CINTA SANG PEMBURU

Cerita berlatar belakang sekitar era tahun 1962. Di mana ketika itu di kenal masa atau jaman gerombolan berakhir. Sebuah pemberontakan dari pihak atau sekumpulan orang yang di kenal dengan Darul Islam pada pihak pemerintah Republik Indonesia (RI) atas ketidak setujuan pada keputusan dan kebijakan dari pemerintahan pusat.

Sekumpulan orang dalam jumlah sekala besar itu menginginkan pembentukan negara indonesia dengan syariat islam sebagai dasar negara dan menggantikan ideologi pancasila. Sehingga tak heran atas keinginan itu, pemerintah pun menentang keras dan sekumpulan orang orang itu di anggap pemberontak. dan dampaknya bisa di rasakan oleh sebagian rakyat indonesia setelahnya. karena penumpasan pada pihak yang di sebut gerombolan itu pada kenyataanya merugikan rakyat biasa yang sebenernya lebih tidak tau menau mengenai permasalahanya sebenarnya.

Yang rakyat ketahui dan rakyat rasakan, beberapa minggu sekali mereka kerap kali kedatangan sekumpulan orang yang membawa senjata lengkap dan mengajak paksa bahkan menculik kaum lelaki dewasa untuk di jadikan bagian dari mereka. Selain dari pada itu, tak sedikit hasil panen dan harta benda mereka di rampas. Terlebih ketika warga terbukti memilih berpihak pada pemerintah RI ketimbang pada gerombolan itu yang menyebut dirinya sebagai pejuang islam dan ingin merubah indonesia berdasarkan hukum dan syariat islam seutuhnya.

Meski pada mulanya sebagian rakyat tak memahami apa yang tengah terjadi, namun seiring berjalannya waktu mereka jadi tahu mengenai dua pihak yang sedang berseteru itu.

Tak di ceritakan pasti bagaimana ketar ketir selama pertikaian itu terjadi.

kerusuhan yang terjadi di mana mana, penculikan kaum lelaki bahkan sampai ada yang di sembelih dengan keji, dan hari hari mencekam itu memakan kurun waktu sekitar 1 dekade itu, pada akhrinya di nyatakan usai setelah pemimpin tertingi gerombolan yang bernama S. M. Karto Suwirdjo berhasil di ringkus oleh pasukan TNI Siliwangi di gunung geber - Jawa barat.

Namun sekalipun kesengsaraan itu bisa di katakan berakhir, namun dampak rasa ketakutan atau traoma yang membekas, dan sulitnya perekonomian hidup masihlah tetap di rasakan oleh sebagian besar rakyat indonesia terutama yang hidup di perkampungan seperti halnya yang terjadi di tanah pasundan - Jawa barat dan sekitarnya.

Dimana ketika selesainya masa itu keadaan bisa di katakan serba terbatas. Sandang pangan serba kurang, sektor pembangunan mesjid, sekolah, terbengkalai bahkan rusak sebelum selesai di bangun. Sehingga tak heran SDM Sumber Daya Manusia pun bisa di katakan kurang mempuni ketika itu.

Tak sedikit penduduk yang masih kurang tau atau tak bisa membaca dan menulis. Apalagi ketika itu sebagian tokoh penting seperti guru ngaji, kiyai, atau sesepuh kampung yang berpengaruh sempat di culik oleh para gerembolan dan tak pernah di kabarkan kembali dalam ke adaan selamat. Adapun satu atau dua orang yang katanya selamat dari cengkraman para gerombolan itu, mereka memilih hidup mengasingkan diri di tempat yang jauh di hutan belantara ataupun pegunungan yang sipatnya jauh dari keramaian. Dan itu sengaja di lakukan, karena berusaha memancing gerembolan itu untuk tidak datang lagi dan berusaha menangkapnya kembali. karena jika itu sampai terjadi lagi, tentunya akan ada korban dari keluarga atau orang orang yang tidak bersalah nantinya.

Kendati demikian. Peristiwa itu kini hanyalah kenangan pahit yang tetap abadi dan masih mengisi pikiran orang yang merasakan langsung kejadian memilukan itu.

