagara adalah definisi kesempurnaan: Dosen sejarah yang karismatik, pewaris konglomerat triliunan rupiah, dan idola kampus.

Tapi malam hari? Dia hanyalah samsak tinju bagi monster-monster kuno.

Di balik jas mahalnya, tubuh Adit penuh memar dan bau minyak urut. Dia adalah SENJA GARDA. Penjaga terakhir yang berdiri di ambang batas antara dunia modern dan dunia mistis Nusantara.

Bersenjatakan keris berteknologi tinggi dan bantuan adiknya yang jenius (tapi menyebalkan), Adit harus berpacu melawan waktu.

Ketika Topeng Batara Kala dicuri, Adit harus memilih: Menyelamatkan Nusantara dari kiamat supranatural, atau datang tepat waktu untuk mengajar kelas pagi.

“Menjadi pahlawan itu mudah. Menjadi dosen saat tulang rusukmu retak? Itu baru neraka.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daniel Wijaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ANGGARAN DINAS

Waktu: Keesokan harinya. Pukul 09.00 WIB.

Lokasi: Curbside Kedatangan, Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang.

Matahari pagi di Palembang tidak malu-malu. Sinarnya langsung menyengat kulit dengan suhu 32 derajat Celsius yang terasa seperti pelukan oven raksasa.

Di trotoar area penjemputan bandara, di antara hiruk-pikuk taksi liar dan penjemput keluarga, berdiri dua sosok yang terlihat sangat salah tempat.

Yang pertama adalah seorang wanita muda yang kecantikannya bisa membuat orang menoleh dua kali, namun auranya membuat mereka enggan mendekat.

Larasati Prameswari, Inspektur Tingkat Satu di Deputi VII.

Wajahnya tirus dengan tulang pipi tinggi yang elegan, kulitnya kuning langsat bersih tanpa riasan berlebih—hanya pelembap dan lipstik nude tipis yang fungsional. 

Matanya yang tajam dan cerdas dibingkai oleh kacamata berbingkai kotak tebal yang memberinya kesan intelektual namun dingin.

Rambut hitamnya yang panjang digelung cepol ketat di belakang kepala, seolah-olah sehelai rambut yang keluar jalur adalah pelanggaran disiplin berat.

Dia mengenakan seragam dinas harian (PDH) PNS berwarna khaki yang licin tanpa kerutan sedikit pun. Nametag di dadanya berkilau terkena matahari. Di tangannya, dia tidak memegang tas branded, melainkan memeluk erat sebuah map tebal bertuliskan RAHASIA NEGARA dan tablet inventaris yang layarnya retak di sudut.

Cantik, tapi jenis kecantikan yang birokratis: kaku, serius, dan mematikan jika kau salah mengisi formulir.

Di sebelahnya, berdiri antitesis dari segala kerapian itu.

Kolonel (Purn.) Satrio Wibowo—atau Pak Tio.

Mantan komandan pasukan khusus ini terlihat seperti bapak-bapak pensiunan yang hobi memancing di rawa, namun dengan aura predator yang disembunyikan tipis. Tubuhnya tegap dan berotot padat meski usianya sudah kepala lima.

Wajahnya kasar, kulitnya terbakar matahari dengan tekstur seperti kulit jeruk purut, dan ada bekas luka sayatan memanjang di pipi kirinya—kenang-kenangan dari operasi senyap di Timor Timur.

Rambut cepaknya sudah memutih seluruhnya. Dia mengenakan jaket safari krem kuno yang kancing perutnya terlihat berjuang menahan beban, celana kargo banyak saku yang longgar, dan sepatu bot kulit yang sudah belel. Di bibirnya, selalu terselip rokok klobot yang tidak dinyalakan (karena aturan dilarang merokok di bandara), yang dia gigit-gigit sebagai pelampiasan stres.

Di kaki mereka, tergeletak sebuah Koper Besi Hitam Panjang yang terlihat sangat berat dan intimidatif, serta dua kardus mie instan yang diikat tali rafia merah.

