Aruna murid SMA yang sudah dijodohkan oleh ayahnya dengan Raden Bagaskara.
Di sekolah Aruna dan Bagas bertemu sebagai murid dan guru.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsantika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21
Aruna duduk di bangku dekat gerbang sekolah, menatap halaman yang mulai sepi. Matahari sudah turun perlahan, meninggalkan langit jingga yang menenangkan tapi tidak cukup meredakan kekusutan di kepalanya.
Ia menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan sebelum mengangkat ponsel.
“Pak Anwar?” katanya pelan.
“Ya, Nona?”
“Aku mau pulang. Bisa jemput sekarang?”
“Maaf, Nona. Saya masih di bengkel. Habis ini langsung ke rumah ambil mobil satunya, baru ke sana.”
Aruna mendesah, nyaris menggulung dirinya sendiri di bangku. “Oke, saya tunggu.”
Ia memutus sambungan lalu menatap ke sekeliling. Semua temannya sudah pulang. Sisa sore hanya milik dirinya dan udara yang mulai dingin.
Hari ini... aneh. Terlalu banyak percakapan setengah jalan dan tatapan yang terasa lebih menusuk dari komentar langsung. Aruna memijat pelipisnya, lelah.
Langkah sepatu yang tegas terdengar mendekat.
“Sampai kapan kamu duduk di sini?”
Suara itu membuat Aruna mengangkat kepala cepat. Bagas berdiri di depannya, dengan raut wajah cemas namun mencoba terlihat santai.
“Kenapa sih kamu selalu muncul kalau aku lagi mau sendiri?” Aruna mendesah, lebih kepada dirinya sendiri.
“Kenapa kamu belum pulang?” tanya Bagas tanpa menjawab keluhan.
“Aku nunggu Pak Anwar,” jawab Aruna singkat.
“Gak usah nunggu. Aku antar,” ucap Bagas tegas.
“Nggak usah,” potong Aruna cepat. Ia berdiri dan mengambil tasnya. “Aku bisa sendiri.”
“Tapi kamu belum pulang dari tadi, udah sore—”
“Justru karena itu aku nggak mau tambah sore. Aku pulang sendiri.”
Aruna berjalan cepat, tapi suara langkah di belakangnya mengikut. Bagas tetap di belakangnya.
Aruna berhenti dan menoleh. “Ngapain ngikutin?”
“Kalau aku bilang aku khawatir, kamu bakal marah?”
Aruna menatapnya lama. “Udah, ya. Aku capek hari ini. Aku cuma mau pulang, tanpa tambahan drama.”
Bagas mengangkat tangan seperti menyerah. “Oke. Aku gak maksa.”
Tapi Aruna tahu, meskipun dia bilang tidak maksa, cowok itu pasti tetap akan mengawasinya diam-diam sampai mobil Pak Anwar datang.
Entah kenapa... itu membuat hatinya makin campur aduk.
Aku mau beli minum dulu,” kata Aruna, menghentikan langkahnya dan menunjuk minimarket kecil di seberang jalan sekolah.
Bagas melirik ke arah yang ditunjuk, lalu menghela napas. “Ya udah, aku ikut.”
“Aku bisa sendiri,” sergah Aruna cepat.
Alih-alih menjawab, Bagas malah meraih pergelangan tangannya dan menahannya.
“Lepasin,” desis Aruna sambil menoleh cepat. “Ini masih area sekolah. Gimana kalau ada yang lihat?”
“Biarin,” jawab Bagas ringan, ekspresinya enteng, tapi tatapannya serius. “Selama Pak Anwar belum datang, kamu sama aku.”
Aruna memejamkan mata sejenak dan menarik napas panjang. “Kamu tahu nggak, kamu bikin aku hampir gila.”
“Bagus,” kata Bagas enteng. “Biar kita gila bareng.”
Tanpa menunggu tanggapan, ia berjalan lebih dulu ke arah minimarket, masih memegangi tangan Aruna.
Aruna akhirnya membiarkan dirinya ditarik, walau wajahnya sudah mendung total. Sesampainya di dalam, ia segera melepaskan genggaman Bagas dan mengambil sebotol air mineral dari kulkas.
