Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 - Ultimatum
Juan mencengkeram setir.
Lampu lalu lintas di depannya kembali merah. Ini yang ketiga kalinya.
Dia benci hari Minggu.
Terutama hari Minggu di awal bulan.
Ritual.
Suara klakson dari jalan utama masih terngiang di telinganya, meski mobilnya sudah berbelok.
Ritual bulanan ini selalu terasa seperti tarikan paksa.
Mobilnya, sebuah sedan hitam yang solid namun tidak mencolok, baru saja keluar dari hiruk pikuk jalan utama kota.
Jalanan kini berganti menjadi aspal mulus yang dinaungi pepohonan rindang.
Hening. Terlalu hening.
Perubahan drastis dari kebisingan kota ke kesunyian yang kaku ini selalu membuat Juan gelisah.
Di kampus, dia adalah raja. Di asrama, dia adalah dirinya sendiri.
Di sini, dia hanyalah seorang pion.
Ini adalah kawasan komplek elit di pinggiran kota. Tempat di mana halaman rumah lebih luas daripada apartemen studio di pusat kota.
Taman di depannya terawat sempurna. Rumputnya dipotong presisi. Tidak ada satu daun kering pun yang dibiarkan gugur.
Rumah-rumah di sini seperti museum. Indah, tapi tidak bernyawa.
Juan mengurangi kecepatan mobilnya.
Dia melewati rumah keluarga Sanjaya. Rumah keluarga Aditama.
Semua sama. Tembok tinggi. Gerbang tertutup.
Tidak ada anak-anak bermain di luar. Tidak ada obrolan tetangga di sore hari.
Hanya keheningan yang mahal.
Gerbang besi tempa yang menjulang tinggi di ujung jalan terbuka secara otomatis, tanpa suara.
Seolah menyambutnya ke dalam penjara yang elegan.
Satpam di pos jaga memberi hormat singkat. Juan hanya mengangguk.
Dia memarkir mobilnya di garasi yang bisa menampung empat mobil. Hanya mobil Ayahnya yang ada di sana. Sebuah sedan mewah Eropa yang harganya bisa membeli gedung asrama.
Mobilnya sendiri, hadiah ulang tahun ke-19, terlihat sederhana di sebelahnya. Sengaja.
Dia tidak suka menarik perhatian lebih dari yang diperlukan.
Rumah itu besar.
Bergaya klasik. Kokoh, megah, dan dingin.
Juan menarik napas panjang sebelum mematikan mesin. Udara di dalam mobil terasa pengap.
Dia bisa saja berbohong. Bilang ada tugas kelompok. Bilang ada kuis dadakan.
Tapi dia sudah menggunakan alasan itu minggu lalu.
Ibunya akan mulai menelepon teman-temannya jika dia mangkir lagi.
Dan itu akan lebih memalukan.
Dia melangkah keluar dari mobil. Udara di sini terasa berbeda, lebih bersih, namun lebih berat.
Langkah kakinya menggema pelan di lantai garasi yang mengilap.
Seorang asisten rumah tangga membukakan pintu utama yang terbuat dari kayu jati tebal.
"Selamat datang, Den Juan."
"Sore, Bi."
Juan meletakkan kunci mobilnya di mangkuk perak di atas meja konsol. Sebuah kebiasaan.
Di sebelahnya ada vas porselen dinasti. Entah asli atau tidak. Dia tidak peduli.
"Bapak dan Ibu ada di ruang makan."
"Makasih, Bi."
Asisten itu menunduk dan menghilang tanpa suara.
Juan tidak langsung ke ruang makan. Dia berjalan ke dapur.
Dapur itu berkilauan. Baja tahan karat di mana-mana. Kulkas dua pintu sebesar lemari pakaian.
Sangat kontras dengan dapur sempit di asramanya yang hanya punya penanak nasi dan teko listrik.
Dia membuka kulkas. Isinya penuh dengan makanan impor. Air mineral dalam botol kaca. Jus buah organik.
Dia mengambil sebotol air mineral dingin.
Meneguknya cepat. Membasahi tenggorokan yang kering.
Dia perlu mempersiapkan mental. Mempersiapkan perisai mentalnya.
Dia bukan Juan si ketua himpunan di sini. Dia hanya Juan, si putra penerus.
Suara denting piano lembut terdengar dari speaker tersembunyi. Selalu musik klasik.
"Juan? Itu kamu?"
Suara ibunya terdengar dari ruang makan. Jelas, tidak ada yang luput dari perhatiannya.
"Iya, Ma."
Juan berjalan menyusuri lorong berlantai marmer. Lukisan-lukisan abstrak mahal tergantung di dinding.
Dia tidak pernah mengerti satupun dari lukisan itu.
Bagi Juan, itu hanya goresan cat yang mahal.
Di ruang makan, meja kayu panjang itu sudah tertata rapi. Cukup untuk dua puluh orang.
Tapi hanya ada tiga set piring di ujungnya.
Aroma roast beef tercium di udara.
Tapi Juan tahu, ini bukan makan malam. Ini interogasi.
