Ivana Joevanca, seorang wanita ceria dan penuh ide-ide licik, terpaksa menikah dengan Calix Theodore, seorang CEO tampan kaya raya namun sangat dingin dan kaku, karena tuntutan keluarga. Pernikahan ini awalnya penuh dengan ketidakcocokan dan pertengkaran lucu. Namun, di balik kekacauan dan kesalahpahaman, muncul percikan-percikan cinta yang tak terduga. Mereka harus belajar untuk saling memahami dan menghargai, sambil menghadapi berbagai tantangan dan komedi situasi yang menggelitik. Rahasia kecil dan intrik yang menguras emosi akan menambah bumbu cerita.
“Ayo bercerai. Aku … sudah terlalu lama menjadi bebanmu.”
Nada suara Ivy bergetar, namun matanya menatap penuh keteguhan. Tidak ada tangis, hanya kelelahan yang dalam.
Apa jadinya jika rumah tangga yang tak dibangun dengan cinta … perlahan jadi tempat pulang? Bagaimana jika pernikahan ini hanyalah panggung, dan mereka akhirnya lupa berpura-pura?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosee_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 - Drama Kantor: Mainan Baru
Padahal aku hanya ingin menghirup udara segar, batin Ivy seraya menghela nafas pelan. Mendengar nada suara tersebut, dapat dipastikan ini adalah sebuah masalah.
Memang aneh karena ia terlalu tenang selama bekerja di sini, tapi sekarang seseorang sudah muncul untuk menunjukkan taringnya?
"Sejak dulu tuan Calix tidak pernah mendapatkan sekretaris pribadi yang bisa diandalkan," ujar orang itu cukup ketus.
Berbalik, Ivy mengatur ekspresi wajahnya agar tersenyum dengan paksa. "Maaf?"
Kau sedang memarahiku? Atau menyindirku? Begitu maksud ekspresi wajahnya sekarang.
"Kau Ivana yang masuk ke sini karena koneksi, kan? Di hari pertamamu saja kau berani menggoda tuan Calix!"
Ahh ... ia sudah ingat sekarang. Wanita ini adalah wanita yang sama pada waktu itu. Wanita yang diperingati dengan keras oleh Audriel, Mia, dan Daniel. Trevor juga pernah memintanya untuk menghindari wanita ini atau akan terjadi keributan yang tidak disukai oleh Calix.
Heh? Rasanya seperti mainan mahal yang mendekat untuk dirusak. Bukan salahnya jika wanita itu yang mendekatinya lebih dulu, bukan? Kebetulan sekali ia sedang bosan.
Angela Davis. Ivy membaca nama itu dari ID card yang tergantung di lehernya. Wanita cantik itu memiliki jabatan yang lebih tinggi darinya. Seorang — manajer pemasaran? Lalu mengapa wanita itu memiliki rumor buruk yang katanya ingin sekali berada di posisi sekretaris pribadi hingga mengganggu banyak sekretaris lain?
Ivy tersenyum tipis. Jadi ini bukan persaingan posisi, ya? Melainkan ajang perebutan seorang pria.
"Ah, rupanya semua orang sudah tahu," gumam Ivy sedikit menampilkan senyum — menggoda wanita itu dengan sedikit provokasi. Senyuman itu berhasil mengundang kekesalan di wajah Angela.
"Kau bangga dengan itu? Ada orang lain yang lebih berkompeten, tapi CEO malah memilih wanita hanya mengandalkan wajahnya?!" Semakin tajam saja mulut wanita itu berkicau.
Ternyata dia sadar aku cantik.
"Mau bagaimana lagi? Aku juga tidak bisa menolak dengan wajah ini." Sambil menyentuh pipinya, seolah tersipu malu. Bukannya takut, Ivy semakin membuatnya terprovokasi.
Angela mendecih, kedua tangannya terlipat di depan dada. “Kau pikir bisa bertahan lama di sini hanya karena wajahmu? Perusahaan ini bukan tempat bermain-main, Nona Ivy.”
Ivy mendekat satu langkah. Ia tahu, untuk menghadapi orang seperti Angela, mundur hanya akan membuatnya diinjak-injak. “Kalau begitu, kau mau mengajariku cara bertahan, Nona Davis? Kau kan lebih berpengalaman,” ucapnya lembut—terlalu lembut untuk disebut tulus. Ada sedikit jenaka di wajahnya.
Angela menahan diri agar tidak mendengus kesal. “Kau tidak tahu apa yang kau hadapi, Ivana. CEO itu … dia bukan pria yang bisa kau kendalikan. Dan kalau kau mengira posisi sekretaris itu aman, kau keliru besar! Semua orang bisa diganti kapan saja.”
"Kalau begitu tunggu saja aku dikeluarkan," jawab Ivy acuh.
Suasana rooftop itu mendadak berat. Angin berhembus kencang, membuat helai rambut keduanya berantakan, namun tidak ada yang bergeser dari tempatnya.
