NovelToon NovelToon
Bayang-bayang Yang Tidak Pergi

Bayang-bayang Yang Tidak Pergi

Status: tamat
Genre:Toko Interdimensi / Tamat
Popularitas:416
Nilai: 5
Nama Author: Made Budiarsa

Bayang-Bayang yang Tidak Pergi adalah sebuah novel puitis dan eksistensial yang menggali luka antar generasi, kehancuran batin, dan keterasingan seorang perempuan serta anak-anak yang mewarisi ingatan dan tubuh yang tidak pernah diminta.

Novel ini terbagi dalam tiga bagian yang saling mencerminkan satu sama lain:

Bagian Pertama, Orang yang Hilang, mengisahkan seorang perempuan yang meninggalkan keluarganya setelah adik perempuannya bunuh diri. Narasi penuh luka ini menjelma menjadi refleksi tentang tubuh, keluarga, dan dunia yang ia anggap kejam. Ia menikahi seorang pria tanpa cinta, dan hidup dalam rumah penuh keheningan, sambil mengumpulkan kembali kepingan-kepingan jiwanya yang sudah dibakar sejak kecil.

Bagian Kedua, Bunga Mawar, Kenanga dan Ibu, melanjutkan suara narator laki-laki—kemungkinan anak dari tokoh pertama—yang menjalani rumah tangga bersama seorang istri polos, namun hidup dalam bayangan cinta masa lalu dan sosok ibu yang asing. Kenangan, perselingkuhan, dan percakap

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Made Budiarsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Anggrek liar

Di suatu hari dan musim yang tak disebutkan namanya,

Pada sebatang pohon albesia tua yang telah rapuh dan berlubang karena serangga,

Tumbuhlah anggrek liar—diam-diam, tanpa keluhan, tanpa dendam kepada takdir.

Ia tumbuh begitu saja, merambat lembut di batang yang lapuk.

Mekar hanya sekali dalam setahun,

Namun saat itu tiba, orang-orang datang, menatapnya dengan takjub,

Memuji keindahannya, memotretnya,

Dan tanpa sadar melupakan pohon tua yang menopangnya.

Tapi bukankah justru karena luka dan lapuknya batang itu,

Anggrek bisa tumbuh, menancapkan akarnya,

Dan hidup dalam keteduhan yang rapuh?

Mereka satu kesatuan.

Mereka indah bukan karena sempurna,

Melainkan karena saling melengkapi dalam sunyi—

Yang satu diam menanggung beban,

Yang lain mekar sebagai harapan.

Dan bukankah...

Justru karena mereka bersama,

Mereka hidup selamanya?

Ibu pernah memberiku puisi seperti ini. Aku ingat sekarang dan tahu ibu membuatnya sebelum memperkenalkanku dengan Lara Santi, cucu dari pemilik toko bunga yang hidup di pinggir jalan.

Ibu sosok yang bingung, tapi apa mungkin aku yang sebenarnya bingung?

Karena pertunangan itu, aku ingat adegan berbincang kami di jembatan kecil yang di apit pohon-pohon Willow. Gadis itu sebelumnya bernama Yuna, kemudian mengubah namanya menjadikan Lara santi.

Saat itu kami masih remaja. Dia saat itu memakai kebaya merah muda sama persis dengan apa yang aku lihat sekarang. Rambutnya di gulung dengan ongar emas yang sering bergetar saat dia menoleh. Dia cantik, menawan, suci dan aku seperti tidak boleh memilikinya.

Wajahnya sering terlihat ceria, tapi mengandung kesedihan yang dalam, dan selama hidup denganku, aku tidak pernah tahu bagaimana penderitaannya.

Dia mengayunkan kakinya dan di tangannya ada setangkai bunga mawar merah marun yang perlahan-lahan kelopak-kelopaknya di cabut lalu dibiarkan terhanyut di sungai.

“Kau suka bunga?”

