Sekuel ke empat Terra The Best Mother, sekuel ke tiga Sang Pewaris, dan sekuel ke dua The Big Families.
Bagaimana kisah kelanjutan keluarga Dougher Young, Triatmodjo, Hovert Pratama, Sanz dan Dewangga.
Saksikan keseruan kisah pasukan berpopok dari new generasi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CINTA YANG HALAL
Semua orang masih sibuk. Kegiatan di rumah Terra memang tak pernah berhenti — seperti jantung keluarga yang terus berdetak.
Hari ini pun semua berkumpul.
Layla baru tiba bersama anak kembarnya, Hasan dan Hapsa, setelah dua minggu liburan di rumah nenek mereka.
“Imi loleh-loleh, puwat Wuyuy!” ucap Hapsa riang, memberikan satu sarung batik pada Bart.
“Oh... terima kasih, sayang,” jawab Bart haru. Ia mencium pipi chubby cucunya.
"Kalian di rumah ya. Kami ke pengadilan dulu!" pamit Herman pada Khasya, istrinya.
"Sekarang putusan pengadilan ya, Yah?" tanya Terra.
"Iya sayang, sekarang putusan. Kami selaku pelapor wajib hadir!' sahut Bart.
"Hati-hati, jangan terlalu terbawa emosi. Putusan pengadilan jangan diganggu gugat!" ujar Khasya memberi peringatan.
"Iya sayang!" angguk Herman menenangkan istrinya.
Haidar, Virgou dan lainnya pun pergi ke pengadilan. Mereka dikawal oleh sepuluh pengawal, termasuk Gomesh.
Sementara di area bermain, suara tawa bayi memenuhi udara.
“Ata’! Haceupsuanzusnsus!” oceh Rauf.
“Ata’ dat dithu ya!” balas Ali
dengan nada protes.
“Baby, memang Baby Rauf bilang apa?” tanya Deri tak mengerti.
“Basa tatana Atuh dat bunya teunada!” jawab Ali cepat,
membuat Deri tertawa geli.
Ali lalu naik ke besi penyangga dan berusaha menarik tubuhnya.
“Wah, hebat!” puji Deri sambil bertepuk tangan.
Begitu pegangan Ali terlepas, Deri sigap menangkapnya.
“Bebat tan?” tanya Ali bangga.
“Woh!” sahut Rauf sambil bertepuk tangan.
Tak jauh dari sana, Andromeda menatap Sinta — pengawal wanita yang masa dinasnya sebentar lagi habis. Namun ia tahu, gadis itu mungkin akan memperpanjangnya.
“Kamu lihat siapa, Nak?” tanya Khasya lembut yang memperhatikan dari jauh.
“Ah, Bunda!” Andromeda gugup, wajahnya memerah.
“Tidak apa-apa, Nak,” senyum Khasya. “Kalau kau ingin mengikat Sinta, lakukan. Kalian sudah dewasa. Sudah waktunya kalian menikah.”
Andromeda terdiam. “Saya takut, Bunda. Kalau saya memintanya, saya justru membelenggu kebebasannya. Sinta terlihat menikmati kariernya.”
“Karier apa, Nak? Kalian hanya mengawal bayi-bayi lucu. Tidak mau jadi pelatih di markas?”
Andromeda tersenyum kecil. “Bukan tidak mau, Bunda. Hanya saja… babies terlalu menggemaskan. Mereka membuat saya betah di sini.”
Khasya menghela napas. “Ungkapkan, Nak. Jangan biarkan Sinta ikut menanggung dosa karena kau menahan perasaanmu. Bunda yakin, hatinya sama denganmu. Perempuan itu… punya batas waktu.”
Andromeda menunduk, menatap jemarinya sendiri. Sinta sudah delapan tahun mengabdi, sementara ia baru enam tahun menjaga keluarga ini. Tapi setiap hari bersama, membuat rasa itu tumbuh tanpa bisa dihentikan.
Anak-anak berlarian. Sista dan Deri sibuk menjaga mereka, sementara Exel dan Armada mengejar Issa, Arjuna, dan Fikar yang membawa sepasang sepatu entah milik siapa.
“Baby!” teriak Armada saat Issa melempar sepatu ke kolam. Ia pun terpaksa menceburkan diri untuk mengambilnya. Arjuna dan Fikar ikut tertawa sambil melempar sepatu lainnya.
Sinta tertawa lepas melihat kekacauan lucu itu. Dan di tengah tawa itu, Andromeda melangkah mendekat. Dengan pelan, ia menggenggam tangan Sinta.
“Eh?” Sinta menoleh, terkejut.
“Meda?”
“Ssshh... diamlah,” bisik Andromeda pelan.
Khasya hanya menepuk kening, tapi bibirnya tersenyum tipis.
Beberapa bayi, seperti Hapsa dan Naka, ikut terdiam memandangi keduanya dengan rasa ingin tahu.
“Med?” Sinta berbisik, wajahnya memerah.
“Sin…” Andromeda menatapnya dalam.
“Aku ingin ada yang menungguku setiap kali aku pulang. Seseorang yang khawatir saat aku sakit. Seseorang yang memelukku ketika aku merasa sendiri!"
Air mata mulai menitik di mata Sinta.
Andromeda mengusap pipinya dengan lembut.
“Aku ingin beristri. Dan wanita yang ingin kuajak berlayar bersama… adalah kamu, Sinta.
Kamu mau menemaniku—mencari pahala bersama, dalam ikatan yang halal?”
Para bayi langsung berkumpul, membentuk lingkaran kecil. Mereka menatap dua insan yang tengah memadu janji dengan mata bulat polos.
