Bertahun-tahun memendam cinta pada Bagaskara, Aliyah rela menolak puluhan lamaran pria yang meminangnya.
Tak disangka, tepat di hari ulang tahunnya, Aliyah mendapati lamaran dari Bagaskara lewat perantara adiknya, Rajendra.
Tanpa pikir panjang Aliyah iya-iya saja dan mengira bahwa lamaran itu memang benar datang dari Bagaskara.
Sedikitpun Aliyah tidak menduga, bahwa ternyata lamaran itu bukan kehendak Bagaskara, melainkan inisiatif adiknya semata.
Mengetahui hal itu, alih-alih sadar diri atau merasa dirinya akan menjadi bayang-bayang dari mantan calon istri Bagaskara sebelumnya, Aliyah justru bertekad untuk membuat Bagaskara benar-benar jatuh cinta padanya dengan segala cara, tidak peduli meski dipandang hina ataupun sedikit gila.
.
.
"Nggak perlu langsung cinta, Kak Bagas ... sayang aja dulu nggak apa-apa." - Aliyah Maheera.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 - Cemburu?
“Aku tidak bertanya, Aliya.”
Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Bagaskara. Datar, dingin, tanpa sedikit pun intonasi yang bisa dijadikan pegangan. Namun, bagi Aliya ucapan singkat itu justru lebih menusuk daripada kalimat panjang penuh tuduhan.
Ia masih ingat betul bagaimana raut wajah suaminya ketika mengatakannya. Tatapan mata Bagaskara yang tajam, seperti bilah pisau yang mengenai sasaran tepat di dadanya, sukses membuatnya tercekat sejenak.
Akan tetapi, alih-alih sakit hati, Aliya justru menafsirkan hal itu dengan cara yang sama sekali berbeda.
“Heh? Itu tadi kenapa? Kok kayak kesel gitu? Apa mungkin … dia cemburu?” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri, tatkala Bagaskara sudah beranjak pergi meninggalkan kamar.
Aliya mengerjap beberapa kali, lalu mengulas senyum samar. Kalau wanita lain mungkin sudah merasa tersinggung dengan sikap Bagaskara, ia justru sebaliknya.
Ada perasaan bangga yang tiba-tiba menyelinap, seolah ia baru saja memenangkan pertarungan kecil yang tak kasat mata.
“Orang bilang, kalau marah-marah artinya cemburu … fiks, yakin dugaanku nggak mungkin salah sih.” Ia menggumam lagi sambil menekan senyum di bibirnya, mencoba menahan rasa riang yang meledak di dada.
Semakin ia mengingat sorot mata Bagaskara, semakin ia yakin kalau itu bukan sekadar dingin, melainkan tanda bahwa hati Bagas terusik.
Aliya bahkan sudah menaruh keyakinan seratus persen kalau Bagaskara mulai goyah, sekalipun pria itu tidak pernah terang-terangan menunjukkan apapun.
Perasaan itu terus berputar di kepalanya, sampai tiba-tiba dering ponsel kembali memecah lamunannya.
Suara notifikasi yang begitu jelas membuat Aliya menoleh cepat ke arah layar ponsel yang masih ada di genggamannya.
Ternyata, ada pesan baru dari Zikry.
Sontak Aliya berdecak kesal. “Ngapain sih dia? Pakai acara nanya-nanya segala … siapa juga yang kasih tahu kalau aku udah nikah? Ribet, 'kan jadinya,” gumam Aliya jengkel.
Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan suasana hatinya beberapa detik lalu, begitu membaca pesan singkat terbaru dari Zikry, ekspresinya berubah drastis.
Senyum yang tadi sempat muncul lenyap begitu saja, digantikan wajah masam penuh gerutu.
Aliya sempat mengetik panjang. Jarinya menari cepat di atas layar ponsel, membentuk kalimat yang intinya ingin menegaskan pada Zikry agar berhenti mengusik kehidupannya.
Namun, sebelum menekan tombol kirim, ia mendesah panjang, lalu menghapus kembali ketikan itu.
“Ngapain juga? Nanti malah makin panjang urusannya,” ujarnya pada diri sendiri, mencoba menekan amarah.
Akhirnya ia memilih balasan singkat saja. Tidak ingin ribet, tidak ingin memperpanjang topik. “Iya, aku bahagia.”
Hanya itu, tanpa embel-embel tambahan, tanpa penjelasan lain. Setelahnya, ia langsung menutup layar ponsel, sama sekali tak peduli dengan balasan yang mungkin akan segera masuk.
Baginya, percakapan dengan Zikry hanyalah gangguan yang tidak perlu. Dan kini, fokusnya hanya satu, suaminya.
Aliya menegakkan tubuh, lalu menatap pintu kamar dengan penuh tekad. Ada rasa khawatir yang tiba-tiba menyeruak.