"Panasnya kurang ajar," gerutu Pak Tio, mengipas-ngipas wajahnya dengan topi rimba lusuh. "Ra, mana jemputan kita? Kamu bilang sudah koordinasi dengan Pemda?"

Larasati membenarkan letak kacamatanya yang sedikit melorot karena keringat. Dia mengecek ponsel dinasnya dengan jari lentik namun efisien.

"Sudah, Pak," jawab Larasati, suaranya tenang dan formal. "Surat permohonan peminjaman kendaraan operasional taktis ke Dispenda Sumsel sudah dikirim tiga hari lalu. Nomor surat: 007/D7-BKN/VIII/2019."

"Lalu? Mana Kijang Innova hitam berplat merah yang biasanya? Saya tidak lihat ada mobil dinas yang standby."

Larasati menghela napas panjang. Dia benci menjadi pembawa berita buruk, apalagi menyangkut anggaran.

"Ditolak, Pak."

Pak Tio berhenti mengipas. Matanya melotot. "Ditolak?"

"Alasannya 'Efisiensi Anggaran Daerah'. Mereka bilang mobil dinas sedang dipakai semua untuk persiapan kunjungan Gubernur. Disposisi terakhir menyarankan kita menggunakan moda transportasi umum untuk mendukung ekonomi kerakyatan."

"Ekonomi kerakyatan jidatnya!" umpat Pak Tio kasar. "Kita ini bawa senjata pemusnah massal hantu di koper ini, Ra! Masak naik angkot?! Mau ditaruh mana gengsi negara?"

"Anggaran taksi tidak di-cover kalau jaraknya lebih dari 10 kilometer dari bandara, Pak. Sesuai PMK terbaru," tambah Larasati datar, membacakan peraturan menteri keuangan di kepalanya.

Di depan mereka, belasan sopir taksi liar dan travel mulai mengerubungi, berteriak-teriak dengan logat Palembang yang cepat dan keras.

"Payo! Payo! Sekayu! Prabumulih! Linggau! Masuk Mang, kosong duo!"

Seorang sopir berbadan tambun dengan handuk kecil melingkar di leher mendekati mereka. Dia melihat koper besi dan kardus mie instan itu dengan mata berbinar.

"Oy, Cek! Nak ke mano? Sini, mobil aku dingin nian, AC-nyo baru diisi freon!" sapa sopir itu dengan cengir lebar.

Pak Tio menatap sopir itu bingung. "Dia ngomong apa, Ra?"

Larasati maju selangkah, memasang wajah "Ibu Pejabat" yang tidak bisa ditawar. "Ke Kota, Pak. Jalan Jenderal Sudirman. Ruko bekas gudang garam."

Mendengar logat Jakarta Larasati yang formal dan melihat seragamnya, sikap sopir itu langsung berubah hormat.

"Oalah, Ibu Pejabat rupanyo," kata sopir itu, beralih ke Bahasa Indonesia tapi logatnya masih kental. "Bisa, Bu, bisa! Kenalkan namo sayo Mang Yanto. Mobil sayo Isuzu Elf yang itu nah. Muat banyak."

"Berapa ke kota?" tembak Pak Tio langsung, tangannya bersedekap.

Mang Yanto melirik koper besi itu. "Karno Bapak bawa peti besi berat itu... dua ratus ribu lah, Pak. Itung-itung sewa bagasi."

"Dua ratus ribu?" Pak Tio melotot. "Mahal amat! Sesuai Standar Biaya Masukan (SBM) pemerintah, transport lokal maksimal seratus lima puluh ribu. Itu sudah termasuk PPN!"

Mang Yanto garuk-garuk kepala. "Aduh, Pak. Minyak naik, Pak. Seratus lapan puluh lah. Pas."

"Seratus lima puluh. Atau saya jalan kaki," ancam Pak Tio dengan nada yang menyiratkan dia pernah membunuh orang dengan tangan kosong.

