Joi, siswa SMA kelas 2 yang cuek dan pendiam, memiliki kemampuan indigo sejak kecil. Kemampuannya melihat hantu membuatnya terbiasa dengan dunia gaib, hingga ia bersikap acuh tak acuh terhadap makhluk halus. Namun, pertemuan tak terduga dengan Anya, hantu cantik yang dikejar hantu lain, mengubah kehidupannya. Anya yang ceria dan usil, terus mengikuti Arka meskipun diusir. Pertikaian dan pertengkaran mereka yang sering terjadi, perlahan-lahan mencairkan sikap cuek Joi dan menciptakan ikatan persahabatan yang tak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Joi momo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Untuk apa
Sinar matahari pagi menyinari wajah Anya yang tertidur pulas di samping Joi. Rambutnya yang panjang terurai di atas bantal, kulitnya tampak begitu pucat dalam cahaya pagi. Joi, dengan lembut melepaskan lengan Anya yang melingkar di pinggangnya. Ia terbangun, merasakan sentuhan dingin yang tak biasa dari kulit Anya. Sebuah perasaan aneh mencengkeram hatinya.
Ia menatap langit yang mulai terang, warna jingga dan merah muda menghiasi cakrawala. Kenangan malam sebelumnya kembali berputar di kepalanya: kehangatan—atau lebih tepatnya, rasa dingin yang menyenangkan—dari tubuh Anya, bisikan-bisikan lembutnya, dan janji-janji yang mereka ucapkan di bawah cahaya bulan. Rasanya seperti mimpi, atau mungkin lebih tepatnya, sebuah ilusi yang begitu nyata.
Perlahan, Joi bangkit dan mengangkat Anya dengan lembut membawanya ke tempat tidur,
Tidak di sangka setelah ciuman itu mereka terus bicara sampai tertidur di ters itu.
Tiba tiba Joi merasakan sebuah kehampaan yang dalam. Anya, kekasihnya, hanya sebuah ruh, sebuah hantu. Pikiran itu membuatnya merasa tak lengkap. Ia berpikir, jika saja ia tahu bahwa malam itu akan menjadi begitu indah, mungkin ia akan rela menjadi hantu juga, untuk selamanya bersama Anya. Ia ingin melayang sebagai ruh, atau menjadi hantu yang selalu menemani Anya, menjaganya di dunia ini. Pikiran itu terasa gila, namun begitu kuat dalam hatinya. Ia menghela nafas panjang, menatap wajah pucat Anya sekali lagi sebelum akhirnya memutuskan untuk memulai hari yang baru, dengan kenyataan bahwa kekasihnya bukanlah manusia biasa.
Joi mulai menyiapkan sarapan, geraknya sedikit lamban. Sesekali, ia melirik ke arah tempat tidur di mana Anya masih tertidur lelap. Wajah pucat Anya yang tenang di bawah sinar matahari pagi membuatnya merasa sesak. Dalam hatinya, sebuah kalimat berulang kali terngiang: "Mungkin kita tidak akan bertemu lagi setelah kau kembali ke… ke tempatmu." Ia tak mampu mengucapkan kata "jasad" karena terasa terlalu kasar untuk menggambarkan Anya yang lembut.
Aroma masakan yang harum memenuhi ruangan, namun tak mampu mengusir kesedihan yang menggelayut di hatinya. Setiap gerakan yang ia lakukan terasa berat, dibebani oleh pikiran-pikiran yang berputar tak henti di kepalanya. Bayangan Anya yang dingin, sentuhannya yang tak seperti manusia, dan janji-janji yang terasa begitu rapuh. Semua itu menggantung seperti belenggu yang tak terlihat, menjerat hatinya dan membuatnya merasa hampa. Dengan langkah gontai, Joi bergegas berangkat ke sekolah, meninggalkan Anya yang tertidur, dengan hati yang berat dan pikiran yang kalut. Sekolah, teman-teman, dan aktivitas sehari-hari terasa begitu jauh dan tak berarti dibandingkan dengan kenyataan pahit yang baru ia sadari.
**
Di sekolah, Joi menjadi sosok yang asing. Ia duduk di bangku kelas, tatapannya kosong menerawang ke luar jendela. Pemandangan luas di luar sana, dengan pepohonan hijau dan langit biru, tak mampu menarik perhatiannya. Pikirannya berkecamuk, dipenuhi oleh bayangan Anya. Hati yang bimbang dan hampa membuatnya merasa seperti ada bagian penting dari dirinya yang hilang. Ia bahkan meragukan dirinya sendiri, kepercayaan dirinya runtuh.
Gangguan teman-teman sekelasnya seakan tak terdengar. Ia hanya menatap langit, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal di hatinya. Depresi berat mencengkeramnya, menenggelamkannya dalam lautan pikiran yang kelam. Hanya bayangan Anya yang mampu sedikit menghiburnya, walaupun hanya sesaat. Ia tak ingin kehilangan Anya, walaupun hanya sekejap mata. Namun, ia tahu bahwa harus merelakan Anya kembali ke jasadnya adalah satu-satunya pilihan terbaik. Itu adalah jalan yang paling menyakitkan, namun juga satu-satunya jalan yang benar. Ia harus mengembalikan ruh Anya, meski itu berarti harus kehilangan kehadirannya yang menenangkan di sisinya. Pikiran itu bagai pisau yang terus menusuk-nusuk hatinya, menciptakan luka yang tak kunjung sembuh.
Saat itu, di tengah lamunannya yang kelam, Joi melihatnya. Bukan Anya, tetapi sesosok hantu lain. Di lapangan sekolah, hantu itu mengganggu beberapa siswa, menyebabkan mereka terjatuh dan berteriak ketakutan. Dari kejauhan, Joi mengamati kejadian itu dengan tatapan kosong. Pandangannya kembali tertuju pada langit, pada awan putih yang melayang-layang tanpa beban. Ia mulai merenungkan kemampuannya yang aneh itu—kemampuan untuk melihat hantu.
Untuk apa? Pertanyaan itu bergema di dalam benaknya. Kemampuan itu tak memberikannya kebahagiaan, malah sebaliknya. Kemampuan itu hanya membawa kesedihan, mengingatkannya pada Anya, dan membuat hatinya semakin terluka. Melihat hantu di lapangan sekolah itu, ia kembali merasakan kesedihan yang mendalam. Kemampuannya untuk melihat hantu bukanlah anugerah, melainkan kutukan yang membuatnya terus tersiksa oleh bayangan-bayangan dari dunia lain. Ia merindukan hari-hari di mana ia tak bisa melihat hantu, hari-hari di mana dunianya terasa lebih sederhana dan damai.