"Tolong mas, jelaskan padaku tentang apa yang kamu lakukan tadi pada Sophi!" Renata berdiri menatap Fauzan dengan sorot dingin dan menuntut. Dadanya bergemuruh ngilu, saat sekelebat bayangan suaminya yang tengah memeluk Sophi dari belakang dengan mesra kembali menari-nari di kepalanya.
"Baiklah kalau tidak mau bicara, biar aku saja yang mencari tahu dengan caraku sendiri!" Seru Renata dengan sorot mata dingin. Keterdiaman Fauzan adalah sebuah jawaban, kalau antara suaminya dengan Sophia ada sesuatu yang telah terjadi tanpa sepengetahuannya.
Apa yang telah terjadi antara Fauzan dan Sophia?
Ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝐈𝐩𝐞𝐫'𝐒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 14
Renata membuka pintu mobil, ia memasukkan barang-barang miliknya dan sang ibu. Jam sudah menunjuk ke angka sembilan, berarti sudah waktunya berangkat ke Jakarta sesuai yang di janjikan Fauzan jam sembilan. Pamitan pada Sophia dan si kembar sudah, tak lupa juga ia memberikan sejumlah uang pada Sophi untuk kebutuhan si kembar.
Setelah memastikan tak ada barang yang ketinggalan. Renata kembali masuk ke dalam rumah hendak memanggil suaminya sekalian pamit pada kedua mertuanya.
"Mas, ayo..." Renata menghentikan ucapannya saat melihat suaminya tengah asik mengajak bercanda Azkia yang tengah digendong oleh Bu Kartika. Padahal beberapa menit yang lalu bayi itu masih tidur pulas.
Fauzan langsung menoleh saat mendengar panggilan Renata, "iya sebentar lagi. Sayang, sini lihat! Azkia lucu sekali ya, dia menggemaskan. Coba kalau boleh dan sudah enggak minum ASI kita bawa sekalian ke Jakarta." Ucapnya sembari menjawil gemas pipi chubby keponakannya.
"Nanti kalau masa Iddah Sophi sudah selesai, ibu ajak main ke sana." Sahut Kartika cepat, ia tersenyum bangga melihat tingkah menggemaskan cucunya.
Renata mendekat lalu mengusap pipi Azkia, "kesayangan ibu sudah bangun ya. Abang Azkanya masih tidur atau sudah bangun juga?"
"Azka masih tidur. Zan! kamu gendong dulu biar nanti enggak nyari-nyari." Kartika berdiri menyerahkan Azkia pada Fauzan. Renata hanya tersenyum lemah sambil menggeser posisinya.
"Si kembar sudah tahu kalau sama Zan pasti anteng, mungkin mereka merasa Zan memiliki banyak kesamaan dengan ayahnya." Ucap Kartika dengan sorot yang berubah sendu, paruh baya itu menghela napas dalam lalu membuangnya perlahan.
Meski belum luwes menggendong bayi, namun Fauzan terlihat begitu menikmati kedekatannya dengan Azkia. Berulang kali dia mencium puncak kepala bayi tersebut penuh kasih, melupakan waktu pulang yang sudah di janjikannya pada sang istri.
Beberapa menit berlalu bayi itu mulai tak nyaman sehingga menggeliat kesana kemari. Renata bangkit menghampiri suaminya. "Mas, kayaknya Azkia kehausan. Sini biar aku bawa ke Sophi!" Renata mengulurkan tangannya meraih Azkia dari gendongan Fauzan lalu membawanya pada Sophi yang tengah mengobrol dengan bu Rohmah.
"Sophi, Azkia kayaknya kehausan." Ucapnya seraya menyerahkan Azkia pada Sophi bersamaan dengan itu suara tangisan Azka dari arah kamar langsung memenuhi pendengaran mereka.
Bu Rohmah tersenyum, "sabar ya nak. Begitulah kalau punya anak kembar, konon kalau yang satunya lapar atau gelisah pasti saudaranya juga ikutan."
"Kamu kASIhi Azkia dulu, Azka biar mbak yang lihat." Renata segera beranjak meninggalkan ibunya dan Sophia, lalu ia memasuki kamar si kembar yang menyatu dengan kamar Sophia untuk melihat Azka.
.
.
Dokter Sony berdiri menatap kedua putrinya bergantian. Ayah dua putri yang berstatus duda itu terlihat kehabisan ide membujuk Mentari yang ngotot mau ikut sang kakak berenang. Sedangkan Embun menolaknya dengan keras, ia tak mau sang adik ikut renang karena itu acara khusus dirinya bersama teman-teman perempuannya satu kelas.
"Kak, enggak apa-apa ya adeknya diajak. Mentari kan sama sus jadi enggak bakal ngerecokin kakak."
"Enggak bisa pi. Dia suka ngeselin, dan..." Embun terdiam, ia tidak melanjutkan ucapannya.
"Dan apa?" dokter Sony menatap Embun dengan sebelah alis terangkat.
"Aku bisa di bully lagi nanti sama teman-temanku, karena kemana-mana suka di kintilin adik. Dikatain pengasuh lah, apalah, tolong lah papi ajak dulu kemana gitu. Kalau bukan acara khusus aku sama teman-temanku juga kan gak pernah aku larang meski nyebelin." Embun menghempaskan tubuhnya ke sofa, tas yang sudah di tentengnya ia jatuhkan asal ke lantai.