Buku jari Angela mengepal di samping tubuhnya, menahan emosi yang ingin meledak dalam dirinya. Baru kali ini ia menemukan seseorang yang berani melawan kata-kata peringatan darinya.
Mengatur nafasnya, Angela lantas tersenyum paksa seolah kejadian barusan hanyalah angin lalu. "Baiklah! Semoga kau bisa bertahan cukup lama di sini, Ivy." Angela menunduk sedikit mendekat, berbisik seolah memberikan ancaman terakhir.
Ivy hanya tersenyum disusul dengan kekehan pelan. "Kuharap juga begitu. Kurasa hari-hariku di sini akan semakin … menarik."
Menatap tajam, Angela tanpa kata-kata tambahan lain, melangkah pergi meninggalkan Ivy sendirian. Wanita pasti kesal setengah mati, kan?
Namun begitu Angela sudah hilang dari pandangan, senyum Ivy berubah dingin dan tajam. “Kalau dia pikir bisa membuatku jatuh dengan kata-kata murahan begitu — dia belum pernah melihatku mencekik orang."
...----------------...
Nyonya, silahkan pulang lebih dulu. Saya sudah menghubungi sopir untuk menjemput Anda. Tuan akan pulang terlambat.
Ivy hanya menatap pesan masuk dari Trevor di ponselnya itu tanpa membalasnya.
"Terlambat, ya ..." gumam Ivy seraya menghela nafas rendah. Ia sudah tahu tanpa diberitahu saat sopir dari rumah datang menjemputnya. Padahal bukan hal yang baru, namun mendadak hatinya dilanda kesedihan.
Ivy lantas hanya terdiam di kursi penumpang sambil menimbang-nimbang sesuatu.
"Hentikan mobilnya di dekat restoran Hevelius," perintahnya pada sopir.
Sopir itu sedikit ragu awalnya, namun akhirnya menjawab, "Baik, Nyonya."
Kebetulan sekali restoran itu searah dengan jalan pulang. Mengenai restoran, tempat itu menjadi tempat pertemuan Calix dengan desainer interior itu. Ia melihatnya dari jadwal Calix.
"Di sini saja," pinta Ivy kemudian seraya membuka sedikit kaca jendelanya. Jaraknya tidak terlalu jauh, tapi juga tidak terlalu dekat.
"Anda menginginkan sesuatu, Nyonya? Biar saja keluar membeli —"
"Tidak usah. Aku ingin melihat seseorang saja."
Seseorang yang saat ini mulai ia khawatirkan perasaannya.
Ivy sedikit menurunkan kaca jendela, cukup untuk melihat jelas ke arah pintu restoran.
Dari balik kaca mobil, ia melihat Calix berdiri di dekat meja, menjabat tangan wanita itu singkat. Tidak ada senyum lebar, hanya anggukan kecil dan beberapa kata terakhir sebelum ia mengambil map berisi dokumen.
Wanita itu mengangguk sopan, lalu duduk kembali sambil merapikan barang-barangnya. Sementara itu, Calix berbalik menuju pintu keluar.
Langkahnya mantap, posturnya tegak. Bukan langkah seseorang yang baru saja menghabiskan waktu intim — melainkan langkah seorang pria yang baru saja menyelesaikan urusan pekerjaan.
Pintu restoran terbuka. Calix muncul, menarik mantel dari lengannya, lalu melangkah turun ke trotoar. Udara malam menerpa wajahnya. Ia berbicara singkat dengan Trevor yang masih ada bersamanya, lalu melangkah ke arah mobil hitam yang sudah menunggunya di sisi jalan.
Ivy menunduk sedikit, berusaha tidak terlihat dari luar. Tapi hatinya berdegup lebih kencang, seolah takut jika tatapan Calix menangkapnya di sini.
Saat Calix sudah hampir mencapai mobilnya sendiri, Ivy menghela napas panjang. “Aku terlalu berlebihan,” gumamnya, tapi entah itu ucapan lega atau justru sebaliknya.
Sopirnya menatapnya sekilas melalui kaca spion. “Kita pulang, Nyonya?”
Ivy hanya mengangguk pelan, memalingkan wajah dari restoran. Tapi sebelum mobil bergerak, ia sempat melirik sekali lagi ke arah Calix yang kini berdiri di tepi jalan, menunggu pintu mobilnya dibuka.
Tidak ada senyum, tidak ada ekspresi lembut. Hanya ekspresi seperti biasa — dingin, datar, dan tidak bisa ditebak.
"Iya, kita pulang." Jangan sampai Calix tiba lebih dulu dan memergokinya juga pulang terlambat.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
respon Calix yg membuatku terdiam thor.
Jangan macam² ya Calix, awas memang km
mungkin si ivy klo melek jg bakal meleyot ya /Applaud/emhh manisnya abang cal/Kiss/
semangat kaka sehat selalu