“Tentu saja. Aku lebih suka jika kau yang memberikannya. Mengapa kau berkata seperti itu?” dia menatapku dengan tajam seperti ingin tahu apa yang ada di dalam pikiranku. “Kau akan memberi bunga untukku? Cepat berikan! Aku bisa melepaskan kelopak-kelopaknya.”

“kau jahat sekali.”

Dia tertawa cekikikan kemudian menghela nafas. “Aku hanya bercanda, Cahaya kecil.”

“Aku tidak suka di panggil seperti itu.”

“Mengapa? Bukankah itu terdengar indah?”

“Aku bukan anak kecil lagi.”

Gadis itu tertawa lagi. “Ok, ok, aku tidak akan mengulanginya lagi.”

Namun meski pun dia berkata seperti itu, sampai sekarang dia masih memanggilku dengan sebutan itu. Aku benci tapi perlahan-lahan mulai terbiasa.

Saat itu cahaya matahari sedang mendung, namun mengapa Lara santi begitu bercahaya? Aku tidak tahu, aku sampai sekarang juga tak tahu. Apa Lara santi memiliki tubuh yang istimewa? Apa pun itu, aku telah terikat dengannya saat itu, ketika dia berkata, “Aku calon istrimu, jadi jangan kecewakan aku.”

Sebenarnya aku banyak mengecewakannya dan bahkan memiliki hubungan gelap dengan ibu guru yang dekat dengannya. Aku merasa berdosa dan ingin memutuskan semua ini, namun wajah Lara Santi begitu bercahaya. Ketika dia memakai kebaya, rok atau yang lainnya, ada kekuatan magis yang menarikku.

Aku teringat belum pernah memberikan Mawar. Dia tidak kecewa tapi tidak juga memohon.

Dan sekarang aku berdiri di bawah, sebagai gelandang, tidak sanggup berbicara ketika melihatnya berdiri di depan gerbang, terdiam. Matanya yang dingin menatapku. Apa yang akan dilakukan?

Dia memegang nampan yang berisi dua canang ceper dengan dua dupa yang di nyalakan. Asapnya menggelung-gelung pelan, mengelilinginya membuatnya tambah cantik.

Aku kotor dan dia sangat bersih. Aku lumpur yang disukai kerbau sementara dia angsa putih yang terbang mengelilingi langit. Ibu, mengapa kau memberikanku seekor angsa yang tidak akan dan pernah membawa lumpur ke langit? Dan mengapa kau menumbuhkan anggrek liar di batangku yang hampir roboh? Apa kau benar-benar peduli denganku, atau hanya memperpanjang penderitaku di dunia ini?

Aku mengigil kedinginan dan ingin pergi. Angsa tidak pernah mau menyentuh lumpur yang kotor.

Aku mestinya pergi sebelum gerbang itu terbuka, tapi sekarang sangat terlambat. Apa yang harus kukatakan?

Namun Lara santi menghela nafas. “Cahaya kecil... Kau nakal lagi.”

Aku tidak bisa berkata apa-apa.

“Apa yang kau lakukan kemarin dan di mana kau? Kau tidak meminta izin dariku.”

Lara tidak menunggu jawaban dan pergi ke tempat dua patung Dewi, meletakkan Canang pada masing-masing patung Dewi, yang satunya sudah hancur. Dia lalu mendekatku. “Mari, di luar Dingin.”

Aku ingin menolak, tapi tidak bisa. Aku terhipnotis olehnya.

Dia menariku ke ruangan makan, menyuruhku duduk dan pergi ke dalam. Tidak lama datang membawa secangkir teh.

“Kau kedinginan, sedikit teh bisa menghangatkanmu.” Dia berkata sembari meletakkannya.

Aku menatap teh yang sedikit kekuningan kemudian menghela nafas. Tidak ada wajah di sana dan sangat kabur. Aku lalu menatap wajah Lara Santi dan tidak tahan dengan ekspresinya yang lembut. Segera aku berkata, “Kita tidak bisa hidup seperti ini lagi. Lara, Jika kau membenciku, kau bisa pergi dan aku tidak akan melarangmu. Kau pasti sangat membenciku bukan?”

