Amira, wanita cantik berumur 19 tahun itu di jodohkan dengan Rayhan yang berprofesi sebagai Dokter. Keduanya masih memiliki hubungan kekerabatan. Namun Amira dan Rayhan tidak menginginkan perjodohan ini.
Rayhan pria berumur 30 tahun itu masih belum bisa melupakan mendiang istrinya yang meninggal karena kecelakaan, juga Amira yang sudah memiliki seorang kekasih. Keduanya memiliki seseorang di dalam hati mereka sehingga berat untuk melakukan pernikahan atas dasar perjodohan ini.
Bagaimana kisah cinta mereka selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alin Aprilian04, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merasa sendiri
"Assalamualaikum warahmatullah, Assalamualaikum warahmatullah!"
Rayhan mengusap wajahnya dengan tangan. Untuk pertama kalinya ia melakukan shalat magrib berjamaah. Ia berbalik menatap ke belakang dimana ada seorang wanita yang terlihat cantik dengan balutan mukena berwarna putih. Ada rasa haru, sedih, bahagia bercampur aduk menjadi satu. Rasa harunya ia sudah memiliki pasangan hidup kembali dan memiliki tanggung jawab yang baru. Rasa sedihnya ketika ia mengingat kembali mendiang istrinya yang dulu selalu tersenyum setelah melakukan shalat berjamaah.
Rayhan memberikan tangannya pada Amira dan wanita itu menerimanya lalu menyalaminya. Rayhan pun menaruh tangannya di kepala Amira memanjatkan do'a disana. Karena ia tahu Amira tidak akan mau di sentuh olehnya apalagi di cium keningnya.
"Semoga jadi istri yang shalihah yaa."
Amira mengangguk cuek, lalu beralih dari sejadah menghindari Rayhan. Tangannya dengan cepat membawa handphonenya yang berada di atas nakas.
"Amira, taruh dulu handphonenya, kita murajaah dulu!"
"Amira cape, Mas. Hari ini... "
"Masih ingat kata Abi gak malam kemarin? Kalau lupa Mas ingetin lagi yaa!" ucap Rayhan memotong pembicaraan Amira.
Amira menghela nafas kesal, ia pun menghentakan kakinya menghampiri Rayhan dan kembali duduk di sejadahnya yang terletak di belakang Rayhan.
"Iyaaa, iyaaa ustadz Rayhan yang saya hormati. Saya mau baca Qur'an."
Rayhan mengulum senyum, ia seperti sedang mengajar seorang adik, bukan istri.
"Ini qur'annya." Rayhan memberikan Qur'an berwarna pink untuk Amira, sedangkan ia berwarna hitam.
Amira pun mulai membaca hafalan Qur'annya yang dulu pernah ia hafalkan. Karena ia dulu pernah mondok di pesantren yang mewajibkannya untuk menghafal Qur'an.
Begitupun juga dengan Rayhan yang background keluarganya merupakan keluarga yang agamis. Ia pun penghafal Al-Quran, namun ia tak memilih menjadi seorang Ustadz, melainkan seorang Dokter spesialis jantung.
Rayhan memperhatikan bacaan Qur'an Amira yang begitu indah terdengar. Ia menatap wajah cantik itu yang begitu khusuq membaca ayat demi Ayat suci Al-Quran. Sayang sekali dunia luar telah mencemari gadis kecil nan polos ini. Namun mungkin Allah menghadirkan Amira dalam hidupnya untuk ladang padahal baginya. Rayhan berjanji akan membuat Amira seperti dulu lagi, bahkan membuatnya lebih baik dan lebih cinta kepada Allah.
"Ulaaaaaika!" Rayhan membenarkan bacaan Qur'an Amira.
"6 harakat, Amira. Jangan lupa!"
"Iya, iya." Amira kembali membenarkan bacaannya.
Hingga sudah satu setengah jam Amira membaca Al-Quran bersama dengan Rayhan. Wanita muda itu pun menyerah, ia haus dan lelah ingin menyerah.
"Mas udah isya aku mau tiduran yaa, cape banget." Amira merentangkan tangannya lalu menyenderkan tubuhnya di dinding kamar.
"Jangan dulu tidur, setelah baca Al-Qur'an kita baca kitab!"
"Apa?" Amira membelalakkan matanya, "Udahlah, Mas. Amira kan udah ngaji dulu, kenapa harus baca kitab lagi sih!"