“Aku beli kopi,” gumam Bagas di belakangnya, mengambil kaleng hitam berlogo besar.
Aruna mendengus pelan. “Hidupmu nggak bisa lepas dari kafein ternyata.”
“Tuh kan, kamu hafal.”
“Aku hanya memudahkan hidupku.”
Tangannya bergerak cepat meraih satu bungkus biskuit cokelat yang tidak terlalu dia suka, tapi cukup untuk mengalihkan perhatiannya. Langkah Aruna terhenti di depan rak mie instan. Matanya menyipit, lalu tangan kirinya dengan percaya diri meraih satu cup rasa pedas favoritnya.
“Serius?” Bagas mendekat. “Kamu udah makan di warkop bareng aku. Mau nambah lagi mie instan?”
Aruna menoleh, alisnya terangkat. “Kamu bukan ayahku, Pak.”
Bagas mengangkat dua tangan seperti menyerah. “Tapi ayahmu pasti gak mau kamu sakit lambung cuma gara-gara mie instan.”
“Kalau aku sakit, aku bisa ke UKS,” balas Aruna, berjalan menuju kasir.
Bagas hanya menggeleng sambil tersenyum miring. “Kamu beneran keras kepala.”
“Kamu baru sadar sekarang?”
Saat Aruna membayar, Bagas diam-diam menambahkan sebatang cokelat ke keranjang belanja dan membayar semuanya. Aruna hanya melotot kesal saat keluar dari toko.
“Aku benci banget kalau kamu tiba-tiba sok manis.”
“Sayangnya kamu gak bisa marah terlalu lama kalau aku manis,” jawab Bagas sambil menyodorkan cokelat itu. “Kamu suka ini, kan?”
Aruna mengambilnya tanpa terima kasih, tapi sudut bibirnya sedikit naik. Sedikit.
Aruna duduk di bangku plastik yang terletak di depan minimarket, memandangi langit yang mulai berubah jingga. Di tangannya, cup mie instan mengepul pelan. Ia menyuapkan sesendok ke mulutnya, lalu menatap bungkusan cokelat yang tadi diberikan Bagas.
“Gimana kabarnya Aletta?” tanyanya tiba-tiba, tanpa menoleh.
Bagas, yang duduk di sampingnya sambil memutar kaleng kopi, hanya menghela napas.
“Seperti yang kamu lihat. Dia cukup terpukul soal perceraian orang tuanya.”
“Pantas aja tantrum di kelas tadi. Bikin Laras hampir nangis juga,” gumam Aruna, mengaduk mie-nya. “Tapi tetep aja… itu bukan alasan buat ngegebrak meja orang.”
Bagas mengangguk pelan. “Aku tahu, Aruna. Tapi kadang orang yang lagi terluka gak bisa mikir jernih. Kamu bisa bantu dengan... ya, memahami.”
Aruna membuang napas. “Aku ngerti. Serius. Tapi aku juga punya perasaan, Pak. Aku juga capek. Seolah dunia harus melihatnya.”
Bagas menoleh ke arahnya, menatapnya cukup lama. “Makanya aku kasih kamu cokelat.”
Aruna menoleh cepat, alisnya bertaut. “Apa hubungannya?”
“Katanya,” Bagas mengangkat kaleng kopinya seperti sedang memberikan pidato ilmiah, “cokelat bisa ningkatin hormon bahagia. Biar kamu gak terlalu sedih, gak terlalu kesal, dan… gak terlalu pengen dorong orang dari lantai dua.”
Aruna menahan tawa, lalu menggeleng pelan. “Logika kamu absurd banget.”
“Absurd tapi manjur,” Bagas menyeringai. “Lihat deh, kamu udah gak cemberut sekarang.”
Aruna memutar matanya, tapi pipinya sedikit memerah. Ia membuka bungkus cokelat itu, menggigit ujungnya, lalu mengangguk kecil.
“…Enak juga.”
Bagas bersandar ke bangku plastik, menatap langit yang mulai gelap.
“Kadang kita cuma perlu duduk bareng, makan yang kita suka, dan gak ngomongin hal berat.”
Aruna meliriknya. “Tapi kamu yang mulai ngomongin Aletta.”