Seiring berjalannya waktu, anak anak yang dulu takut keluar rumah dan kaun bapak bapak yang takut bepergian jauh meninggalkan keluarganya, kini merasa hidup sedikit tentram tanpa takut adanya kembali telor atau suara senapan dan jeritan orang orang ketakutan.

satu satunya hal yang paling menyulitkan setelah peristiwa kelam itu, yakni mengenai sulitnya bertahan hidup dan mencari kifayah untuk keluarga.

terutama untuk seorang ayah yang mati matian berjuang menghidupi keluarganya dengan keahlian dan modal harta benda yang tak seberapa. Kebanyakan dari penduduk kampung ketika itu, mereka memilih mencari rejeqi di dalam hutan seakan semua kebutuhanya itu bergantung pada keseimbangan alam yang harus tetap di jaga kelestariannya. dan sekalipun ada satu dua warga yang mengadu nasib pergi ke kota, kabar mereka tak pernah terdengar lagi. Entah mereka meraih kesuksesan ataukah malah sebaliknya. Bahkan yang lebih buruk lagi, sebagian dari warga yang bernasib malang itu ada yang di tangkap pemerintahan di sana karena di curigai antek antek gerombolan yang belum tertangkap dan tak menyerahkan diri. Begitu kira kira sedikit gambaran usai kerusuhan itu terjadi pada masa itu.

Jawa barat 1963.

Kala itu bertepatan memasuki bulan puasa. Sebuah bulan suci yang penuh keberkahan dan banyak orang berlomba lomba dalam hal kebaikan demi mencari keridhoan dari sang Kuasa Sang Maha Pencipta alam dan seisinya.

Di sebuah perkampungan kecil yang jauh dari kota dan terkesan menyatu dengan lingkungan hutan belantara.

kayu kayu besar menjulang tinggi, deruan suara derasnya air sungai yang jernih, Hamparan padi yang mulai menguning, serta semilir angin sejuk dari pegunungan terasa memanjakan mata untuk yang melihatnya.

Terlebih suasana itu di nikmati bersamaan dengan sebuah lamunan seakan ingin sekali kembali pada waktu yang sudah terlewati.

Seperti halnya yang tengah di rasakan oleh seorang pemuda desa yang bernama Tumang ketika itu.

seorang pemuda yang hidup basajan/sederhana dan menghabiskan hari harinya dengan beragam aktifitas dan rutinitas yang selama ini sudah lewati dengan kesabaran dan jerih payah.

Tumang di kenal sosok pemuda yang tak tampikan pada pekerjaan apapun. Yang terpenting baginya, pekerjaan itu halal dan bisa menyambung hidup serta memenuhi kebutuhannya.

Tumang adalah anak tunggal yang hidup berdua sahaja bersama seorang ibu tanpa seorang bapak. dan menetap di sebuah rumah sederhana bahkan sekilas tak pantas di sebut rumah. Tak heran jika Tumang kerap kali menerima tawaran dari warga yang memerlukan jasa atau tenaganya.

Seperti di sore itu. Di mana sudah seminggu ini tumang hampir menghabiskan waktu berdiam diri di depan hamparan padi yang tak lama lagi akan segera di panen oleh pemiliknya.

sawah luas yang nyaris sejauh mata memandang itu adalah milik salah satu juragan kaya raya yang di kenal warga dengan sebutan bah Lemud.

Sebelumnya bah Lemud meminta Tumang untuk menjaga padinya dari hama tikus, burung pipit, dan gangguan lainya sebelum padi itu siap panen.

hamparan padi yang begitu luas itu hanya di jaga oleh Tumang seorang diri. Sehingga tak heran jika Tumang kerap kali kewalahan dan sering mendapat teguran keras dari bah Lemud. Karena di anggap tak becus melakukan pekerjaannya.

Apalagi sudah bukan rahasia lagi jika sosok bah Lemud di kenal angkuh, pelit, sombong, bahkan sebagian orang mengatainya orang yang serakah.namun tentunya bukanlah tanpa alasan Tumang tetap menerima tawaran pekerjaan itu.