Mang Yanto menelan ludah. "Yowes, yowes. Seratus lima puluh. Tapi campur penumpang lain yo. Dak biso carter dewek."

"Deal."

Mang Yanto bergegas mengangkat koper besi itu. "Bismillah..." Dia menarik gagangnya dengan satu tangan, gaya santai.

KREK.

Koper itu tidak bergeming satu milimeter pun. Wajah Mang Yanto memerah padam seketika. Urat lehernya menonjol.

"Astagfirullah! Berat nian!" seru Mang Yanto kaget, memegangi pinggangnya. "Apo isi di dalem ni, Mang? Balok emas apo mayat dicor?! Patah pinggang aku!"

Pak Tio tersenyum tipis. Dia melangkah maju, menyingkirkan Mang Yanto dengan halus.

Dengan satu tangan, Pak Tio mencengkeram gagang koper itu. Otot-otot di balik jaket safarinya menegang sedikit. Dia mengangkat koper seberat hampir lima puluh kilo itu seolah-olah isinya cuma kapas, lalu meletakkannya ke bagasi belakang mobil dengan bunyi DUNG yang berat.

"Alat pancing, Mas," jawab Pak Tio santai, menyalakan rokok klobotnya yang dari tadi mati.

Mang Yanto melongo. "Alat pancing apo berat mak ini? Mancing kapal tongkang?"

Pak Tio mendekatkan wajahnya ke telinga Mang Yanto. Bau tembakau menyengat.

"Mancing Buaya Darat," bisik Pak Tio. "Atau Siluman. Tergantung nasib."

Mang Yanto buru-buru mundur, tidak berani bertanya lagi.

Waktu: 10.00 WIB.

Lokasi: Jembatan Ampera.

Perjalanan menuju pusat kota adalah siksaan tersendiri bagi Larasati.

Mobil Elf itu penuh sesak. Larasati duduk tegak kaku, memangku map rahasia negara, terhimpit di antara Pak Tio dan seorang ibu-ibu pedagang yang membawa keranjang duku. AC yang dijanjikan "baru isi freon" ternyata mati nyala, menyemburkan angin panas berbau debu.

Keringat mengalir di leher jenjang Larasati, membuatnya merasa lengket dan tidak profesional. Dia memejamkan mata, membayangkan nasibnya.

"Aditya Wiranagara pasti sekarang sedang sarapan di hotel bintang lima, dilayani pelayan pribadi, dan mandi air hangat," batinnya iri. "Sementara aku, lulusan terbaik akademi kedinasan, duduk di sini mencium bau duku dan keringat bapak-bapak demi menyelamatkan negara."

"Ra," bisik Pak Tio, gelisah karena dilarang merokok di dalam mobil ber-AC (meski AC-nya rusak). "Uang makan cair kapan? Saya laper. Nak makan model gandum."

"Nanti dirapel, Pak. Simpan bon-nya. Harus ada stempel basah."

"Setan alas. Ribet bener."

Mobil mulai merayap naik ke Jembatan Ampera. Ikon kota Palembang yang megah dengan warna merah menyala. Di bawahnya, Sungai Musi mengalir tenang dan keruh, membelah kota menjadi Seberang Ulu dan Seberang Ilir.

Tiba-tiba…

BIP... BIP... BIP…

Suara nyaring berirama terdengar dari arah bagasi belakang. Nadanya tinggi, mendesak, dan semakin cepat.

BIP-BIP-BIP-BIP!

Ibu-ibu pedagang duku di samping Larasati langsung menoleh, wajahnya panik.

"Suaro apo itu?!" protes ibu itu dengan logat Palembang yang melengking. "Nyaring nian! Pening palak aku dengerinyo! Cak bom waktu be! Mang, cek dulu! Jangan-jangan mobil ni nak meledak!"

Jantung Larasati mencelos. Wajah cantiknya pucat. Itu suara Ecto-Meter di dalam koper Pak Tio. Alat itu mendeteksi lonjakan energi gaib dalam radius 1 kilometer. Dia lupa mematikannya!

