Satu janji, satu rahim, dan sebuah pengorbanan yang tak pernah ia bayangkan.
Nayara menjadi ibu pengganti demi menyelamatkan nyawa adiknya—tapi hati dan perasaan tak bisa diatur.
Semakin bayi itu tumbuh, semakin rumit rahasia, cinta terlarang, dan utang budi yang harus dibayar.
Siapa yang benar-benar menang, ketika janji itu menuntut segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Sea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17 – Dua Dunia yang Terpisah
Suara mesin pesawat baru saja menghilang di kejauhan ketika kaki Nayara menjejak tanah Indonesia yang lembap dan hangat. Udara kota terasa berbeda—tidak sebersih Singapura, tapi jauh lebih menenangkan. Nadim menggenggam tangan kakaknya erat, seolah takut semuanya masih mimpi. Sementara itu, Aru meringkuk kecil dalam gendongan Nayara, tertutup kain tipis yang dijaga ketat.
Meski tubuhnya masih lemah, Nayara melangkah cepat. Ia ingin mencapai rumah sewa kecil secepat mungkin—rumah yang dulu ia tinggali sebelum berangkat menjadi ibu pengganti.
Namun begitu memasuki Rumah ia berhenti.
Rumahnya gelap. Kosong. Sunyi.
Nayara merasakan sesuatu merambat di tubuhnya, dingin seperti bayangan. Ia membuka pintu perlahan. Tidak ada perubahan. Tidak ada tamu menunggu. Tidak ada tanda-tanda Karina atau Rendra pernah datang ke sini.
Meski seharusnya itu melegakan, tetap ada rasa asing yang merayap.
“Nadim… kita istirahat dulu ya,” katanya sambil menyandarkan tubuh di pintu.
Tapi begitu Nadim mulai menaruh tas kecilnya di lantai, Nayara segera menyusul, menyentuh bahunya.
“Kita pindah besok pagi,” bisiknya.
Nadim mengangkat wajah terkejut. “Pindah? Kenapa?”
“Supaya… tidak ada yang tahu kita di mana. Kita harus cepat.”
Bocah itu mengangguk lambat, meski jelas belum mengerti sepenuhnya.
Aru merengek pelan, seolah merasakan kegelisahan ibunya. Nayara memeluk bayi itu lebih erat, menenangkan.
Tak ada waktu untuk menunda. Tak ada ruang untuk salah langkah.
Sementara itu, di sisi Indonesia yang lain—di sebuah rumah mewah dengan taman luas dan lampu-lampu hangat—Karina dan Rendra baru saja tiba membawa Aruna. Rumah itu dipenuhi dekorasi kecil, balon pastel, dan keluarga yang datang memberi selamat.
Karina menyambut semuanya dengan senyum mengembang. Aruna tertidur pulas dalam selimut mahal, tak peduli dunia sedang merayakannya.
“Selamat ya, Ren, Kar!”
“Cantik sekali bayinya.”
“Mirip Rendra banget!”
Karina tertawa kecil, kebahagiaan membungkusnya seperti selimut hangat. Ia menatap bayi itu dengan cinta yang nyaris tak tertahan.
“Aruna… ibu pulang,” bisiknya.
Rendra berada di dekatnya, tersenyum. Namun sesekali ia memandang jauh, entah ke mana. Ada bayangan samar di matanya—pertanyaan yang tidak ia punya keberanian untuk ajukan.
Di tengah keramaian itu, dunia mereka terasa murni. Bahagia. Sempurna.
Tak ada yang tahu bahwa di waktu yang sama, seorang perempuan yang baru melahirkan diam-diam sedang berlari dari hidup yang terlalu besar untuk dirinya.
Malamnya, setelah seluruh tamu pulang, Karina duduk di kursi goyang sambil menatap Aruna yang tidur dalam boksnya. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya.
“Terima kasih ya, Ren… untuk menerima Nayara masuk ke hidup kita,” ucap Karina pelan.
Rendra mengangguk. “Dia perempuan baik.”
Kalimat itu begitu sederhana. Tapi ada sesuatu yang goyah di dada Rendra—seperti ada pintu kecil yang tidak pernah tertutup dengan benar.
“Aku harap dia cepat pulih,” lanjut Karina. “Setelah ini, aku mau sering-sering jenguk dia. Kasihan kalau dia sendirian.”
Rendra menggigit bibirnya. “Dia butuh waktu.”
Dan itu benar. Tapi bukan waktu untuk sembuh.
Waktu untuk bersembunyi.
Kembali ke rumah kecil Nayara—yang hanya semalam menjadi tempat singgah—malam itu begitu sunyi.
Nayara duduk di ujung kasur tipis, memeluk Aru yang kini tidur lebih tenang. Nadim sudah tertidur di sampingnya, seolah itu satu-satunya hal yang masih membuatnya merasa aman.