Ayahnya duduk di kursi utama, membaca koran sore. Beliau bahkan tidak mengangkat kepalanya.
Kacamata bacanya bertengger di hidung. Setelan rumahnya masih terlihat seperti setelan kerja.
Ibunya sedang merapikan letak sendok, meski letaknya sudah sempurna.
Gaun rumahnya terbuat dari sutra. Perhiasannya minimalis namun berkilau.
"Kamu terlambat lima belas menit," kata Ibunya. Nada suaranya datar.
"Macet di jalan utama," jawab Juan, menarik kursi.
Suara kursi yang bergeser di lantai marmer terdengar memekakkan telinga di ruangan yang sunyi itu.
"Bagaimana kuliahmu?" tanya Ibunya, basa-basi dimulai.
"Lancar."
"Hanya lancar? Tidak ada yang menarik?"
Juan tahu ke mana arah pembicaraan ini.
"Tidak ada, Ma. Semua biasa saja. Teknik mesin. Membosankan seperti biasa."
Dia sengaja berkata begitu.
Ayahnya akhirnya meletakkan koran. Lipatannya rapi sempurna.
"Populer di kampus tapi membosankan di rumah. Menarik."
Juan terdiam.
Popularitasnya di kampus adalah fakta. Tapi di rumah ini, itu tidak ada artinya.
"Oma-mu menelepon tadi pagi," kata Ibunya.
Juan menelan ludah.
Ah. Ini dia.
Oma adalah matriark keluarga. Apa yang beliau inginkan, beliau dapatkan.
Ayahnya mungkin kepala keluarga, tapi Oma-nya adalah dewan direksi.
"Oma sehat?" tanyanya, mencoba mengulur waktu.
"Sehat," kata Ayahnya. "Dan beliau bertanya lagi soal kamu."
"Soal apa?"
"Soal kapan kamu akan serius," sela Ibunya.
"Aku serius kuliah, Ma."
"Bukan itu," Ayahnya menimpali. Suaranya berat dan penuh wibawa. "Serius soal masa depan. Soal koneksi."
Ibunya tersenyum tipis. "Oma-mu ingin mengenalkanmu dengan seseorang."
Juan meletakkan sendoknya. Denting pelan perak beradu dengan porselen.
Nafsu makannya hilang seketika.
"Lagi?"
"Putri dari Tuan Hardiman," lanjut Ibunya, seolah tidak mendengar protes Juan. "Dia baru pulang dari luar negeri."
"Lulusan terbaik dari universitas bergengsi di luar sana," tambah Ayahnya.
"Sangat cantik, sangat pintar," timpal Ibunya.
"Aku tidak tertarik."
"Kamu bahkan belum bertemu dengannya," kata Ayahnya tajam.
"Aku bisa menebaknya. Dia pasti tipe yang sama," gerutu Juan pelan.
"Apa katamu?"
"Tidak ada."
"Koneksi Tuan Hardiman itu luas. Sangat berguna untuk bisnis keluarga kita nanti," lanjut Ayahnya.
Jadi ini intinya. Bisnis. Selalu bisnis.
Juan adalah aset. Pernikahannya adalah merger.
"Aku tidak punya waktu untuk hal-hal seperti ini. Ujian tengah semester sudah dekat."
"Waktu selalu bisa dibuat," kata Ayahnya. "Kami dulu seumuranmu sudah memikirkan pernikahan."
Juan menatap piringnya. Daging sapi itu tampak pucat. "Zaman sudah beda, Pa."
"Prinsip tidak pernah berubah," Ayahnya membalas. "Keluarga adalah segalanya. Dan membangun keluarga yang tepat adalah kewajiban."
Juan merasa tercekik.
Ibunya meletakkan tangannya di atas tangan Juan. Tangannya terasa dingin. Cincin berliannya terasa lebih dingin.
"Sayang, kami hanya ingin yang terbaik."
"Yang terbaik menurut Mama dan Papa."
"Tentu saja," kata Ibunya, tanpa ragu. "Kami lebih berpengalaman."
Suasana hening sejenak. Hanya suara musik klasik yang mengisi ruangan.
"Begini saja," kata Ayahnya, memecah keheningan. "Acara keluarga besar akan diadakan bulan depan."
Mata Juan terpejam sesaat.
Dia benci acara itu. Acara pamer tahunan.
Para sepupu memamerkan pencapaian baru. Para paman memamerkan bisnis baru. Para tante memamerkan perhiasan baru.
Dan Oma akan duduk di tengah, menilai semuanya.
"Di vila. Seperti biasa," lanjut Ayahnya. "Seluruh keluarga besar akan hadir. Dan Oma-mu akan ada di sana."
"Lalu?"
"Oma-mu ingin kamu membawa pasanganmu."
Juan hampir tertawa. "Aku tidak punya pasangan."
Mata Ayahnya menatap lurus ke arahnya. Tajam. Menghakimi.
"Itulah masalahnya, Juan. Di umurmu, kamu seharusnya sudah punya. Seseorang yang jelas."
"Aku fokus kuliah."