“Cahaya kecil...”

“Jangan panggil aku seperti itu lagi. Ingat, aku benci di panggil seperti itu. Aku sudah dewasa.” Aku sedikit membentak.

Wajah Lara sedikit terkejut. Menelan ludahnya kemudian berkata, “Apa yang kau katakan?”

Dia berdiri kemudian pergi ke kamar, meninggalkanku dan tehnya.

Mulai saat itu, dia menjadi sering diam.

Hingga beberapa hari dan aku tidak tahu harus melakukan apa. Hingga setelah enam hari lamanya aku tidak tahan dan tanpa sadar memeluknya di malam harinya. Aku berkomitmen tidak melakukannya, tapi aku benar-benar kesulitan menolaknya.

Saat aku terbangun, kami sangat dekat. Aroma kami bersatu. Aku merasa aman dan nyaman.

Lara berkata, “Hanya perlu menjaga pucuk, maka bunga yang indah akan mekar. Cahaya kecil, aku tidak ingin pergi.”

...----------------...

Apa yang di katakannya?

Aku memikirkannya dan saat aku libur, Lara mempersiapkan beberapa bekal dan memasukkannya ke dalam tas.

“Kita akan pergi. Apa yang ingin kau bawa?”

“Kita akan piknik?”

“Iya, apa kau tidak suka?”

“Bukan begitu, hanya saja kau aneh hari ini. Kau marah denganku setelah aku berkata kasar kepadamu?”

“Mengapa aku marah?”

Dia mempersiapkan Roti, termos air hangat, beberapa piring dan buah-buahan.

Kemudian dia ikut sarapan denganku. Menatapku kemudian tersenyum. “Kau tetap cahaya kecilku.”

Aku ingin marah lagi, tapi sudahlah...

Kami makan kemudian bersiap-siap pergi. Hari ini aku dan Lara berlibur. Kami akhirnya bisa liburan bersama. Aku masih ingat liburan Minggu lalu di desa dan membuatku di marahi atasan. Aku ingin liburan yang singkat. Lara setuju sambil berkata, “Iya, ini singkat. Kita hanya menghabiskan waktu sebentar dan tidak jauh dari rumah.”

Kami kemudian pergi dan aku lihat patung di bawah pohon terlihat kabur dengan debu-debu sisa pembakaran dupa.

Menaiki bus dan melihat pemandangan kota beberapa saat, akhirnya kami berhenti di halte bus kota.

Memandang sekitar, aku tahu tidak jauh dari sini adalah rumah masa kecilku. Apartemen, aku tinggal di apartemen ketika kecil.

“Kita akan pergi ke mana?”

“Di bawah pohon willow. Ayo, cahaya matahari sangat indah.”

Lara berjalan lebih cepat.

Aku mengikutinya dari belakang.

Benar, kami pergi ke tempat di mana ibu membesarkanku. Aku diam menoleh apartemen yang tinggi di seberang jalan. Di salah satu unitnya, aku sering diam menatap hamparan pohon willow dan kanal yang perlahan-lahan mengalir. Ibu dan ayah yang seperti bukan apa-apa bagiku tidak pernah bertanya mengapa aku sering diam, mengapa aku tidak seperti anak-anak lainnya.

Di jalan sebelah kanan ada deretan pohon willow yang masih hijau. Mereka tampak sama sepuluh tahun yang lalu. Kemudian ada toko bunga di sebelah selatannya.

Ini toko bunga nenek Lara Santi. Sebelumnya ketika aku kecil, toko ini tutup tapi di buka kembali. Ibu senang dan sering membeli bunga sedap malam di sana. Dia berkata, “Ibu sangat suka bunga ini.” Hanya itu alasan yang kudengar darinya.

Lara melihat ke arah toko yang buka. Dia melihat neneknya dan izin untuk mampir. Aku membiarkannya.

