Bagi Luna, Senja hanyalah adik tiri yang pantas disakiti.
Tapi di mata Samudra, Senja adalah cahaya yang tak bisa ia abaikan.
Lalu, siapa yang akan memenangkan hati sang suami? istri sahnya, atau adik tiri yang seharusnya ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 - Kepulangan pahit
Senja tengah melipat cucian di ruang keluarga ketika mendengar suara pintu utama terbuka. Matanya langsung tertuju pada jam dinding antik yang tergantung di atas perapian, pukul dua siang. Terlalu cepat untuk Samudra yang biasanya pulang menjelang sore.
Langkah kaki terdengar berat dan perlahan. Senja dengan cepat meletakkan cucian yang sedang dilipat dan bergegas keluar dari ruang keluarga. Yang dilihatnya membuat hatinya langsung terenyuh.
Samudra berdiri di tengah ruang tamu dengan bahu yang merosot, jas abu-abu yang sudah kusut, dan wajah yang terlihat sangat lelah. Matanya yang biasanya tajam dan berwibawa kini tampak kosong, seolah kehilangan semangat hidup. Tas kerja kulit coklatnya tergeletak begitu saja di lantai marmer, tidak ditempatkan di rak seperti biasanya.
"Mas Samudra?" Senja menghampiri dengan cepat, kekhawatirannya terlihat jelas di wajah. "Mas kenapa? Kok pulang cepat? Jangan-jangan demamnya kambuh lagi?"
Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Samudra tiba-tiba melangkah maju dan memeluk Senja erat. Pelukan itu begitu tiba-tiba dan putus asa, membuat tubuh Senja menegang karena terkejut. Dia bisa merasakan ketegangan di seluruh tubuh pria itu, seolah sedang menahan beban yang sangat berat.
"Mas..." bisik Senja, suaranya bergetar karena bingung dan cemas. "Mas kenapa? Ada apa?"
Samudra membenamkan wajahnya di ceruk leher Senja, menghirup aroma vanilla yang selalu menenangkan hatinya. Pelukan itu lebih dari sekadar pencarian kenyamanan fisik, itu adalah pelukan seorang pria yang sedang hancur dan membutuhkan anchor untuk tidak tenggelam dalam kehancurannya.
"Senja," bisiknya dengan suara serak, "bolehkah Mas memelukmu sebentar saja? Mas butuh ini."
Mendengar suara Samudra yang begitu rapuh, hati Senja mencelos. Tanpa ragu lagi, tangannya melingkar di pinggang pria itu, memberikan kehangatan yang dibutuhkannya. "Tentu saja, Mas. Mas mau cerita ada apa?"
Samudra menggeleng pelan, masih enggan melepaskan pelukan. "Tidak apa-apa. Hanya... hari yang berat."
Mereka berpelukan dalam keheningan selama beberapa menit. Senja merasakan detak jantung Samudra yang perlahan mulai melambat, ketegangan di tubuhnya mulai mengendur. Sementara jantungnya sendiri berdetak kencang, bukan karena gugup, tapi karena perasaan sayang yang semakin dalam pada pria yang sedang terluka ini.
Akhirnya Samudra melepaskan pelukan, matanya menatap wajah Senja dengan tatapan yang penuh terima kasih. "Maaf, Mas terlalu lancang."
"Tidak apa-apa, Mas," jawab Senja dengan senyum yang tulus. "Mas duduk dulu, aku buatkan minuman."
Samudra mengangguk dan berjalan menuju sofa kulit coklat di tengah ruang tamu. Dia duduk dengan postur yang merosot, kepala bersandar pada sandaran sofa, mata terpejam seolah sangat lelah dengan dunia.
Senja bergegas ke dapur dengan hati yang dipenuhi kekhawatiran. Dia menyalakan kompor dan mulai merebus air untuk teh chamomile, teh yang biasa dia sajikan ketika seseorang butuh ketenangan. Sambil menunggu air mendidih, matanya sesekali melirik ke arah ruang tamu, memperhatikan sosok Samudra yang terlihat begitu rapuh.
"Ada apa ya dengan Mas Samudra?" gumamnya sambil mengambil madu dari lemari. "Pasti ada masalah besar. Aku belum pernah melihat dia seperti ini."
Senja ingin sekali bertanya, ingin tahu apa yang membuat pria sekuat Samudra terlihat begitu hancur. Tapi dia tahu batasan. Dia hanya asisten rumah tangga, adik ipar yang tidak seharusnya terlalu mencampuri urusan pribadi. Meski hatinya berteriak ingin membantu, dia hanya bisa memberikan dukungan dari kejauhan.
Setelah teh selesai diseduh, Senja menuangnya ke dalam cangkir porselen putih dengan motif bunga sakura, cangkir favorit Samudra. Dia menambahkan satu sendok madu dan meletakkan beberapa biskuit marie di piring kecil.
"Mas Samudra," Senja menghampiri dengan nampan di tangan, "ini teh chamomile. Bisa membantu menenangkan pikiran."