Bukan khawatir kalau Bagaskara marah besar, melainkan lebih kepada rasa penasaran yang sulit dibendung.
Baginya, Bagaskara yang menunjukkan sikap dingin dan tak terduga itu justru tanda bahwa hati pria itu sedang kalut.
“Jangan-jangan Kak Bagas lagi kesurupan karena naik darah,” celetuknya pelan sambil terkekeh kecil.
Nada suaranya terdengar konyol, tapi di balik itu ada keyakinan yang tumbuh semakin kuat bahwa suaminya memang tengah diliputi rasa cemburu.
Tanpa menunggu lama, ia melangkah keluar kamar. Niat awalnya adalah menuju ruang makan. Ia ingin memastikan Bagaskara sudah menyiapkan semuanya atau belum.
Namun, langkahnya terhenti ketika mendapati ruang makan kosong. Aliya mengernyit, menoleh ke kanan dan ke kiri, sebelum akhirnya pandangannya tertuju pada ruang keluarga.
Di sanalah ia menemukan Bagaskara. Pria itu duduk di sofa, tubuhnya sedikit terhuyung ke belakang seolah baru saja menyelesaikan olahraga berat.
Bahunya naik-turun pelan, wajahnya terlihat tenang tapi jelas menyimpan sesuatu yang berbeda.
Pandangannya lurus ke depan, tepat ke arah televisi yang menyala dengan suara rendah. Entah tayangan apa yang sedang diputar, Bagaskara tampak tidak benar-benar memperhatikannya.
Sorot matanya kosong, lebih mirip orang yang sedang berusaha mengalihkan pikiran daripada benar-benar menikmati tontonan.
Jemarinya terlipat di pangkuan, sesekali mengetuk pelan seolah menandakan kegelisahan yang tidak terucap.
Aliya menghentikan langkahnya beberapa detik. Dia berdiri di ambang pintu, memperhatikan sosok pria itu dengan tatapan campur aduk, penasaran, deg-degan, sekaligus bahagia.
Ada bagian dalam dirinya yang ingin langsung menghampiri, duduk di sebelah Bagaskara, lalu mencoba meredakan suasana.
Namun, ada pula sisi lain yang membuatnya ragu, takut kehadirannya justru menambah beban pikiran suaminya.
Hatinya berdebar hebat. Bagi Aliya, pemandangan sederhana itu saja sudah lebih dari cukup untuk membuat jantungnya berdetak tak karuan.
Kendati demikian, Aliya tetap nekat untuk bertanya karena merasa tidak mungkin dia hanya diam saja.
“Ehem!!” Aliya akhirnya berdehem pelan, mencoba memecah sunyi yang terasa mencekam. Suaranya memang tidak keras, tapi cukup untuk menarik perhatian.
Baginya, suasana ruang keluarga saat ini lebih menakutkan daripada rumah hantu sekalipun. Udara seolah berat, setiap tarikan napas terasa sesak, apalagi melihat wajah Bagaskara yang sedingin es.
Bagaskara menoleh sekilas, hanya dengan gerakan mata yang tampak malas, seolah menanyakan maksud keberadaan istrinya di sana.
Tatapan itu singkat, tapi tajam, membuat Aliya refleks menggenggam jemari sendiri di depan perut. Ia cukup paham bahasa tubuh itu, Bagaskara sedang tidak ingin diganggu.
Namun, belum sempat ia merangkai kalimat pembuka, Bagaskara sudah lebih dulu bersuara. Nada bicaranya tegas, sedikit meninggi, penuh dengan ketidaksabaran.
“Apa lagi? Kamu ingin kembali menjelaskan sesuatu yang berkaitan dengan hubungan kalian di masa lalu? Sudah kukatakan tidak perlu, paham tidak?!”
Aliya terdiam sesaat. Kata-kata itu meluncur seperti panah yang tepat mengenai jantungnya.
Tatapan matanya semakin tajam, tapi bukan untuk menantang, melainkan untuk menggali kebenaran dari sorot mata pria di hadapannya.
Aliya sedikit mengangkat dagunya, berusaha menampilkan keberanian yang sebenarnya lebih banyak dibalut kegugupan.
“Kakak kenapa sih uring-uringan gitu? Cemburu, kah?”
.
.
- To Be Continued -
Hayoo jawab, Gas!!
Ramein komennya ya ~ Samperin Author di ig : desh_pusita atau kalau yang gapunya, di FB : Desy Puspita
jangan sampai ada lelaki lain yang menyayangi aliya melebihi kamu, bagas
Kagak tauu ape, duo makhluk itu lagi kasmaran 😆..
Elu jadi saksi bisuuuu, gitu aja kagak paham, ngiri yaaa 😆...
So selirih apapun suaramu selama tidak memakai bahasa kalbu Bagas bakalan dengar 😅..
Lain kali hati-hati ngomongnya apalagi kalau mau bully Bagas 😆✌...