Nayara menatap bayi kecil itu lama sekali.
Aru tampak damai. Tidak tahu apa pun. Tidak tahu dunia mana yang sebenarnya menjadi miliknya. Tidak tahu bahwa hidupnya dimulai dengan rahasia paling dalam.
“Besok kita pindah,” bisik Nayara. “Kita buat hidup baru.”
Ia memejamkan mata, mencoba memejamkan rasa takut. Tapi bayangan dr. Ardi muncul lagi—kata-katanya seperti bisikan yang menolak pergi.
“Ini bukan kesalahan.”
Bukan kesalahan siapa?
Apa yang bukan kesalahan?
Apakah ada yang tidak ia tahu saat persalinan?
Atau… apakah sesuatu sengaja disembunyikan darinya?
Gemetar kembali merayap di dadanya.
Ia memeluk Aru lebih erat, seperti mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Pagi datang cepat.
Nayara bergerak diam-diam. Ia mengemasi barang seperlunya—pakaian bayi, pakaian Nadim, beberapa dokumen, dan map cokelat berisi rahasia berat itu.
Ia tidak membawa banyak, karena banyak barang berarti banyak jejak. Ia harus menghilang.
Mobil sewaan tiba pukul tujuh pagi. Sopir hanya tahu alamat baru yang Nayara berikan—sebuah rumah kontrakan mungil di pinggiran kota, sederhana dan jauh dari lokasi lama.
Nayara melangkah keluar dengan cepat, Nadim mengikuti dengan raut tegang, sementara Aru tertidur dalam gendongan.
Rumah lama itu kini kosong lagi.
Seakan tidak ada siapa pun pernah tinggal di sana.
Sebelum menutup pintu terakhir kali, Nayara melihat sekeliling. Ada rasa kehilangan. Ada rasa takut. Ada rasa lega. Semua bercampur.
“Kita pergi,” katanya pada diri sendiri.
Di rumah mewah Karina dan Rendra, pesta kecil kedua dimulai—pemberian nama secara resmi untuk Aruna. Keluarga datang, membawa hadiah-hadiah mahal.
Karina tampak bahagia, seperti tidak pernah melihat dunia lebih cerah dari hari ini. Aruna dipakaikan baju lembut berwarna krem, dengan pita kecil di kepala.
Tetapi Rendra…
Rendra diam.
Ia berjalan ke balkon, menatap langit mendung. Ada sesuatu yang mengganggu di dadanya sejak semalam.
“Nayara harusnya sudah sampai rumah…” gumamnya.
Entah kenapa, perasaan itu tidak pergi.
Seakan ada sesuatu yang sedang menjauh darinya.
Sesuatu yang sangat penting.
Di rumah sakit Singapura, dr. Ardi berdiri sendiri di ruang rekam medis. Komputernya terbuka, menampilkan seluruh data persalinan.
Ia menghapus beberapa baris.
Mengunci beberapa file.
Memindahkan sebagian dokumen ke penyimpanan manual.
Lalu membuka satu dokumen terakhir—dokumen yang seharusnya hanya bisa dibuka oleh dua orang: dirinya… dan satu orang lagi yang tidak seharusnya tahu apa pun.
Ia mendesah pelan.
“Maafkan saya… tapi ini harus dilakukan.”
Ia menutup file itu dan mematikan komputer.
Namun ketika ia hendak keluar, seorang pria staf rumah sakit muncul dari balik rak file, pura-pura sedang menata berkas. Namun tatapannya mengikuti dr. Ardi dengan penuh curiga.
Begitu dokter itu pergi, pria itu membuka ponselnya.
Mengetik pesan pendek.
“Semua sudah mulai. Kita harus bicara.”
Ia mengirim ke sebuah nomor di Indonesia.
Nomor yang tidak disadari berkaitan dengan masa depan Nayara.
Di rumah kontrakan barunya, Nayara sedang menidurkan Aru ketika Nadim mendekatkan ponselnya.
“Kak…” suaranya gemetar. “Ada pesan dari Bu Karina…”
Nayara mengambil ponsel itu.
Pesan itu singkat—hanya dua kata.
“Kamu di mana?”
Dan itu…
dikirim oleh Karina.
Napas Nayara berhenti sejenak.
Darahnya terasa turun ke tanah.
Karina tidak seharusnya tahu bahwa ia sudah pindah.
Tidak seharusnya mencari.
Tidak seharusnya bertanya.
Aru menggeliat kecil, menangis pelan. Nadim memeluk lengan kakaknya.
“Kak… gimana?”
Nayara menatap layar itu lama sekali.
Kemudian ia mematikan ponsel,dan langsung memblokir nomor Karina setelah ia akan mengganti dengan nomor baru yang tidak ada orang yang tahu kecuali dr.Ardi.