Perselingkuhan antara Kaivan dan Diana saat tiga hari menjelang pernikahan, membuat hati Alisa remuk redam. Keluarga Kaivan yang kepalang malu, akhirnya mendatangi keluarga Alisa lebih awal untuk meminta maaf.
Pada pertemuan itu, keluarga Alisa mengaku bahwa mereka tak sanggup menerima tekanan dari masyarakat luar jika sampai pernikahan Alisa batal. Di sisi lain, Rendra selaku kakak Kaivan yang ikut serta dalam diskusi penting itu, tidak ingin reputasi keluarganya dan Alisa hancur. Dengan kesadaran penuh, ia bersedia menawarkan diri sebagai pengganti Kaivan di depan dua keluarga. Alisa pun setuju untuk melanjutkan pernikahan demi membalas rasa sakit yang diberikan oleh mantannya.
Bagaimana kelanjutan pernikahan Alisa dan Rendra? Akankah Alisa mampu mencintai Rendra sebagai suaminya dan berhasil membalas kekecewaannya terhadap Kaivan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyesal?
Pagi yang cerah menyongsong awal kegiatan di hari baru. Alisa memasuki ruangannya dan tertegun tatkala mendapati buket bunga lily putih di meja kerjanya. Saking penasaran, ia mengambil bunga itu, lalu mencabut sebuah kertas kecil di dalamnya.
Alisa, aku minta maaf, ya. Aku menyesal sudah bikin kamu terluka.
Seulas senyum sinis menggaris di bibir Alisa. Tak perlu diragukan lagi, ini pasti perbuatan Kaivan.
Tanpa ragu, ia melempar bunga itu ke tempat sampah, lalu duduk di belakang meja kerjanya. Dibukanya laptop, memulai tugas lagi sebagai manajer keuangan. Tidak baik terus menerus hidup di bawah bayang masa lalu, pikirnya.
Saat waktu makan siang tiba, Alisa pergi ke sebuah restoran bersama rekan-rekan lain. Membahas soal perkembangan dan masalah perusahaan seakan menjadi topik utama bagi mereka. Tak ketinggalan, komentar karyawan lain mengenai atasan menyebalkan selalu menarik untuk diperbincangkan.
"Ah, soal atasan menyebalkan, aku minta maaf kalau selama ini terkadang bikin kalian nggak nyaman," ucap Alisa menatap ketiga temannya.
"Nggak nyaman? Ya, kamu ini salah satu atasan paling otoriter di antara divisi lain," seloroh seorang karyawan pria berkacamata menunjuk Alisa sambil tertawa-tawa.
Bibir Alisa mengerucut.
"Ya, kamu ini sangat menyebalkan, Mbak Alisa. Kadang aku sampai kewalahan kalau dapat laporan menumpuk. Nggak selesai-selesai aku ngerjainnya, bahkan sampai begadang sekalipun," timpal seorang karyawati berambut panjang memakai bando putih.
"Hey! Kalian ini kalau bercanda keterlaluan, ya. Mbak Alisa ini manajer terbaik yang pernah ada di perusahaan ini. Bertahun-tahun aku bekerja di sini, baru kali ini dipimpin sama manajer yang ramah dan nggak banyak tingkah. Aku aja sampai iri dia bisa mendapatkan jabatan terbaik di usia dua puluh lima tahun," tutur karyawan pria yang lebih senior dari Alisa.
"Kamu jangan memujinya berlebihan begitu! Nanti Mbak Alisa jadi galak beneran!" tegur karyawan berkacamata mengangkat kedua alisnya.
"Apa pun komentar kalian, aku akan menerimanya, kok. Tapi ... aku ingin bertanya lebih serius sama kalian. Apa aku ini orangnya plin-plan dan nggak teguh pendirian, ya?" Alisa menatap rekan kerjanya satu per satu.
"Plin-plan? Nggak ah. Mbak Alisa orangnya konsisten kok. Kalaupun ada kesalahan, biasanya itu berasal dari kami yang kurang paham sama instruksi Mbak," jelas seorang karyawati.
"Benarkah?!" Kedua mata Alisa membulat.
Seorang karyawan berkacamata mengangguk. "Ngomong-ngomong, kenapa Mbak Alisa nanya begitu? Apa Mbak Alisa kepikiran soal pernikahan Mbak Alisa sendiri?"
Dua karyawan lain mengangguk sambil menatap Alisa.
"Sejujurnya, aku merasa nggak enak sama pandangan orang-orang. Rencana menikah sama Kaivan, eh jadinya malah sama kakak dia. Ini bukan kemauanku, ya, tapi keadaannya yang nggak mendukung," kata Alisa kikuk.
"Sudahlah, Mbak Alisa. Nggak usah dengarkan omongan orang lain. Pernikahan itu urusan pribadi, sedangkan profesi adanya di ranah lain. Lagi pula, sudah betul Mbak Alisa menikah dengan kakaknya Kaivan. Aku lihat, dia sayang banget sama Mbak Alisa, kelihatan lebih dewasa dan bertanggung jawab. Pasti dia ngemong banget sama Mbak Alisa kalau di rumah," komentar seorang karyawati.
