Amara Olivia Santoso, seorang mahasiswa Teknik Industri yang sedang berusaha mencari pijakan di tengah tekanan keluarga dan standar hidup di masyarakat. Kehidupannya yang stabil mulai bergejolak ketika ia terjebak dalam permainan seniornya Baskara Octoga.
Situasi semakin rumit ketika berbagai konflik terjadi disekitar mereka. Novel ini menceritakan tentang kisah cinta remaja, persahabatan dan kehidupan kampus.
Sebuah Permainan
Lelaki bernomor punggung enam belas itu berlari mengejar bola yang kini menuju ke arahnya. Dengan cepat, ia menerima umpan dari Satria yang kini berada di sisi berlawanan.
Ia sangat lihai ketika menggiring bola ke depan, menghindari lawan yang mencoba merebut bola yang kini berada di kakinya.
Nafasnya terengah, keringat dingin bercucuran di dahinya. Namun, dia tidak lengah. Dengan mengandalkan insting dan beberapa tipu daya ia berhasil melewati lawan dan mendekat ke arah gawang.
Kaki kanannya berayun cepat, menendang bola tepat ke tengah gawang.
“PRITTTTT” Suara pluit wasit menggelegar di udara. Di susul dengan teriakan goll dari tribun sebelah kanan.
Lelaki itu adalah Baskara Octoga. Lelaki yang mencetak tujuh dari sepuluh gol untuk timnya, Kini dengan tengilnya melakukan selebrasi berlari ke tengah lapangan.
Tepuk tangan dan sorakan dari anak industri semester lima menggema di udara malam itu. Meneriakkan kemenangan di acara final Dekan Cup yang di adakan oleh BEM di setiap semester.
“Haduhhh juara dua lagi” Keluh Erica yang duduk di tribun belakang Amara dan Gwen.
“Udah sihh, kita juga kalah kan di voly putri. Ngga nyumbang hadiah buat kas Angkatan” Kata Gwen kesal.
“Coba ada Ethan, semester kemaren dia kan jago pas di jadiin kiper” Kabisatia menyeletuk.
Reflek Erica menyenggol tangan Kabisatia yang duduk tepat di sebelahnya.
“Bocah freak kek gitu masih aja kamu gamonin sat?” Tanya Gwen.
“Tapi dia beneran ngilang, semua sosmednya juga ngga aktif, bahkan wa kita semua itu di blok sama dia loh” lanjut Kabisatia.
“Eh sat, ada Amara, bisa diem bentar ngga? Nanti dia kambuh traumanya njir” Bisik Erica pada Kabisatia yang masih terdengar jelas oleh Gwen dan Amara karena jarak yang sangat dekat di antara mereka.
“Aman, gapapa lagi ca. lagian udah sebulan lebih juga” Kata Amara sembari menoleh kebelakang dengan tersenyum.
“Nahh itu Amara aja ngga kenapa kenapa” Kabisatia mulai kesal.
Dengan sigap Gwen membukakan tutup air mineral ketika Angkasa berlari ke arahnya menuju tribun.
“Sorry ya gaes, kalah lagi kita” Ucapnya dengan terengah setelah meneguk air dari Gwen.
“Its okay, kita tetep bisa party dengan budget pas pasan itu” Erica tertawa renyah.
“Udahlah sini duduk dulu, istirahat bentar” Ucap Gwen sembari menepuk pundak Angkasa yang basah.
“Sialan itu El makan apa sih, badannya susah banget buat di tembus bola” Raka meracau, ia berjalan mendekat kearah Angkasa yang tengah duduk di tribun bersebelahan dengan Gwen.
“Udah mending kali kita masih juara dua, keknya grombolan kakak tingkat kita itu beneran solid banget deh” Sahut Angkasa.
“Asli pengen aku sleding juga itu si Baskara, Ngga suka aku sama cara mainnya. Kotor banget” Raka mulai kompor.
“Kalah kalah aja sih, ngga usah nyalahin tim lain. Yang legowo gitu lo” Sahut Kabisatia.
“Eh macan Sumatra, diem deh. Ngeselin nanget jadi cewek. Dukung ngga, kalah marah-marah. Emang kontribusimu apa disini?” Raka mulai naik pitam.
“Udah deh, kalian mending diem. Jangan berantem disini. Malu di lihatin se fakultas” Amara mencoba menengahi.
“Apaan sih ra? Coba kamu ngga bikin gara-gara sama Ethan, pasti dia masih disini jadi kiper kita. Angkatan kita ngga mungkin kalah. Gila aja udah latihan lama tiba-tiba kipernya ganti yaa jadinya gini” Kabisatia mulai menyolot. Ia tidak terima.
“Ni anak ngga full otaknya, kriminal kek gitu masih aja di bahas. Yang ada dia malu-maluin Angkatan kita tau ngga” Tambah Angkasa.