Menunggu sangat membosankan, maka aku perlahan-lahan berjalan.

Suara mobil yang berjalan menyamarkan langkah kakiku.

Aku berjalan di antara pohon-pohon besar kemudian berhenti melihat tiang lampu jalan. Di sana masih ada beberapa tangkai bunga sedap malam. Seorang konsisten menggantinya. Aku tidak tahu siapa, tapi menunggu seorang menggantikan bunga ini adalah hal yang sering kulakukan. Mengapa dia meletakkannya di sini? Apa ada kenangan yang indah?

Aku menoleh ke arah apartemen. Pintu di buka, jelas itu bukan ayah bahkan ibu. Itu hanya bekas rumah kami yang penuh kedinginan.

Menatap jembatan kecil, angin tiba-tiba berhembus. Di jembatan kecil itu aku sering memancing. Sekarang di sana kosong namun aku samar-samar melihat seseorang wanita cantik bergaun putih duduk menggendong bayi di pangkuannya.

Itu ilusi dan kembali kosong.

Berjalan kembali, suara lonceng angin terdengar. Lara keluar dan berjalan mendekatiku dengan setangkai bunga mawar. Gembira mendekatiku. “Ayo kita piknik.”

Kami berjalan pelan di jembatan kecil kemudian duduk di tengah-tengahnya. Lara meletakkan tas di sampingnya. Kami diam menikmati pemandangan di sana. Aku teringat lagi saat kami duduk bersama untuk pertama kalinya. Saat itu Lara memakai kebaya merah muda dengan kamen batik coklat yang mempesona. Rambutnya di gulung dengan ongar membuatku merasa dia sangat cantik.

Waktu sudah berlalu, dan kini dia memakai rok Putih panjang dengan rambut yang masih di gulung. Aroma wanginya menyebar ke dalam hidungku. Aku merasa tenang. Aku merasa damai.

Dia mengeluarkan termos air hangat dan menyeduh dua teh. Setelahnya memberiku satu sembari berkata, “Kau harus lebih peka.”

Apa yang di maksudnya?

Kami minum teh bersama.

“Aku dengar minum teh harus memakai perasaan bukan hanya lidah saja, dengan begitu kau akan merasakan teh yang lebih dalam.”

Apa karena itu dia mengatakan itu sebelumnya?

Mungkin itu benar adanya. Membicarakan teh, aku selalu melihat ibu minum sendirian di balkon. Aku hanya diam menatapnya dan berpikir mengapa hanya minum teh membuatnya terlihat lebih hidup? Saat ibu menyadarinya, dia memanggilku cahaya kecil.

Aku meminum teh untuk menghilangkan ilusi kemudian menatap pipi Lara Santi yang berwarna kuning keemasan. Mengapa dia sangat cantik? Mengapa dia terlihat lembut? Dan dia terlihat suci.

Menyadarinya aku tidak bisa memandang bibirnya. Siapa yang pernah menciumnya? Apa aku layak mencium bibirnya itu sekarang?

Lara menyadarinya dan menatapku. “Kenapa? Ada yang aneh?”

“Tidak ada.”

Aku kembali meminum teh.

Lara sedikit tersenyum kemudian meminum tehnya.

“Mengenai apa yang kau katakan satu minggu yang lalu aku tahu mengapa kau mengatakannya.”

“Kau marah?”

Lara sedikit mengangkat wajahnya. “Tidak... Aku tidak marah.”

Dia memegang erat cangkir putih di tangannya.

Daun-daun pohon Willow melambai-lambai, dan kesibukan jalan terus berlanjut, hanya aliran air yang menjaga ritmenya.

“Tapi...sebab itu aku membawamu ke sini.” Lara tiba-tiba menoleh kepadaku. Dua tatapannya seperti lubang yang penuh warna tapi memusingkan.

