Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harga diri yang tersisa..
Hari itu hujan turun tipis. Udara terasa dingin, tapi suasana di kontrakan Nayla jauh lebih dingin lagi. Keheningan yang biasa menyelimuti rumah kecil itu mendadak pecah oleh suara ketukan keras di pintu.
Tok. Tok. Tok.
Nayla yang sedang duduk di lantai sambil melipat pakaian kecil untuk bayinya terlonjak kaget. Ia mengenali suara ketukan itu. Suara yang terlalu kasar untuk sekadar permintaan masuk. Ia menghela napas, beranjak membuka pintu dengan hati-hati.
Tania berdiri di depan pintu dengan mantel tebal dan wajah penuh kesal.
"Aku sudah cukup sabar, Nayla," katanya tanpa basa-basi. "Sampai kapan kau akan menunda-nunda menandatangani surat cerai itu? Aku dan Raka ingin hidup tenang."
Nayla menatapnya datar. Tidak ada lagi luka yang terasa perih. Tidak juga amarah yang membuncah. Ia sudah melewati masa-masa terguncangnya. Sekarang, ia hanya merasa lelah.
"Aku tidak menunda apa pun," jawab Nayla pelan. "Semuanya sedang diproses sesuai prosedur hukum."
"Tapi kenapa lama sekali? Kau cuma mau mempermainkan kami, ya?" bentak Tania.
Nada tinggi itu mulai menarik perhatian. Beberapa tetangga terlihat mengintip dari balik jendela. Siska, yang mendengar keributan dari dalam kamarnya, segera keluar.
"Tania, tolong jaga sikap. Ini kontrakan orang. Kalau kamu mau bicara, jangan dengan teriak-teriak seperti ini," kata Siska tegas.
"Aku punya hak! Aku calon istrinya Raka!" bentak Tania, menatap Siska tajam.
"Belum. Kamu bukan siapa-siapanya Raka sebelum surat cerai itu selesai. Jadi tolong hormati Nayla," ujar Siska, mulai kehilangan kesabaran.
Tania makin menjadi-jadi. Ia mendorong pintu rumah Nayla agar terbuka lebar. "Kalau kau memang sudah tidak mau dengan Raka, kenapa tidak kau selesaikan sekarang juga?"
Nayla berdiri diam. Matanya menatap lurus pada wanita yang mengandung anak suaminya. Tapi tak ada sedikit pun rasa ingin membalas. Justru, rasa iba yang muncul di hatinya.
"Kau datang ke sini hanya untuk mempermalukan dirimu sendiri, Tania," ujar Nayla tenang. "Aku sama sekali tidak pernah menghalangi kalian. Tapi aku juga berhak menyelesaikan semuanya dengan cara yang baik."
Tania hendak membuka mulutnya lagi, tapi tiba-tiba sebuah tangan menampar pipinya dengan keras.
Plak!
Siska berdiri di depannya dengan wajah memerah.
"Itu untuk sikapmu yang keterlaluan!" seru Siska. "Kau pikir dengan teriak-teriak di depan rumah Nayla, kau bisa terlihat lebih terhormat? Tidak! Kau cuma menunjukkan betapa rendahnya harga dirimu. Kau lupa siapa dirimu?? Dasar pelakor!! Kenapa harus bangga dengan mengandung anak dari orang yang masih beristri?"
Warga sekitar mulai berkerumun. Beberapa ibu-ibu mulai ikut bersuara, menyindir Tania dengan tatapan menyakitkan.
"Ngapain pamer-pamer hamil anak orang yang belum resmi cerai?"
"Memaksa perempuan yang masih berstatus istrinya buat tandatangan surat cerai? Udah enggak punya malu ya?"
Wajah Tania merah padam. Ia tak lagi bisa berkata-kata. Dadanya naik turun menahan amarah dan malu. Ia menatap Nayla dengan pandangan menusuk sebelum akhirnya berbalik dan pergi dari sana, disambut tatapan tajam para tetangga.
Nayla menghela napas. Tubuhnya gemetar, bukan karena takut, tapi karena terlalu banyak beban yang ia pendam. Siska mendekat dan memeluknya erat.
"Kamu nggak sendiri, Nay," bisik Siska. "Kami di sini buat kamu. Dan bayimu."
Air mata Nayla mengalir pelan. Untuk pertama kalinya setelah semua luka, dia merasa... dilindungi.