Samudra membuka mata dan tersenyum tipis. "Terima kasih, Senja. Kamu selalu tahu apa yang Mas butuhkan."
Kata-kata itu membuat pipi Senja merona. Dia meletakkan nampan di meja kopi dan duduk di ujung sofa, menjaga jarak yang sopan namun tetap cukup dekat untuk menunjukkan kepeduliannya.
"Mas Samudra mau cerita?" tanya Senja hati-hati. "Mungkin aku bisa membantu."
Samudra menatap Senja dengan tatapan yang kompleks, ada rasa haru, ada kekaguman, dan ada sesuatu yang lebih dalam yang tidak berani diutarakan. "Kamu sudah membantu lebih dari yang kamu bayangkan, Senja. Kehadiranmu saja sudah cukup."
Sebelum Senja bisa merespons, suara pintu utama terbuka dengan keras, diikuti suara hak tinggi yang berdentang di lantai marmer. Luna melangkah masuk dengan penampilan yang glamor, dress putih off-shoulder yang memamerkan kulit coklat eksotis hasil liburannya, rambut bergelombang yang tertiup angin, dan senyum cerah yang mengembang di wajahnya.
"Sayaaaang!" seru Luna dengan suara riang sambil menjatuhkan tas branded-nya sembarangan. Dia langsung berlari menuju Samudra dan memeluknya dari belakang sofa, mencium pipi suaminya dengan riuh. "Aku kangen banget sama kamu! Bali itu indah sekali, tapi tidak lengkap tanpa suamiku yang ganteng."
Samudra menegang dalam pelukan istrinya. Kontras yang begitu mencolok, semenit yang lalu dia memeluk Senja dengan penuh keputusasaan, kini istrinya memeluknya dengan antusiasme yang terasa palsu.
"Kamu sudah pulang," kata Samudra datar, tanpa membalas pelukan Luna.
Luna tidak menangkap nada dingin dalam suara suaminya. Dia berputar dan duduk di pangkuan Samudra, lengannya melingkar di leher pria itu dengan manja. "Iya dong! Aku sudah rindu suamiku. Makanya aku pulang cepat."
Senja merasa tidak nyaman menyaksikan kemesraan itu. Dia bangkit dari duduk dan bersiap pergi. "Aku ke belakang dulu..."
"Tunggu," kata Luna sambil menatap Senja sekilas. "Kamu bisa pergi nanti. Aku mau ngomong sama suamiku dulu."
Senja mengangguk dan tetap berdiri di sana, tidak tahu harus berbuat apa. Luna kembali fokus pada Samudra, jemarinya bermain dengan kancing kemeja pria itu.
"Sayang," bisik Luna dengan suara manja yang dibuat-buat, "aku ada kabar baik nih."
"Kabar baik?" Samudra menatap istrinya dengan ekspresi skeptis.
"Iya! Selama di Bali, aku kan ketemu sama teman-teman lama. Nah, salah satunya, si Kirana, dia bilang kalau sekarang zamannya investasi bisnis. Aku jadi kepikiran nih..."
Luna berdiri dan berputar di depan Samudra dengan mata berbinar palsu. "Aku mau buka butik fashion premium! Kamu tahu kan aku punya taste yang bagus soal fashion. Pasti laris deh!"
Samudra terdiam, matanya menatap istrinya dengan tatapan yang sulit dibaca. "Butik?"
"Iya! Aku sudah survey online, butuh modal sekitar lima ratus juta untuk mulai. Tempat strategis, stock barang-barang branded, interior yang kece... Pasti untung besar!"
Mendengar angka lima ratus juta, Samudra tertegun. Jumlah yang tidak sedikit, bahkan untuk ukuran keluarga kaya seperti mereka.
"Lima ratus juta..." gumam Samudra.
"Ayolah, sayang," rayu Luna sambil mengecup pipi Samudra berkali-kali. "Kamu kan selalu bilang mendukung impianku. Nah, ini impianku! Aku mau jadi business woman yang sukses seperti mama kamu."
Samudra menatap mata istrinya dalam-dalam, mencari ketulusan di balik kata-kata manis itu. Tapi yang dilihatnya hanya kilau perhitungan dan manipulasi.
"Luna," kata Samudra perlahan, "sebelum kita bicara soal bisnis... aku mau tanya sesuatu."
"Apa, sayang?"
"Kamu tidak bertanya bagaimana keadaanku? Kamu tidak khawatir aku masih sakit?"
Luna tertawa ringan, seolah pertanyaan Samudra adalah hal yang lucu. "Sayang, kamu kan sudah duduk di sofa dengan santai. Berarti kamu baik-baik saja! Lagipula, kalau beneran sakit, pasti kamu kabarin aku di Bali."
Jawaban itu bagaikan tamparan di wajah Samudra. Senyum di bibirnya memudar, digantikan oleh tatapan kecewa yang dalam.
Di sudut ruangan, Senja menahan napas. Hatinya sakit melihat betapa tidak peduli Luna pada suami yang begitu mencintainya. Bagaimana bisa seorang istri tidak menanyakan kabar suami yang baru saja sakit?