"Maaf, Bu! Maaf!" Larasati berseru panik, memasang senyum palsu terbaiknya—senyum kaku yang biasa dia pakai saat menghadapi auditor BPK. "Itu... alarm rice cooker travel saya! Tombolnya rusak. Kebencet tadi pas masuk bagasi."

Larasati memutar badannya yang ramping dengan susah payah, memukul dinding pemisah bagasi dengan kepalan tangannya.

DUG!

Alat itu berhenti berbunyi (mungkin karena guncangan).

"Rice cooker kok dibawa jalan-jalan," cibir ibu itu, membuang muka. "Wong Jakarta ni aneh-aneh bae."

Pak Tio tidak peduli pada omelan penumpang. Wajah jenakanya hilang seketika. Matanya yang tajam terpaku ke luar jendela, menatap lurus ke bawah, ke permukaan Sungai Musi yang luas.

Garis rahangnya mengeras. Itu adalah wajah seorang veteran yang mencium bau mesiu sebelum perang dimulai.

"Ra," bisik Pak Tio, suaranya sangat pelan agar tidak didengar orang lain.

"Saya lihat, Pak," jawab Larasati tegang, matanya juga tertuju ke sungai.

"Kamu dengar ibu itu bilang 'bom waktu'? Dia nggak salah," kata Pak Tio serius. "Sungai itu mendidih. Ada uap hitam yang naik, melawan arus. Bayangga bukan main-main. Mereka membangunkan sesuatu yang seharusnya tetap tidur di dasar lumpur."

Pak Tio merogoh saku, mengeluarkan selembar kertas lecek dari saku kargonya. Itu adalah draf surat permohonan "Protokol Darurat: Penggunaan Senjata Berat".

"Siapkan pulpenmu, Ra," kata Pak Tio. "Begitu sampai markas, kita kirim faks ke Jakarta. Minta izin buka segel Koper Hitam. Kita bakal butuh lebih dari sekadar doa dan garam untuk membereskan ini."

Mobil Elf itu melaju turun dari jembatan, membawa dua pemburu hantu miskin anggaran menuju medan perang yang nilainya tak terhingga.

1
Kustri
💪💪💪
👉👉👉
Santi Seminar
lanjutt
Kustri
sambil menyelam minum☕
Kustri
maju teros, ojo mundur Dit, kepalang tanggung, yakin!!!
Kustri
jgn lewatkan, ini karya👍👍👍
luar biasa!!!
Santi Seminar
suka ceritamu thor
Santi Seminar
jodoh kayaknya😍
Kustri
seh kepikiran wedok'an sg duel ro adit ng gudang tua... sopo yo thor, kawan po lawan🤔
tak kirimi☕semangat💪
Kustri
☕nggo pa tio sg meh begadang
💪💪💪thor
Kustri
hahaaa dpt😉 g bs tidur pa dosen
jodoh ya thor🤭
Kustri
apa kau tersepona hai wanita cantik...

makhluk luar angkasa, bukan makhluk halus🤭
Santi Seminar
wow
Kustri
oowh jembatan merah di mimpi adit ternyata di palembang
💪💪💪adit
Kustri
ckckckk... seru tenan!!!
Kustri
serius mocone deg"an
tp yakin sg bener tetep menang
Kustri
☕tak imbuhi dit💪
Kustri
☕ngopi sik dit, bn nambah kekuatanmu💪
Kustri
gempa lokal
was", deg"an, penasaran iki dadi 1
💪💪💪dit
Kustri
3 raksasa lawan 1 manusia...ngeri" sedap
jar, ojo lali kameramu di on ke
💪💪💪 dit
Kustri
pusaka legend sll ada💪
Daniel Wijaya: Betul banget Kak! Nusantara kita emang gudangnya pusaka sakti. Sayang kalau nggak diangkat jadi cerita! 🔥
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!