“Sin?” Andromeda kembali memanggil.
Satu titik bening jatuh di pipi Sinta. Ia tak menyangka Andromeda serius. Perlahan ia mengangguk.
“Apa arti anggukanmu, sayang?” tanya Andromeda gusar.
“Iya... Aku mau... Mas,” jawab Sinta lirih tapi pasti.
“Alhamdulillah, ya Allah!” Andromeda memeluknya, mengangkat tubuh gadis itu lalu memutarnya penuh sukacita.
Sinta terpekik dan tertawa, membuat semua bayi ikut bersorak.
“Apah! Atuh wawu judha!” seru Khadijah dengan bahasa bayinya.
Semua bayi mengerubungi keduanya. Sinta dan Andromeda bergantian mengangkat mereka satu per satu, memutarnya di udara sambil tertawa.
Gelak tawa memenuhi rumah.
Maria melihatnya dari kejauhan dan mengerutkan kening.
“Sinta! Andromeda!” serunya kesal.
“Ah... Maila peulum!” teriak Humaira protes.
“Atuh judha!” sambung Aquila sengit.
“Apah peulum tidha tali!” gerutu Bima.
Andromeda menunduk. “Nggak boleh marah, Baby,” bisiknya.
Maria masih melotot, namun Khasya mengusap lengannya lembut.
“Sayang, biarkan saja,” ujar Khasya tenang.
“Tapi, Bunda!” protes Maria.
“Mereka sudah dilatih. Mereka tak mungkin mencelakai anak-anak,” jawab Khasya lagi.
Maria menghela napas dan akhirnya memalingkan muka.
Khasya memberi isyarat agar Andromeda melanjutkan bermain.
Bayi-bayi pun bersorak gembira.
“Hoyee!”
Sementara itu, di pengadilan, suasana berbanding terbalik dengan tawa di rumah Terra.
Putusan dan pledoi telah dibacakan. Hakim mengetukkan palunya dengan tegas.
“Setelah mendengarkan saksi dan memeriksa berbagai bukti, maka terdakwa Gondo Brata terbukti secara sah melanggar pidana: pencurian, pemalsuan data, teror, dan pengambilalihan ilegal.
Dengan ini, terdakwa dijatuhi hukuman lima puluh tahun penjara serta denda tujuh miliar rupiah yang wajib dibayarkan pada negara!"
Ruangan terdiam.
Herman menatap ke depan dengan wajah tenang, namun kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan.
Bart menghela napas panjang, lalu berbisik,
“Alhamdulillah... keadilan akhirnya datang juga.”
Keluar dari ruang sidang, banyak wartawan menunggu. Mereka langsung memberondong pertanyaan.
"Pak Triatmodjo! Pak Dougher Young! Bagaimana hasil sidang, apa sesuai hukum?"
"Terimakasih kawan-kawan media telah menunggu!" seru Haidar yang jadi juru bicara.
"Kami telah mengikuti semuanya. Hukuman telah diberikan pada terdakwa, kami menerima semua keputusan itu!" lanjutnya.
"Bagaimana dengan terdakwa, apa ada banding?" tanya salah satu wartawan.
"Pastinya kuasa hukum mereka mengajukan banding. Kami juga akan berusaha sekoorperatif mungkin mengikuti aturan hukum. Tapi kami sangat yakin, jika keadilan berada di pihak kami!" jawab Haidar.
"Pak Hovert Pratama, lalu bagaimana pengacara anda yang merupakan saudara sendiri bisa jadi lawyer?" tanya salah satu wartawan.
"Baby ... Ah maksud saya, Seroja adalah pengacara keluarga. Terlebih Seroja cukup bersih dan adil memihak!" jawab Haidar.
"Saya rasa cukup ya!" putus Bart yang merasa pusing.
Para pengawal mulai mengurai wartawan. Heliya keluar dari ruang sidang. Tentu wanita itu jadi buruan wartawan.
Bram dan lainnya naik mobil dan kendaraan itu keluar dari parkiran gedung pengadilan itu.
Sampai rumah, suasana sudah sepi karena anak-anak sudah tidur siang. Bart langsung duduk dan minta makan.
Maria kini yang menghidangkan untuk pria tua itu. Sementara Virgou memilih duduk dan minum air putih.
"Alhamdulillah, akhirnya sidang selesai juga!" ujar Haidar lega.
"Yah, aku salut dengan Baby Seroja. Dia dengan cepat tak mengulur waktu dan mempersingkat pengadilan!" sahut Virgou bangga.
'Ya ... Hukuman lima puluh tahun penjara dan denda begitu besar. Yang aku kasihan wanita simpanan Gondo yang hamil itu ...," dua pasang mata nampak membesar.
Lalu keduanya pun melangkah pelan, keluar dari persembunyiannya. Kaki-kaki kecil dua balita itu menaiki tangga lalu sampai di pintu dan membukanya.
"Days ... Lada peulita beuntin!' seru Khadijah dengan .mata besar.
"Apa Baby?" tanya Zaa penasaran, dia sudah menunggu.
"Tatana lada sewet mamil ...."
"Butan ... Butan dithu!' sangkal Khadijah.
"Pa'a yan teulsadhi?" tanya Jamila penasaran.
"Hutuman mima buluh pahun, mama sewet pimpanan yan mamil!" jawab Khadijah.
Zaa . menghela nafas panjang, menatap Sabila dan Faza yang sudah terlelap.
"Ah ... Coba meleka yang menguping. Infolmasina basti lentap!"
bersambung.
Hooh ... Bener banget!
Next?
nyari mati rupanya