"Coba kalau mami masih ada, pasti tidak akan begini! hiks." Embun menyusupkan wajahnya pada bantal sofa, remaja berusia dua belas tahun itu menangis terisak. Bibirnya meracau, memanggil perempuan yang sudah lima tahun meninggalkan dirinya dan Mentari untuk selama-lamanya.
Dokter Sony tersentak, hatinya mencelos mendengar racauan sang putri. Dengan cepat ia menarik tubuh Embun dan membawa ke dalam pelukannya. Sedangkan Mentari yang awalnya menangis seketika diam saat melihat kakaknya menangis.
"Maafin papi, kalau selama ini telah membebani kakak. Tegur papi kalau papi abai, dan untuk Mentari papi mohon untuk kakak memakluminya. Dia saudaranya hanya kakak, dia sekarang memang ceriwis dan kata kakak menyebalkan. Sebenarnya dia bukan menyebalkan, Mentari hanya ingin cari perhatian kakak."
Dokter Sony mengecup puncak kepala Embun yang tertutup jilbab instan, tangisan sang putri membuat hatinya ngilu. Keluarga yang lengkap dengan adanya sosok ibu sudah tak ada lagi dalam kehidupan mereka.
"Kakak sayang kan sama papi, mami dan Mentari?" tanya nya yang langsung dijawab anggukan oleh Embun.
"Kalau kakak sayang sama papi, tolong bantu papi untuk menjaga Mentari. Menjaganya bukan berarti harus mengurusnya, tapi memberinya perhatian, mengajaknya bermain. Dan juga, jangan lelah untuk terus mendo'akan mami supaya mami tenang di Surga. Mami perempuan hebat dan papi percaya kakak juga akan jadi perempuan hebat seperti mami.
"Tapi aku tidak mau papi nikah lagi! aku tidak mau aku punya ibu tiri, biarin dirumah enggak ada ibu-ibu juga kan sudah ada oma." Embun menjauhkan badannya dari sang papi, kemudian gadis itu menyodorkan jari kelingkingnya tanpa mau menoleh pada Mentari. "Maafin kakak, tapi bukan berarti adek boleh ikut. Adek renang dirumah saja papi."
"Papi, huwaa...." Mentari kembali menangis, bersamaan dengan itu suara deru mobil memasuki halaman rumah.
"Kakak, jangan berpikir terlalu jauh. Fokus papi untuk saat ini hanya kalian. Itu kayaknya opa pulang, ayo kita sambut opa sama Oma!" Sang dokter mengangkat tubuh Mentari, bersyukur kedua orangtuanya sudah pulang dan mampu mengalihkan ketegangan Embun dan Mentari.
"Lho... Lho... Perasaan langitnya cerah, tapi kenapa wajah-wajah cantiknya Oma mendung? padahal Oma sudah bawa oleh-oleh banyak." Bu Retno langsung memeluk Embun setelah cucunya itu mencium punggung tangannya, lalu ia menghampiri Mentari dan melakukan hal yang sama dan berakhir dengan mencium kening sang putra.
"Ayo turun, ikut opa buka bagasi. Opa punya sesuatu buat Embun sama Tari!" Seru pak Hamzah melambaikan tangannya memanggil sang cucu. Sontak saja Mentari langsung meronta meminta turun.
Begitupun dengan embun, langsung menghampiri opa kesayangannya. "Opa bawa apa?" ia berusaha mengintip kedalam mobil.
"Buka saja sendiri." Pak Hamzah membuka bagasi mobil, ia membiarkan kedua cucunya mencari sendiri oleh-oleh yang ia bawa.
Embun meraih paperbag berukuran lumayan besar yang bertuliskan namanya, dengan hati-hati ia membawanya menjauh dari mobil. "Opa, ini yang buat aku?" ia menatap sang opa yang masih berdiri tak jauh darinya.
"Iya itu, ayo buka!" Seru paruh baya itu, raut lelah yang tadi sempat tergurat diwajahnya telah hilang berganti senyum melihat cucu-cucunya sibuk.
"Dang... Coba keluarin punya Mentari, hati-hati jangan sampai kebentur nanti kaget."
"Iya tuan." Dadang sang sopir sigap mengambil kardus dan menurunkannya dengan hati-hati lalu membawanya ke teras.
"Opaaa.... Terimakasih banyak! akhirnya aku punya ukulele! aku makin sayang opa." Embun berlari menghampiri sang opa dengan tangan kanan yang memegang ukulele. Ia memeluk opanya dengan wajah yang berseri-seri.
"Kok opa tahu sih aku pengen ukulele?" Embun mengurai pelukannya, ia menatap benda yang menyerupai gitar tersebut bersamaan dengan Mentari yang berteriak kegirangan.
"Emang itu apa sih?" gumamnya seraya meletakkan ukulelenya diatas meja. Ia menghampiri Mentari sambil melongokkan kepalanya.
"Awww! ihh!" ia bergidik dan langsung menjauhi Mentari yang tertawa kegirangan.
Kamu aja yg di telpon gak mau ngangkat 😏😏😏
baru juga segitu langsung protes 😏😏
Rena selalu bilang gak apa apa padahal dia lagi mendem rasa sakit juga kecewa tinggal menunggu bom waktunya meledak aja untuk mengeluarkan segala unek unek di hati rena😭
scene nya embun dan mentari juga sama
bikin mewek 😭
jangan bikin kecewa Napa ahhhhh😭😭
aku sakit tau bacanya
padahal bukan aku yang menjalani kehidupan rumah tangga itu😭😭😭
suka watir aku kalauu kamu udah pulang ke bandung 😌😌