"Oke," kata Samudra dengan senyum pahit, "soal lima ratus juta itu... aku setuju."
Mata Luna langsung berbinar senang. "Benaran, sayang? Kamu memang suami terbaik! Aku..."
"Tapi," potong Samudra, "ada syaratnya."
Luna mengernyit. "Syarat apa?"
Samudra menatap mata istrinya dengan serius. "Aku mau kita punya anak."
Ekspresi Luna berubah drastis. Senyum cerahnya menghilang, digantikan oleh tatapan shock dan marah. "Apa? Anak lagi? Samudra, kita sudah pernah bahas ini!"
"Tadi mama datang ke kantor," kata Samudra dengan suara yang mulai bergetar karena emosi. "Dia menangis karena ingin cucu. Aku tidak bisa terus-terusan bohong pada orang tua kita, Luna."
"Aku tidak peduli dengan mama kamu!" bentak Luna sambil bangkit dari pangkuan Samudra. "Aku sudah bilang berkali-kali, aku tidak akan pernah mau hamil! Titik!"
"Kenapa?" Samudra juga bangkit, emosinya mulai meledak. "Kenapa kamu begitu egois? Kita sudah menikah hampir tiga tahun, Luna! Wajar kalau kita punya anak!"
"Egois?" Luna tertawa sinis. "Yang egois itu kamu! Kamu cuma mau kepuasan sendiri tanpa memikirkan perasaan istri! Aku tidak mau tubuhku rusak gara-gara hamil dan melahirkan!"
"Luna..."
"Dan aku tidak mau ribet ngurusin anak! Aku masih mau enjoy hidup, masih mau traveling, shopping, spa... Punya anak itu cuma bikin hidup terbatas!"
Setiap kata yang keluar dari bibir Luna bagaikan pisau yang menusuk hati Samudra. Dia menatap wanita yang sudah hampir tiga tahun menjadi istrinya itu dengan tatapan penuh kekecewaan.
"Jadi kamu lebih memilih uang lima ratus juta daripada memberiku seorang anak?"
"Yes!" jawab Luna tanpa ragu. "Uang itu lebih penting daripada anak yang cuma bikin repot!"
Keheningan menyelimuti ruang tamu. Samudra berdiri mematung, hatinya hancur berkeping-keping. Sementara Luna, masih menatapnya dengan mata berapi-api, seolah suaminya yang salah karena meminta hal yang wajar dari seorang istri.
"Oke," kata Samudra dengan suara yang sangat pelan, hampir seperti bisikan. "Aku mengerti."
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Samudra berbalik dan berjalan menuju ruang kerjanya di lantai dua. Langkahnya pelan tapi berat, seperti orang yang baru saja kehilangan segalanya.
"Samudra!" panggil Luna. "Jadi gimana soal lima ratus jutanya?"
Samudra berhenti di tangga tanpa menoleh. "Tidak ada uang. Tidak ada anak, tidak ada uang."
"Kamu gila!" teriak Luna. "Kamu pikir aku bakal nurut sama kemauan kamu? Dream on!"
Dengan amarah yang meluap, Luna mengambil tas dan kunci mobilnya. "Aku keluar! Dan jangan harap aku bakal berubah pikiran!"
Suara pintu yang dibanting keras membuat seluruh rumah bergetar. Samudra melanjutkan langkahnya menaiki tangga dengan hati yang remuk redam.
Senja, yang sejak tadi berdiri di sudut ruangan seperti patung, akhirnya bisa bernapas lega ketika Luna pergi. Air matanya menggenang, hatinya hancur melihat betapa Luna memperlakukan Samudra.
"Mas Samudra..." bisiknya, namun pria itu sudah menghilang di balik pintu ruang kerja.
Senja terduduk lemas di sofa, pikirannya berkecamuk. Dia tidak habis pikir bagaimana Luna bisa sekejam itu pada suami yang begitu sempurna. Samudra itu pria yang bertanggung jawab, pengertian, romantis, dan sangat mencintai istrinya. Dia juga kaya, tampan, dan punya masa depan cerah. Pria seperti itu adalah impian setiap wanita.
Tapi Luna... Luna lebih memilih uang daripada memberikan kebahagiaan pada suami dan mertuanya. Lebih memilih kebebasan pribadi daripada membangun keluarga yang harmonis.
"Bodoh," bisik Senja sambil mengelap air matanya. "Kak Luna itu bodoh. Dia punya berlian tapi malah dibuang demi kaca."
Senja menatap ke arah tangga tempat Samudra menghilang. Hatinya ingin sekali naik dan menghibur pria itu, tapi dia tahu itu bukan tempatnya. Dia hanya bisa berdoa semoga Samudra kuat menghadapi semua ini.
Yang tidak dia tahu adalah bahwa di ruang kerja lantai dua, Samudra duduk di kursi dengan kepala tertunduk, air mata mengalir di pipinya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia meragukan keputusannya menikahi Luna.
.