NovelToon NovelToon
Suami Setengah Pakai

Suami Setengah Pakai

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Aluina_

Aku terbiasa diberikan semua yang bekas oleh kakak. Tetapi bagaimana jika suaminya yang diberikan kepadaku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19

Keajaiban kecil di ruang perawatan itu menjadi titik balik. Respons pertama dari Hermawan Wijoyo, yang dipicu oleh tendangan calon cucunya, seolah mengirimkan gelombang kejut ke seluruh mansion yang dingin itu, menyuntikkan sesuatu yang telah lama hilang: harapan.

Namun, harapan tidak serta-merta membuat masalah menghilang. Di luar kamar tidur yang sunyi itu, badai di dunia korporat justru semakin mengganas. Kestabilan sementara yang diciptakan Danu dengan mengambil alih kemudi kini mulai digoyahkan. Para direktur oportunis, yang dipimpin oleh seorang kerabat jauh bernama Tirtayasa, melihat kemajuan kecil pada kondisi Hermawan bukan sebagai kabar baik, melainkan sebagai ancaman. Mereka harus bergerak cepat untuk mengamankan posisi mereka sebelum sang singa tua benar-benar sadar dari tidurnya.

Danu kini terperangkap dalam jadwal yang tidak manusiawi. Pagi hari ia habiskan bersama tim dokter dan terapis ayahnya, mempelajari setiap kemajuan kecil. Siang hingga larut malam, ia terkunci di ruang kerja ayahnya yang megah, dikelilingi tumpukan dokumen setinggi gunung, mencoba memadamkan api-api yang sengaja disulut di berbagai divisi perusahaan.

"Ini seperti melawan hantu, Arin," keluhnya suatu malam, saat ia akhirnya masuk ke kamar kami lewat tengah malam. Wajahnya pucat dan kuyu, sorot matanya yang biasanya tajam kini meredup karena kelelahan. "Mereka tidak menyerangku secara langsung. Mereka menciptakan masalah di anak perusahaan, menahan laporan penting, menyebar rumor di antara para investor. Mereka mencoba membuatku terlihat tidak kompeten, membuatku gagal, sehingga dewan komisaris tidak punya pilihan selain menunjuk Tirtayasa sebagai pengganti permanen."

Aku membantunya melepaskan dasi dan jasnya, lalu menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. "Kamu tidak akan gagal," kataku sambil mulai memijat bahunya yang kaku seperti batu.

"Bagaimana kamu bisa begitu yakin?" desahnya, menyandarkan kepalanya ke belakang. "Aku bahkan tidak mengenal perusahaan ini. Semua sistemnya, orang-orangnya... ini adalah kerajaan ayahku, bukan milikku. Aku merasa seperti penyusup."

"Justru itu kekuatanmu, Dan," jawabku lembut. "Kamu melihat semuanya dengan mata yang baru. Kamu tidak terikat oleh cara-cara lama atau politik kantor yang sudah berkarat. Kamu membangun bisnismu sendiri dari nol, kamu tahu rasanya berjuang. Gunakan itu."

Setiap malam, ritual kami selalu sama. Aku menjadi pendengarnya, tempat ia bisa menumpahkan semua frustrasi dan keraguannya tanpa dihakimi. Aku tidak mengerti tentang saham atau akuisisi, tapi aku mengerti tentang manusia. Aku mengingatkannya pada kekuatannya, pada pencapaiannya sendiri, pada fakta bahwa ia jauh lebih dari sekadar "putra Hermawan Wijoyo".

Kekuatan cinta kami diuji dengan cara yang paling halus. Di tengah lingkungan yang penuh intrik dan tatapan curiga, kamar tidur kami menjadi satu-satunya tempat suci, sebuah oase di mana kami bisa menjadi diri kami sendiri. Cintaku padanya tidak diekspresikan melalui kata-kata puitis, melainkan melalui secangkir teh jahe hangat yang selalu siap saat ia pulang, melalui caraku memastikan ia memakan makan malamnya meskipun ia bilang tidak lapar, dan melalui usapan lembut di punggungnya saat ia akhirnya tertidur karena kelelahan.

Di sisi lain, kehadiranku di mansion itu juga perlahan mengubah dinamika. Ibu Danu, yang awalnya tenggelam dalam kesedihan, kini memiliki fokus baru. Ia akan menemaniku berjalan-jalan di taman setiap sore, tangannya seringkali mengusap perutku dengan tatapan penuh damba.

