Kelahiran bayi hasil pengkhianatan tunangan dan adiknya, membuat Nara merasakan puncak kehancuran. Rasa frustrasi dan kecewa yang dalam membuat Nara tanpa sengaja menghabiskan malam dengan seorang pria asing.
“Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.” -Daniel Devandra Salim
“Menikah dengan pria asing? Apakah aku bisa bahagia?”
“Seluruh kekayaanku, akan kugunakan untuk membahagiakanmu.”
Dalam pernikahan yang dikira menjadi jalan bahagia, Nara justru menemukan sebuah fakta yang mengejutkan tentang Devan yang tidak pernah dia sangka. Di saat yang sama, ipar alias mantan tunangannya mencoba meyakinkan Nara bahwa dia hanya mencintai wanita itu dan menyesal telah mengkhianatinya.
Akankah Nara berhasil mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya dengan Devan?
Ataukah dia mengalami kegagalan dan kembali pada mantannya?
*
*
Follow IG @ittaharuka untuk informasi update novel ini ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itta Haruka07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Nara menatap Devan, wajahnya masih dipenuhi kebingungan dan ketakutan, tetapi ada sedikit rasa iba yang mulai muncul. Kelelahan Devan terlihat nyata, dan permintaannya yang aneh membuatnya merasa simpati. Ia mencoba menenangkan dirinya, menarik napas dalam-dalam. Dengan lembut, ia mengusap pipi Devan.
“Dev,” suaranya lirih, “aku … aku mencoba mengerti. Tapi aku takut. Kamu … kamu nggak seperti biasanya.”
Devan membuka matanya perlahan, tatapannya masih kosong, tetapi ada sedikit cahaya yang mulai terlihat. Ia meraih tangan Nara, menariknya lebih dekat. Sentuhannya terasa lembut, tetapi ada getaran yang kuat di baliknya. “Aku … aku lelah, Nara. Sangat lelah,” bisiknya, suaranya serak. “Tolong … tolong bantu aku.”
Nara ragu-ragu, tetapi ia merasakan kepedihan dalam suara Devan. Ia mengusap pipi Devan dengan lembut. “Aku … aku akan membantumu, Dev. Tapi … aku nggak ngerti apa yang kamu butuhkan.”
Devan mencium tangan Nara, kemudian perlahan-lahan mendekatkan wajahnya ke wajah Nara. “Aku … aku butuh lebih dari sekadar pelukan,” bisiknya, napasnya terasa hangat di kulit Nara.
Ciuman mereka dimulai dengan lembut, hanya sentuhan bibir yang ringan. Nara masih ragu-ragu, tetapi ia merasakan sesuatu yang berbeda dari ciuman ini.
Ini bukan hanya ciuman biasa, ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membutuhkan dan memohon. Perlahan-lahan, ciuman mereka semakin dalam, lebih intens. "Dev…" Nara mendesah, merasakan tubuhnya bergetar, ia membalas ciuman Devan.
“Sssst…” Devan membisikkan sesuatu yang tak terdengar, sementara ciuman mereka semakin dalam.
Mereka semakin dekat, tubuh mereka saling bertaut. Sentuhan mereka semakin intim, menjelajahi setiap lekuk tubuh masing-masing.
Ketegangan di sekitar mereka semakin meningkat, tetapi di tengah-tengah itu, Nara masih merasakan ketakutan dan kebingungan. Ia tidak yakin apa yang sedang terjadi, tetapi ia merasa perlu untuk menenangkan Devan.
Devan merasakan tubuhnya mulai panas, rasa lelahnya perlahan hilang, tergantikan dengan energi yang lebih kuat. Lelaki itu mulai melepaskan jas, dasi, juga kemejanya dan membuangnya dengan asal.
Devan lalu kembali menghantam bibir Nara dengan bibirnya. Hanya memberikan gadis itu waktu untuk bernapas sebentar.
“Nara …” bisik Devan, suaranya hampir tak terdengar.
Tiba-tiba terdengar ketukan pintu yang keras dan berisik. Suara Oma Devan yang memanggil nama Devan memecah keheningan dan ketegangan di kamar.
Keduanya tersentak kaget, tubuh mereka menegang. Devan melepaskan ciuman mereka, wajahnya tampak bingung dan kecewa. “Siapa itu?” bisiknya terdengar bingung.
“Sepertinya … Oma,” jawab Nara, suaranya gemetar. Ia juga merasa lega dan sedikit kecewa.
Ketegangan naluriah yang baru saja mereka bangun tiba-tiba sirna, digantikan oleh rasa canggung dan ketakutan akan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Devan menghela napas panjang. “Kita … kita harus menunda ini,” bisiknya, suaranya terdengar lesu. Ia menatap Nara dengan tatapan yang sulit diartikan, campuran antara penyesalan dan kelelahan.
Nara mengangguk, merasakan campuran emosi yang kompleks. Antara kecewa, lega, dan khawatir bercampur aduk dalam dirinya.