“Udah yaa stop. Aku minta maaf terlepas dari masalah aku sama Ethan, tim futsal kalian jadi kena imbasnya. Dan buat kamu sat, semoga kamu ngga ngalamin apa yang aku alamin” Tegas Amara.
“Udah udahh stop jangan ribut” Erica mencoba menghentikan perdebatan itu.
Dari depan, terdengar sayup sayup panitia yang akan mulai acara penutupan. Namun naas, hujan tiba-tiba mengguyur lapangan futsat yang berada di area outdoor itu.
Sekejap segenap panitia dan peserta futsal berhamburan naik ke tribun untuk ikut berteduh.
Dalam kondisi berhimpitan mereka berdiri berjajar agar tidak terciprat hujan yang mulai deras.
Baskara berdiri di tribun paling atas bersama El dan Satria. Mereka menghindar untuk bergerombol bersama anak lainnya karena sadar bau keringat setelah selesai bermain futsal.
“Baru juga masuk November, udah ujan aja” Keluh Satria.
“Udah bro gausah marah-marah deh lo, kita habis menang banyak duit ini. Kalo kata gue mah bersyukurr” Ucap El dengan tengilnya.
“Masalahnya aku ngga bawa jas hujan egee” Satria mulai kesal.
“Motornya tinggalin aja di kampus, kita nebeng Baskara aja. Biar dia nginep sesekali di kosan kitaa” kata El yang tidak di dengarkan Baskara.
Entah apa yang merasuk di pikirannya, kupingnya seperti di bungkam suara derasnya hujan. Dan matanya, sejak tadi terfokus kedepan. Melihat Amara yang kini menengadahkan tangannya ke atas. Membiarkannya basah terkena tetesan air hujan yang jatuh tepat di telapak tangan kanannya.
Wanita itu tersenyum, sangat manis. Seperti es kelapa muda yang biasa ia minum ketika cuaca sedang panas di siang hari. Senyumannya seolah berbicara untuk mengetuk pintu hati Baskara yang telah tertutup rapat selama satu setengah tahun terakhir ini.
“Ealah lagi ngeliatin Amara dia Sat” Decih El kesal.
“Biarin kenapa sih El” Kata Satria datar.
“Ngga bisa di giniin Sat, jiwa kompetitif gue ga bisa di tahan gitu aja” El kini mulai meracau.
Baskara mengernyitkan dahinya, ia menoleh ke arah El kesal.
“Kamu apaan sih El ribut banget dari tadi” Protes Baskara.
“Gue tau Bas kita bertemen baik, tapi masalah hati ini lain” Kata El.
“Terus hubungannya apa?” Tanya Baskara.
“Lo jadi saksi yaa Sat?” Tanya El penuh keyakinan. Kini ia meraih ponsel yang berada di sakunya. Dengan sigap dia membuka menu recorder dan menekannya pelan.
“Gue mau saingan sama lo buat dapetin Amara” Kata El tegas.
“Ini semacam taruhan gitu?” Tanya Satria bingung.
“Iyaa bisa jadi, pemenangnya yaa siapa yang paling cepet dapetin Amara” Jawab El.
Baskara tersenyum tipis, “Okee kita main secara fair ngga ada sikut sikutan. Kalo aku menang, tolong jauhin Amara. Kalo aku kalah, aku yang bakal ngejauh”.
“Sama uang sejuta deh biar rame” El menambahkan.
“Serah kalian deh, aku ngga peduli” Kata Baskara yang sebenarnya tidak peduli dengan ajakan El.
“Sok sokan banget deh El, kalian ini punya otak ngga sih? Anak orang di jadiin bahan taruhan. Di bantai Kak Kevin mampus kalian” Kata Satria yang kini geleng-geleng kepala tidak setuju dengan kelakuan temannya yang seperti bocil itu.
“Santailah Sat, minggu depan juga Kak Kevin udah mulai KKN. Lagian habis ini dia udah bukan presiden BEM lagi” Kata El.
“Kamu juga Bas, orang kayak El kamu iyain sama aja bikin bom waktu buat kamu sendiri” Kata Satria mencoba mengingatkan.
“Santai sih Sat, orang kayak El kamu anggep serius” Kata Baskara.
“Babasssss” Teriakan Celline yang kini berlari menghampiri mereka terdengar seperti suara gledek.
“Eh anak jin, gausah berisik” Teriak El.
“Apaan sih, aku nyariin Baskara yaa” Celline tak terima.
“Apaan sih Ce, gausah deket deket. Gerah tau ngga” Baskara kini menolak dengan tegas.
Seketika wajah Celline berubah tertekuk, seperti baju yang belum di setrika setelah di putar mesin cuci puluhan kali.
Malam itu, bukan hanya tentang futsal dan kompetisi. Tapi, tentang sebuah awal cerita yang akan merubah segalanya.