"Dulu, rumah ini terasa begitu kosong," katanya suatu hari. "Hanya diisi oleh urusan bisnis dan keheningan antara aku dan ayahmu. Kehadiranmu dan... dia," katanya sambil menunjuk perutku, "rasanya seperti membuka semua jendela setelah musim dingin yang panjang."

Kami menjadi sekutu. Dia akan menceritakan padaku tentang seluk-beluk keluarga besar Wijoyo, tentang siapa yang bisa dipercaya dan siapa yang bermuka dua. Informasi darinya menjadi peta berharga bagi Danu dalam menavigasi medan perang korporat yang licik.

Puncak dari ujian ini datang tiga minggu setelah kami tiba. Tirtayasa dan kroni-kroninya berhasil meyakinkan dewan komisaris untuk mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB). Agendanya tunggal: mengevaluasi kinerja Danu dan memutuskan kepemimpinan permanen perusahaan. Itu adalah sebuah kudeta yang dilegalkan.

Malam sebelum rapat penentuan itu, Danu benar-benar berada di titik terendahnya. Aku menemukannya berdiri di balkon, menatap kosong ke taman yang gelap. Angin malam meniup rambutnya yang acak-acakan.

"Aku akan kalah besok, Arin," katanya tanpa menoleh. Suaranya terdengar kalah. "Mereka punya angka, mereka punya pengaruh. Mereka sudah menyiapkan laporan yang memojokkanku dari segala sisi. Aku... aku sudah berusaha semampuku."

Aku berjalan mendekat dan berdiri di sampingnya, memeluk lengannya erat. "Kalau begitu, biarkan saja."

Dia menatapku dengan terkejut. "Apa maksudmu?"

"Biarkan saja perusahaan ini," kataku. "Ini bukan duniamu, Dan. Ini bukan kebahagiaanmu. Kebahagiaan kita ada di rumah kecil kita, dengan studio lukisku dan ayunan kayu di halaman belakang. Kita tidak butuh semua ini."

Aku meletakkan tangannya di perutku, di mana sang bayi sedang bergerak aktif. "Ini yang penting. Ini masa depan kita. Bukan warisan yang dibangun di atas keserakahan dan pengkhianatan. Kamu sudah melakukan lebih dari cukup. Kamu datang, kamu berjuang, kamu menunjukkan baktimu. Apapun yang terjadi besok, kamu sudah menang di mataku, dan di mata ibumu."

Kata-kataku seolah mengangkat beban tak terlihat dari pundaknya. Dia menatapku lama, lalu menatap perutku. Sesuatu di matanya berubah. Keputusasaan itu perlahan sirna, digantikan oleh ketegasan yang tenang.

"Kamu benar," bisiknya. "Kamu benar. Aku terus berjuang untuk membuktikan sesuatu pada hantu masa laluku, pada ayahku. Tapi aku lupa untuk siapa aku seharusnya berjuang."

Dia memelukku erat. "Aku tidak akan bertarung untuk perusahaan ini besok. Aku akan bertarung untuk kita."

Keesokan harinya, di ruang rapat yang megah dan dingin, Danu tampak berbeda. Dia tidak lagi membawa aura tertekan. Dia masuk dengan langkah yang mantap dan tenang, yang justru membuat lawan-lawannya bingung.

Tirtayasa mempresentasikan laporannya dengan penuh percaya diri, menjabarkan semua "kegagalan" dan "kerugian" yang terjadi di bawah kepemimpinan sementara Danu. Semua tampak meyakinkan.

Ketika giliran Danu bicara, dia tidak membantah satu pun dari laporan itu. Sebaliknya, dia melakukan sesuatu yang tidak terduga.

"Terima kasih, Pak Tirtayasa, atas analisis Anda yang mendalam," mulainya, suaranya memenuhi ruangan. "Anda benar. Dalam tiga minggu terakhir, beberapa metrik keuntungan jangka pendek kita memang menurun. Karena saya sengaja menghentikan beberapa proyek yang, meskipun menguntungkan, tapi merusak lingkungan dan mengeksploitasi tenaga kerja. Saya juga mengalihkan dana untuk memperbaiki sistem kesejahteraan karyawan yang selama ini diabaikan."

Ruangan menjadi sunyi.

