sambungan season 1,
Bintang kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan kuliahnya, tiba-tiba omanya berubah. ia menentang hubungannya dengan Bio
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari tapi tak ketemu
Pagi itu, setelah sarapan, Bintang hanya mendorong mangkuk buburnya sedikit ke depan. Baru setengah habis, tapi perutnya sudah terasa mual. Oma memperhatikannya dari ujung meja, tapi tidak mengatakan apa-apa. Hanya tatapan khawatir yang disembunyikan di balik ekspresi dingin.
Begitu meletakkan sendok, Bintang berdiri.
“Terima kasih, Oma… aku naik dulu.”
Namun bukan ke kamar arah langkahnya, melainkan ke arah pintu depan. Ia mengambil jaket dan kunci mobil dengan gerakan gugup.
Oma bangkit dari kursi, suaranya meninggi.
“Mau kemana kamu pagi-pagi begini”
Bintang berhenti, tapi tidak menoleh. “Aku harus cari Bio, aku harus jelaskan ke dia apa yang terjadi.”
“Bintang—”
“Aku udah coba telepon, chat, semuanya. Dia nggak balas. Oma… aku harus pastikan dia baik-baik aja.”
Oma memejamkan mata, seperti menahan sesuatu yang berat.
“Kamu terus begini, Bintang… bagaimana aku bisa percaya kamu siap?”
“Siap untuk apa?” Bintang berbalik, kening berkerut.
“Untuk hidup yang stabil. Untuk masa depan keluarga.”
Oma menarik napas panjang. “Untuk pernikahan yang… sudah Oma atur.”
Bintang seperti kehabisan oksigen. “Oma pernah bilang… Oma mendukung aku sama Bio.”
“Dulu.”
Suaranya tegas, dingin. “Sebelum aku lihat kamu begini. Kalang kabut karena satu orang. Kamu itu pewaris Rosmawati grup"
Bintang menggigit bibirnya, menahan amarah sekaligus luka. “Kalau aku begini… berarti dia sepenting itu.”
Oma tak menjawab.
“Aku pergi. Jangan cegah.”
Tanpa menunggu restu, Bintang membuka pintu dan melangkah keluar.
Di baliknya, Oma hanya menggenggam kedua tangan, wajahnya penuh kecemasan—dan sesuatu yang mirip penyesalan, namun tertutup ego.
......................
Karena tidak tahu harus mencari ke mana, Bintang langsung menghubungi orang yang paling ia percaya.
“Rama, Tolong jemput aku. Aku harus menjari Bio.”
Suara Rama terdengar langsung serius.
“Lima belas menit. Tunggu di depan gerbang.”
Dan benar, lima belas menit kemudian mobil hitamnya berhenti. Bintang masuk dengan wajah pucat.
“Kamu kelihatan nggak tidur semalaman,” kata Rama sambil menyetir pelan keluar kompleks.
Bintang tak menjawab, ia sudah menceritakan apa yag terjadi pada Rama.
“Aku takut kehilangan dia.”
Suara Bintang bergetar, menatap jendela yang dipenuhi cahaya pagi.
Rama mengangguk, tak menghakimi. “Oke. Kita cari dia. Kita mulai dari rumah Ibnu.”
......................
Ibnu membuka pintu dengan wajah kaget—jelas tidak menyangka Bintang muncul pagi-pagi.
“Bintang? Pagi-pagi gini? Ada apa?”
“Ibnu....Bio disini?”
Nada Bintang lirih, penuh harap. “Aku cuma… mau bicara.”
Ibnu terdiam sejenak. Bio memang ada didalam.
Sejak malam ia datang, meminta bersembunyi dari dunia.
Dan dari balik dinding kamar, Bio mendengar semuanya.
Duduk di kursi, punggung membungkuk, napasnya pendek-pendek.
Namun ia masih terluka… dan belum siap bertemu.
Ibnu menelan ludah. Harus memilih.
“Ngak, dia gak disini.”
Bintang menggeleng pelan, hampir putus asa. “Ibnu… jangan bohong. Please.”
“Aku nggak bohong.” Ibnu memaksakan senyum. “Kalau dia datang, aku pasti bilang.”
Di dalam kamar, Bio menutup wajah dengan kedua tangan, bahunya bergetar.
Ia ingin keluar.
Ia ingin memeluk Bintang.
Ia ingin bilang, “Aku di sini sayank…”
Tapi tubuhnya tidak bergerak.
“Baik,” Bintang akhirnya berbisik. “Kalau Bio datang… bilang aku nyari dia.”
“Sumpah, aku bakal sampaikan.”
Bintang menunduk dan melangkah pergi. Rama mengikuti di belakang.
Setelah mobil menjauh, Ibnu menarik napas panjang dan menutup pintu.
“Bro… dia datang pagi-pagi gini cuma buat kamu,” katanya perlahan. “Dia kelihatan hancur.”
Bio hanya diam.
Air matanya jatuh tanpa suara.
......................
Dalam perjalanan pulang, Bintang hanya menatap kosong.
Rama mulai panik melihat wajahnya makin pucat.
“Bintang… kamu yakin nggak mau makan atau minum dulu? Kamu lemes banget.”
“Aku nggak apa-apa.”
Tapi suaranya nyaris hilang.
Begitu sampai rumah, Bintang baru membuka pintu mobil—dan tiba-tiba kepalanya berputar.
“Bintang?” Rama reflek memegang lengannya. “Eh, Bintang—”
Bintang tidak sempat menjawab.
Tubuhnya ambruk.
Lututnya kehilangan tenaga, dan ia jatuh pingsan tepat ke pelukan Rama.
“BINTANG!!”
Rama langsung menggendongnya panik sementara pengawal berlari menghampiri.
“Cepat! Siapkan mobil! Kita ke rumah sakit sekarang!”
Rama menatap wajah Bintang yang pucat, napasnya lemah.
“Kenapa kamu harus cari dia sampai kayak gini sih…” bisiknya gemetar.
"Bio brengsek" maki Rama.
Mobil melaju kencang menuju rumah sakit, membawa Bintang yang tak sadar—sementara matahari pagi yang hangat terasa kontras dengan tubuhnya yang semakin dingin.
...****************...