Bagas berpura-pura menyesap kopinya sambil menjauhkan diri setengah langkah. “Hah, aku?”
Aruna menertawakan itu, pelan tapi tulus. Untuk sejenak, sore itu tak seberat hari sebelumnya.
Aruna menyandarkan tubuhnya ke tiang di depan minimarket, jemarinya memeluk botol minum yang mulai berembun. Udara sore semakin sejuk, tapi dadanya terasa sedikit sesak.
“Kalau aku dan Aletta tenggelam di tengah lautan yang dalam,” gumamnya pelan, tanpa menatap Bagas, “kamu bakal nyelametin siapa duluan?”
Bagas yang sedang memainkan tutup kaleng kopinya, menoleh cepat. “Hah?”
“Serius.” Aruna masih menatap ke arah jalan. “Kita sama-sama gak bisa berenang. Cuma bisa teriak.”
Bagas terkekeh. “Tapi Aletta bisa berenang.”
Aruna memutar bola matanya, lalu menatapnya datar. “Pak…”
Bagas mengangkat bahu. “Ya, gimana dong. Fakta.”
Aruna mendesah. “Kenapa sih kamu selalu jawab kayak gitu?”
“Kayak gimana?”
“Kayak nggak pernah mau ngerti. Aku nanya hal yang sebenarnya nggak sesimpel itu.”
Bagas menatapnya dalam-dalam, lalu bertanya serius, “Kenapa kamu tanya hal yang belum tentu terjadi, Aruna?”
Aruna terdiam. Sebagian dari dirinya ingin menjawab dengan kelakar seperti biasa, tapi kata-kata itu terasa menyesakkan di kerongkongan.
“Mungkin karena di dunia nyata… kita emang lagi ‘tenggelam’,” katanya akhirnya, suaranya nyaris tenggelam oleh deru mobil yang melintas. “Cuma situasinya aja yang beda. Dan kamu—” ia berhenti sebentar, “kayaknya lagi berenang ke arah lain.”
Bagas membuka mulut, ingin membalas, tapi klakson mobil membuat mereka sama-sama menoleh.
Pak Anwar sudah tiba, kali ini dengan mobil berbeda. Ia menurunkan kaca dan melambaikan tangan kecil. “Ayo, Non!”
Aruna berdiri perlahan, lalu menatap Bagas untuk terakhir kalinya sore itu.
“Kita akan selalu memilih,” ucapnya pelan, tapi tajam, “apa yang hati kita panggil.”
Ia melangkah pergi, meninggalkan Bagas yang masih duduk di bangku plastik, memandangi punggungnya yang menjauh.
“Aruna…” Bagas menarik napas. “Apapun yang terjadi, kamu itu… bukan sebuah pilihan.”
Aruna mengerjap. “Apa?”
Bagas menatapnya sungguh-sungguh. “Kamu bukan pilihan yang harus dibandingkan dengan siapa pun. Kamu itu—kamu, Aruna. Dan aku udah janji sama Om Agam. Sama ayahmu. Aku bakal jaga kamu.”
Aruna tertawa kecil, pahit. “Janji sama Ayahku? Jadi aku ini… semacam tanggung jawab? Tugas kamu, gitu?”
“Bukan gitu maksudku—”
“Kalau gitu, gak usah lanjut,” potong Aruna cepat. Ia menoleh pada Pak Anwar. “Kita pergi sekarang, Pak.”
Pak Anwar ragu sejenak, tapi akhirnya melajukan mobil perlahan. Bagas mundur satu langkah, menatap mobil yang mulai menjauh, wajahnya menunjukkan kebingungan dan frustrasi.
Di dalam mobil, Aruna menatap ke luar jendela, udara sore mulai terasa menyengat di kulitnya. Ia menempelkan kening ke kaca dingin.
"Kenapa aku kayak gini, sih..." gumamnya pada dirinya sendiri. “Kenapa rasanya... kayak aku cemburu?”
Tangannya mengepal di pangkuan. Ia tahu ia tidak boleh merasa seperti itu. Tidak sekarang, tidak setelah semua yang terjadi. Tapi nyatanya, ia merasakannya. Dan itu membuat semuanya jadi jauh lebih rumit.