"Perusahaan ini dibangun oleh ayah saya dengan prinsip yang kuat. Tapi selama bertahun-tahun, prinsip itu terkikis oleh ambisi untuk mendapatkan keuntungan semata," lanjut Danu, matanya menatap tajam ke setiap anggota dewan. "Kalian bisa memilih Pak Tirtayasa. Saya yakin beliau akan membawa keuntungan besar dalam waktu singkat. Tapi saya tawarkan sesuatu yang lain: sebuah fondasi baru. Sebuah perusahaan yang tidak hanya besar, tapi juga sehat. Tidak hanya kaya, tapi juga terhormat. Sebuah warisan yang bisa kita banggakan, bukan hanya untuk kita, tapi untuk generasi selanjutnya."

Dia berhenti sejenak, lalu tersenyum tipis. "Pilihan ada di tangan Anda. Apapun keputusan Anda, saya akan menghormatinya. Karena prioritas utama saya sekarang bukanlah di ruangan ini. Melainkan di rumah, menanti kelahiran putra pertama saya."

Setelah mengatakan itu, dia duduk. Tidak ada lagi yang perlu dikatakan. Dia tidak meminta jabatan. Dia menawarkan visi.

Saat pemungutan suara dilakukan, hasilnya di luar dugaan Tirtayasa. Visi Danu yang jujur dan berani, ditambah dengan fakta bahwa dia tidak haus kekuasaan, justru memenangkan hati mayoritas pemegang saham independen. Danu menang.

Malam itu, Danu tidak merayakannya dengan pesta. Dia langsung pulang dan menemuiku. Tapi sebelum itu, dia mampir ke kamar ayahnya.

Hermawan Wijoyo sudah bisa duduk di kursi roda. Dia belum bisa bicara dengan lancar, tapi kesadarannya telah kembali sepenuhnya. Ibu Danu sudah menceritakan semua yang terjadi di ruang rapat.

Saat Danu masuk, Hermawan menatap putranya lama. Lalu, dengan susah payah, ia mengangkat tangannya yang masih lemah. Danu menghampiri dan menggenggam tangan itu. Tangan kurus ayahnya terasa rapuh di genggamannya.

Satu kata keluar dari bibir Hermawan, serak dan tidak jelas, tapi cukup untuk didengar.

"...Bang...ga..."

Sebuah kata. Hanya satu kata itu. Tapi itu sudah cukup untuk meruntuhkan dinding yang telah berdiri di antara ayah dan anak itu selama puluhan tahun. Danu hanya bisa mengangguk, tenggorokannya tercekat, tidak mampu berkata-kata.

Malam itu, saat kami berdua akhirnya kembali ke kamar kami, Danu memelukku erat. "Semua sudah selesai," bisiknya di rambutku.

"Aku tahu," jawabku.

Ujian itu memang telah datang lagi. Tapi kami tidak melawannya dengan amarah atau kekuatan. Kami melaluinya dengan kekuatan cinta. Cinta yang memberiku kebijaksanaan untuk menjadi sandarannya. Cinta yang memberinya keberanian untuk melepaskan beban masa lalunya. Dan cinta pada kehidupan baru yang akan datang, yang telah menyatukan kembali sebuah keluarga yang retak. Di tengah kemegahan yang dingin itu, kami telah membuktikan bahwa cinta adalah kekuatan yang paling hangat dan paling perkasa dari semuanya.

1
Ma Em
Akhirnya Arini sdh bisa menerima Danu dan sekarang sdh bahagia bersama putra putrinya begitu juga dgn Binar sdh menyadari semua kesalahannya dan sdh berbaikan , semoga tdk ada lagi konflik diantara Arini dan Binar dan selalu rukun 🤲🤲.
Ma Em
Arini keluargamu emang sinting tdk ada yg normal otaknya dari ayahmu ibumu juga kakakmu yg merasa paling benar .
Sri Wahyuni Abuzar
ini maksud nya gimana yaa..sebelumnya arini sudah mengelus perutnya yg makin membuncit ketika danu merakit ayunan kayu..kemudian chatingan sm binar di paris (jaga keponakan aku) ... lhaa tetiba baru mau ngabarin ke ortu nya arini bahwa arini hamil...dan janjian ketemu sama binar di cafe buat kasih tau arini hamil..
kan jadi bingung baca nya..
Sri Wahyuni Abuzar
danu yg nyetir mobil ke rumkit..ayah duduk di kursi samping danu..lalu binar dan ibu nya duduk di kursi belakang..pantas kalau arini bilang dia seperti g keliatan karena duduk di depan..di kursi depan bagian mana lagi yaa bingung aku tuuh 🤔
Noivella: makasih kak. astaga aku baru sadar typo maksudnya kursi paling belakang😭😭
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!