"Sebagai pasangan suami istri kita harus mempelajari Bab nikah. Agar kita tahu hak dan kewajiban masing-masing." Ujar Rayhan, ia menggeleng pelan melihat tingkah Amira. "Ini sudah peraturan wajib yang tidak bisa di bantah, Amira. Ini harus menjadi kebiasaan untuk kita."
"Tapi Amira cape, Mas. Hari ini Amira udah belajar masak, bantuin Bi Atin di dapur, beres-beres rumah. Badan Amiraa capee bangeett, Ya Allah!" Rengek Amira.
"Beneran cape?"
"Iya beneran, Mas. Masa bohong. Kalau Amira sakit gimana? Mau tanggung jawab!" Amira menatap kesal Rayhan.
"Yasudah hari ini gapapa. Tapi mulai besok dan seterusnya tidak boleh ada libur kecuali kamu sedang haid. Jika alasannya kamu cape, maka mulai besok gak usah lagi masak, bantuin Bi Atin atau apapun itu. Biar saja Bi Atin yang urus semuanya. Yang penting Mas mau kamu belajar ngaji dan murajaah setiap harinya."
"Ih ini rumah apa pesantren sih!" Gerutu Amira.
"Sudah Mas bilang Mas gak akan nuntut apa-apa dari kamu. Kecuali dua hal, jangan tinggalkan aturan Agama dan nurut apa perkataan Mas. Udah itu aja!"
"Iya tapi perintahnya banyak banget, jadi nurutnya juga harus banyak dan berat!" Amira melangkahkan kakinya menuju ranjang. Ia menutupi tubuhnya dengan selimut tak memperdulikan Rayhan yang masih duduk di atas sejadah.
Lagi-lagi Rayhan hanya bisa mengelus dada melihat tingkah istri kecilnya.
***
"Amira bangun!"
Rayhan mengusap-usap lengan istrinya tersebut, sudah sepuluh kali ia membangunkan Amira, namun wanita itu tak juga mau membuka mata.
Rayhan sudah sedikit kesal, ia mencuci tangannya lalu mengusapkannya pada kedua mata Amira. Amira langsung terperanjat bangun, wanita itu seketika terduduk dan menguceuk matanya yang masih sangat ngantuk.
"Apasih, Mas!" Kesalnya menatap Rayhan.
"Bangun, tahajud dulu!"
Amira kini menatap jam dinding yang berada di atasnya menunjukan pukul 03.00 dini hari. Matanya sangat susah untuk di buka, ia sudah lama tidak tahajud malam. Setelah kuliah di Paris ini mungkin pertama kalinya lagi ia tahajud.
"Ngantuk, Mas. Mas aja!" Amira kembali menutup tubuhnya dengan selimut. Namun Rayhan kembali membukanya.
"Tidak boleh ada bantahan. Ayo bangun ambil wudhu, Mas tungguin. Kalau dalam lima menit belum juga bangun Mas akan larang kamu keluar rumah selama satu Minggu!"
"Ish!" Amira seketika bangun dari tidurnya dengan terpaksa, dari pada ia di hukum tidak boleh keluar.
"Nyebelin banget sih!"
Dengan berat hati Amira melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, lalu berwudhu. Setelah itu ia memakai mukena dan menghantarkan sajadahnya. Di depannya sudah ada Rayhan yang sudah siap untuk menjadi imamnya. Pria itu memakai gamis berwarna hitam.
"Udah?" Rayhan menatap Amira ke belakang.
"Keliatannya?"
"Yasudah, tenangin dulu hatinya. Harus Ridha kalau shalat itu!" ujarnya lembut.
"Iyaa."
"Bener?"
"Iyaa ih, cepetan. Aku mau tidur lagi nih!" Rengek Amira menghentakkan kakinya.
"Kita gak akan tidur lagi sampai jam 7."
"What the fuck!"
"Astagfirullah!" Rayhan langsung berbalik menatap istri kecilnya yang baru saja berkata kasar. "Ngomong apa barusan?"
Amira mendongakan wajahnya menatap Rayhan yang jauh lebih tinggi darinya. Jari-jarinya saling meremas kuat karena melihat ekspresi marah suaminya.