"Itu alasan," potong Ayahnya. "Kamu hanya lari."
"Kalau begitu," kata Ayahnya pelan, "Kamu akan pergi ke acara itu bersama Putri Hardiman."
Ini bukan permintaan. Ini adalah perintah.
"Aku tidak mau."
"Ini bukan pilihan, Juan."
Juan bangkit dari kursinya. "Aku sudah selesai makan."
"Duduk," perintah Ayahnya.
Juan tetap berdiri.
"Aku tidak akan dijodohkan."
"Itu bukan perjodohan. Itu perkenalan," koreksi Ibunya.
"Sama saja!"
"Duduk, Juan!" Ayahnya meninggikan suaranya.
Juan perlahan duduk kembali. Rahangnya mengeras.
Ibunya menghela napas. Dia yang selalu menjadi penengah.
"Kecuali..." kata Ibunya.
Juan menatap ibunya.
"Kecuali kamu sudah punya pilihan sendiri."
Sebuah celah.
Juan menyipitkan mata. Jebakan.
Mereka tahu dia tidak punya pacar. Mereka sengaja membuatnya terpojok.
"Maksud Mama?"
"Bawa pacarmu ke acara keluarga itu," kata Ibunya. "Kenalkan pada kami. Pada Oma-mu."
Juan terdiam.
Pacar?
"Bawa gadis itu," kata Ayahnya. "Siapapun dia."
Terdengar nada meremehkan dalam suara Ayahnya. Seolah Ayahnya yakin Juan tidak akan bisa.
"Tapi jangan bawa gadis sembarangan," Ayahnya menambahkan. "Oma-mu bisa membedakan mana emas, mana kuningan."
"Jika kamu bisa membawa seseorang yang 'pantas'..." lanjut Ayahnya, "...maka perkenalan dengan Putri Hardiman bisa kita batalkan."
Juan bisa merasakan syarat tak terucap.
'Pantas'. Artinya, dari keluarga baik-baik, berpendidikan, dan tidak memalukan.
"Dan jika aku tidak membawanya?" tanya Juan.
Ayahnya tersenyum. Senyum yang tidak menunjukkan kehangatan.
"Maka kamu tahu konsekuensinya."
Ultimatum telah dijatuhkan.
"Aku harus kembali ke asrama. Ada tugas," kata Juan, kali ini dia benar-benar bangkit dan tidak berhenti.
Ibunya memanggil namanya, "Juan...", tapi Juan tidak menoleh.
Dia berjalan cepat keluar rumah.
Dia masuk ke mobilnya dan membanting pintu.
Hening.
Juan memukul setir mobil. Sekali. Keras.
Sial. Sial. Sial.
Satu bulan.
Bagaimana bisa dia menemukan pacar dalam satu bulan?
Bukan sembarang pacar. Pacar yang bisa diterima oleh Oma-nya.
Dia memikirkan gadis-gadis di kampusnya.
Banyak yang mau. Tentu saja.
Tapi ini bukan untuk main-main. Ini untuk dibawa ke "sidang" keluarga.
Gadis-gadis dari fakultas bisnis? Mereka sama saja dengan Putri Hardiman, versi junior.
Mereka akan mencoba terlalu keras untuk mengambil hati keluarganya. Juan muak dengan tipe itu.
Gadis-gadis populer dari fakultas komunikasi? Mereka akan baper dalam sehari dan membuat drama.
Mereka akan mengunggah foto di vila keluarganya, dan dalam sekejap, seluruh kampus akan tahu.
Tidak. Dia butuh seseorang yang berbeda.
Mereka akan menguliti gadis itu dengan pertanyaan.
Siapa yang mau diperlakukan seperti itu?
Dan siapa yang bisa dia percaya untuk melakukan akting sebesar ini?
Juan menyandarkan kepalanya di setir.
Dia merasa pusing.
Dia butuh seseorang.
Seseorang yang bisa berakting. Seseorang yang cerdas.
Cerdas untuk menghafal skenario. Tenang untuk menghadapi keluarganya.
Seseorang yang... tidak akan baper.
Dan yang paling penting, seseorang yang tidak akan dia sukai, dan tidak akan menyukainya.
Seseorang yang aman.
Seseorang yang butuh sesuatu darinya. Sama seperti dia butuh sesuatu dari mereka.
Transaksi murni.
Juan menyalakan mesin mobil.
Deru mesin itu memecah keheningan malam di komplek itu.
Dia harus mencari cara.
Dia melajukan mobilnya, kembali ke kota.
Pikirannya berpacu lebih cepat dari mobilnya.
Otaknya berputar. Dia mulai menyusun daftar.
Bukan daftar pacar.
Daftar kandidat. Partner bisnis.
Dia butuh seseorang yang tidak ada dalam radarnya. Seseorang yang tidak dikenal oleh lingkaran sosialnya.
Seseorang yang butuh uang.
Ya. Uang bisa membeli profesionalisme.
Uang bisa membeli kesepakatan untuk tidak baper.
Satu bulan.
Dia butuh keajaiban. Atau sebuah kontrak.