Tatapannya membuat suasana lenyap seketika seolah ada kami saja di dunia ini. Mengapa? Mengapa Lara Santi begitu unik? Aku tidak pernah bertemu wanita seperti ini selain dia.

Ada banyak wanita yang memiliki tubuh yang lebih berisi, montok dan payudara yang besar, namun hanya sedikit yang memiliki aura sesuci ini. Aku belum menyentuhnya lebih dalam.

Kemudian dia tersenyum lalu meminum tehnya lagi.

Aku ikut melakukannya.

Tidak lama angin menyapa dan aku kembali menatap pipi Lara dan langsung tertuju pada bibirnya.

Itu lama sekali dan Lara kali ini tidak menoleh. Dan tiba-tiba aku bertanya, “Lara... Bolehkah aku mencium bibirmu?”

Aku tidak tahu mengapa itu muncul begitu saja. Lara dan aku terkejut. Pipi Lara memerah tapi kemudian tertawa. “Lihat, betapa malunya kau. Kau seperti orang yang tidak pernah merayu wanita; kata-katamu benar-benar polos. Aku tidak menyangka akan mendengarnya hari ini. Tapi jujur saja, itu menyenangkan.”

Apa pipiku merah, aku tidak peduli. Dan ini yang pertama kalinya aku merasa malu di hadapan wanita.

“Jika kau mau... Silakan, apa kau berani melakukannya?”

Dia memandangku dengan tatapan menantang. Aku tidak mau kalah.

“Kenapa tidak?”

“Ayo, ayo cahaya kecil, lakukan. Lakukan jika kau bisa.”

Aku kesal melihat wajah kemenangannya. Menghela nafas dan menatapnya balik. Ada angin yang lewat di antara kami.

Saat wajahku mulai mendekat, wajah senang Lara berubah serius. Dia tidak mundur tapi wajahnya terus berubah.

Semakin mendekat, aku lihat dia semakin indah. Lebih dekat lagi, kulit Lara Santi benar-benar lembut dan bercahaya seperti bayi. Aku ingin menyentuhnya. Dan lebih dekat... Aku merasakan embusan nafasnya. Lalu akhirnya bibir kami tersentuh, hanya tersentuh. Tidak ada nafas yang terasa di antara kami. Bibirnya lembut dan dua tatapan kami bertemu. Mengapa terasa nyaman sekali? Mengapa aku merasa damai?

Angin berhembus lagi. Aku menikmatinya sebelum akhirnya melepaskannya.

Kami canggung. Lara meletakkan cangkirnya, meremas gaunnya lalu membuang muka. Wajahnya sekarang seperti tomat. Sementara aku menunduk menatap aliran air. Kami malu, tapi itu terasa sangat nyaman.

“Bagaimana rasanya?” Lara bertanya setelah diam sebentar. Dia berusaha mengangkat wajahnya menatapku. Dan perlahan-lahan wajahnya di penuhi senyuman.

“Aku tidak mengerti, tapi rasanya nyaman.”

“Nyaman? Syukurlah. Kupikir tidak.”

“Mengapa tidak?”

“Tidak apa-apa.”

Lara segera mencari sesuatu dalam tas dan sekejap mengeluarkan dua roti Sandwich. Dia mengulurkan satu untukku. “Untukmu, Suamiku.”

“Aku lebih benci mendengar panggilan itu.”

Aku mengambilnya dan sedikit memakannya.

“Tidak apa-apa jika kau membencinya.”

Kami makan Sandwich dan menikmati pemandangan beberapa saat. Tidak ada percakapan kemudian dan suasananya di penuhi keheningan.

Kami melihat matahari terbenam dan menghabiskan perbekalan.

Lara berdiri. “Sudah saatnya kita pulang.”

“Cahaya kecil, apa kau masih menginginkanku pergi?”

Aku tidak menjawab, dan Lara hanya tersenyum. “Kau harus bertemu dengan nenek Sekarang.”

Dengan begitu, dia menarik tanganku untuk pergi dari sana.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!