"Lagian bikin peraturan itu suka nyiksa. Dari magrib sampai jam 8, terus bangun lagi jam 3 dan gak boleh tidur lagi. Peraturan apa itu? Kaya di pesantren aja, Cape aku!" protesnya.
"Tidur itu cukup 7 jam, Amira. Saya gak nyiksa kamu. Apalagi saya dokter, saya lebih tahu tentang kesehatan," Rayhan menatap marah wanita yang ada di depannya. Ia paling tidak suka mendengar seseorang berkata kasar apalagi itu istrinya sendiri.
"Yaa maksudnya kan kalau ibadah yaa masing-masing aja. Kalau Mas mau yaa silahkan, jangan maksa aku!"
"Astagfirullah, saya maksa kamu karena saya adalah suami kamu. Saya bertanggung jawab atas diri kamu dunia dan akhiratnya. Masih belum mengerti juga?" Tegas Rayhan.
Amira menundukan kepalanya, ia merasa takut juga melihat Rayhan yang seperti ini.
"Biasa aja dong ngomongnya, jangan sampai marah-marah gitu!"
"Saya gak marah-marah, saya cuman ngasih ketegasan sama istri saya sendiri. Kamu yang seharusnya jangan marah-marah. Saya ini suami kamu!"
Amira terdiam.
"Saya paling tidak suka mendengar perempuan bicara kasar. Perempuan itu harus lemah lembut." ujar Rayhan tegas, ia tak benar-benar marah. Hanya saja ia ingin memberikan Amira pelajaran agar tidak seperti itu lagi.
"Ayo cepat, sekarang kita shalat. Jangan di ulangi lagi bicara kasar kaya tadi!"
Amira pun mengangguk menurut, ia mengikuti gerakan demi gerakan shalat Rayhan yang menjadi imamnya. Shalat tahajud di lakukan hingga 6 rakaat.
Setelahnya Rayhan pun berdo'a, meminta untuk kebaikan rumah tangganya dan juga kebaikan dunia akhiratnya.
Namun setelah ia membalikkan wajahnya, betapa terkejutnya saat ia melihat istrinya menunduk dengan setetes air mata yang jatuh dari pipi istri kecilnya. Ia pun menangkup dagu Amira mengadahkan kepala wanita cantik itu, di lihatnya Amira kini menangis. Hatinya langsung luluh, ia paling tak bisa melihat seorang wanita menangis.
"Kenapa nangis?" tanyanya lembut.
Amira terdiam, ia menyeka air mata di sudut matanya.
"Karena Mas marahin kamu?"
Amira menggelengkan kepalanya.
"Maafin, Mas yaa. Mas tadi gak marah, Mas cuman mau ngasih pelajaran untuk kamu agar tidak mengulangi hal seperti itu. Kamu itu sekarang tanggung jawab, Mas. Selama kamu masih seperti ini, Mas merasa belum bisa mendidik istri Mas dengan baik. Mas ingin kamu berubah seperti dulu, menjadi Amira yang cantik dan lugu, penuh kelembutan dan penyayang, namun juga periang. Wallahi Mas tidak berniat menyakiti kamu, " Suara Rayhan melembut. Namun Amira tetap dengan tangisannya.
"Abi, Kak Rasyid, Ummi, sekarang Mas Rayhan, perasaan kalian terus marahin aku. Berasa gak ada yang sayang lagi di dunia ini!" Amira mengusap air matanya kasar.
"Mereka bukan gak sayang, Amira. Mereka cuman mau nasihatin kamu dan memberikan kamu pelajaran agar tidak mengulai lagi kesalahan yang sudah-sudah. Mana ada orang tua yang gak sayang sama anaknya."
"Mas juga seperti ini itu karena sayang sama kamu. Yaa meskipun Mas belum mencintai kamu, tapi Mas menyayangi kamu seperti adik Mas sendiri. Lagian kita kan masih saudara juga, jadi Mas pasti akan melakukan yang terbaik untuk mu. "
Amira menangis sesenggukan. Entah kenapa akhir-akhir ini ia merasa sendiri. Rumah orang tuanya memang masih di Bandung, namun memang cukup jauh jika harus bolak-balik setiap hari. Ia pun sedih karena teringat akan Noah, karena biasanya ia berkomunikasi dengan pria itu setiap hari.
"Sudah jangan nangis yaa!"
Rayhan memeluk Amira, tanpa sadar Amira pun membalas pelukan Rayhan.