“Biar aku yang buka pintunya,” tawar Nara untuk memecah kecanggungan mereka.
Nara membuka pintu, merasakan jantungnya berdebar kencang. Rambutnya tampak berantakan, lipstiknya sudah luntur, dan bajunya sedikit kusut. Ia terlihat acak-acakan, jauh dari penampilan pengantin yang rapi dan anggun.
Sementara itu, Devan sudah membaringkan tubuhnya kembali ke sofa, menutupi tubuh atasnya yang telan-jang dengan kemeja yang sedikit kusut. Ia masih tampak lelah dan lesu.
“Selamat malam, Oma,” sapa Nara dengan canggung, suaranya bergetar. Ia berusaha untuk tersenyum, tetapi senyumnya terlihat dipaksakan.
Oma menatap Nara dengan tatapan yang tajam dan penuh curiga. Ia memperhatikan penampilan Nara yang acak-acakan, dan matanya menjelajahi kamar pengantin baru itu. Jas dan dasi Devan yang tergeletak di lantai menambah kecurigaan Oma.
“Ada apa, Oma? Oma cari Devan?” tanya Nara, suaranya semakin bergetar. Ia merasa tidak nyaman di bawah tatapan tajam Oma.
Mata Oma menjelajahi kamar sekali lagi, berhenti sejenak pada kemeja yang menutupi tubuh Devan. Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke Devan yang terbaring di sofa.
“Oma … oma hanya khawatir sama Devan,” ujar Oma, suaranya terdengar lembut tetapi dipenuhi kekhawatiran. “Dia … dia nggak apa-apa, ‘kan? Nggak ada yang aneh sama dia, ‘kan?”
Pertanyaan Oma membuat Nara semakin bingung. Ia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan situasi yang baru saja terjadi. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan Devan, sesuatu yang membuatnya khawatir.
Nara menoleh ke belakang dan menatap Devan, mencoba mencari petunjuk dari raut wajahnya. Namun, Devan hanya terdiam, matanya terpejam, tampak lelah dan tak berdaya.
Nara lalu menjawab pertanyaan Oma dengan bingung, “Dia tadi memang kelihatan aneh, Oma. Tiba-tiba dia kelihatan dingin dan tatapan matanya kosong. Aku nggak tahu dia kenapa, tapi kelihatan sekali dia kelelahan. Dia … dia minta pelukan, tapi kemudian …” Nara ragu-ragu untuk melanjutkan ceritanya, merasa malu dan tidak nyaman untuk menjelaskan permintaan Devan yang lebih dari sekadar pelukan.
Oma langsung menyela, suaranya terdengar sedikit keras, “Dia nggak kenapa-kenapa kok, Nara. Dia mungkin terlalu stres. Acara pernikahan yang terlalu dadakan ini cukup melelahkan. Tolong kamu biarkan dia istirahat aja ya. Jangan biarkan dia terlalu lelah karena acaranya belum selesai.”
Nara mengangguk paham, meskipun ia masih merasa ada sesuatu yang disembunyikan Devan, juga Oma. “Iya, Oma.”
“Oma tinggal dulu. Kalian istirahatlah sebentar. Nanti Oma ke sini lagi," kata Oma, nada suaranya masih sedikit tidak tenang.
Setelah mengatakan itu, Oma meninggalkan kamar Nara dan membiarkan rasa bingung Nara tidak terjawab.
Nara berjalan lesu ke arah Devan, merasakan beban berat di hatinya. Ia duduk di samping Devan, menatap wajah suaminya yang masih terpejam. Pikirannya berkecamuk.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan Devan? Mengapa ia terlihat begitu lelah dan aneh? Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalanya.
“Oma sudah pergi?” tanya Devan masih dengan mata yang terpejam, suaranya serak, tetapi terdengar lebih kuat dari sebelumnya.
Nara sedikit terkejut. “Iya,” jawabnya, suaranya sedikit gemetar. “Oma cuma menanyakan keadaanmu dan menyuruhmu istirahat. Kamu nggak apa-apa ‘kan, Dev?” Kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya.
Devan membuka matanya. Tatapannya masih intens, tetapi tidak lagi kosong seperti sebelumnya. Ada percikan kesadaran yang lebih tajam di dalamnya, tetapi juga tampak sebuah kebutuhan yang mendesak.
Pria itu bangkit dari sofa, gerakannya lebih lincah daripada yang Nara harapkan mengingat pengakuan kelelahannya sebelumnya. Ia mendekati Nara, tetapi bukan dengan agresi, melainkan dengan suatu kebutuhan yang tersirat.
“Aku … aku butuh energi tambahan, Nara,” ujarnya, suaranya rendah dan hampir seperti bisikan. “Aku sangat lelah … dan aku merasa … kamu bisa membantuku.” Ada permintaan yang halus, hampir memohon, dalam suaranya.
***
Masih ada acara lain boy, sabar 😂😂
kak semangat up nya,,klo bisa yg banyak up nya😁
udah dilarang bejerja di oerusahaan suami tapi tetap dilanggar