"Iya, Mbak. Aku justru bersyukur Mbak Alisa gagal menikah dengan Kaivan. Aku pernah satu tim dengan dia. Jujur, dia itu beban banget kalau kerja bareng," timpal seorang karyawan senior.
"Nggak kebayang kalau dia nikah sama Mbak Alisa," sindir karyawan berkacamata sambil terkekeh-kekeh.
Di tengah obrolan mereka, Kaivan datang dengan tergesa-gesa. Tanpa memedulikan kehadiran karyawan lain, ia langsung mengutarakan keinginan pada Alisa.
"Alisa, apa kamu punya waktu? Aku mau ngobrol sebentar sama kamu," kata Kaivan.
"Mau ngobrolin apa lagi? Apa kamu masih belum cukup mempermalukan aku di depan orang-orang?" tanya Alisa, sambil sesekali melirik karyawan lain.
"Enggak. Aku mau ngobrol serius aja sama kamu. Kamu mau, kan?" jelas Kaivan.
Alisa menghela napas sambil melirik rekan-rekan kerjanya. Seorang karyawati mendongak, mengisyaratkan pada Alisa untuk menerima tawaran Kaivan. Gadis itu mengangguk pelan, kemudian beranjak dari tempat duduknya.
Keduanya berlalu meninggalkan restoran. Kaivan berjalan menuju bagian belakang kantor, memilih tempat yang nyaman untuk berbicara berdua. Adapun Alisa, tampak acuh tak acuh mengikuti mantan kekasihnya dari belakang.
Ketika menemukan tempat duduk yang nyaman, Kaivan menarik kursi dan mempersilakan Alisa duduk. Setelah itu, ia duduk di kursi lain, berhadapan dengan lawan bicaranya.
"Kamu mau ngobrolin apa?" tanya Alisa dengan nada lesu.
"Alisa, apa kamu sudah mendapat bunga lily putih tadi pagi? Aku harap, kamu menerima maafku," tutur Kaivan, terdengar sedikit sungkan.
Alisa melipat kedua tangannya sambil bersandar di kursi dan menyilangkan kedua kaki. "Sudah aku duga, pasti itu dari kamu."
"Jadi, bagaimana? Kamu mau memaafkan aku, kan?" Kedua mata Kaivan berbinar-binar seakan menaruh harapan pada keputusan Alisa.
"Begini. Aku nggak akan gitu aja maafin kamu, ya. Apa kamu masih nggak nyadar sama semua kelakuan kamu sendiri? Sekarang, tolong jangan jadikan permohonan maaf sebagai senjata kamu buat merusak aku. Oke?" jelas Alisa dengan tegas.
"Ya ampun! Apa sebegitu nggak percayanya kamu sama aku, sampai berprasangka buruk begitu? Aku serius, Alisa. Aku benar-benar menyesal atas perbuatan aku selama ini," ucap Kaivan menekankan nada bicaranya.
"Menyesal atas perbuatan yang mana, hm? Perselingkuhan? Memfitnah aku menuntut keluarga untuk dinikahkan dengan Kak Rendra? Perbuatan yang mana?" Alisa memandang sinis, sambil menyunggingkan senyum di satu sudut bibirnya.
"Ayolah, Alisa! Aku serius! Aku sudah menyesali semua perbuatan buruk yang pernah aku perbuat sama kamu. Aku mohon, terimalah maafku ini," pinta Kaivan dengan wajah memelas.
Alisa beranjak dari kursi, seraya berkata, "Bersihkan dulu nama baikku di kantor. Akui semua kesalahan kamu di depan semua orang. Tapi, kamu harus ingat baik-baik! Kita mustahil bisa seperti dulu lagi."
Tanpa memedulikan tanggapan Kaivan, Alisa melenggang pergi begitu saja. Tak ada lagi yang perlu didengar dari sang mantan. Cukup dengan reputasinya kembali bersih, maka semua akan baik-baik saja, meski tak akan sama seperti sebelum Kaivan mengkhianatinya.
Sepulang dari kantor, seperti biasa Alisa diantar oleh Rendra ke toko kue. Ia menanyakan soal pemasukan harian dan bahan-bahan apa saja yang perlu dibeli sebelum stok benar-benar habis. Selanjutnya, Alisa mengecek ke dapur, memeriksa pekerjaan Diana dan Ratri yang mengurus pengolahan kue.
"Ratri, apakah bahan-bahan yang dibeli tempo hari mempengaruhi tekstur kue? Saya harap hasilnya tidak mengubah tekstur maupun rasa dari produk kita," tanya Alisa pada seorang gadis muda berhijab putih.
"Bahan-bahannya tidak mempengaruhi sama sekali, Bu. Rasa dan tekstur kue pun tidak berubah," jelas Ratri, yang baru saja mengeluarkan kue dari oven.
"Syukurlah kalau begitu," kata Alisa tersenyum simpul.
Selanjutnya, Alisa memeriksa kue-kue yang sudah ditata rapi ke dalam toples oleh Diana. Ia menoleh pada sahabatnya sebentar dan tertegun mendapati luka memar di wajah Diana.
"Diana, apa yang sudah terjadi? Kenapa wajahmu lebam begini?" tanya Alisa dengan mata membulat.
Diana mendelik tajam, lalu membuang muka dan lanjut menata kue kering ke dalam toples. "Apa pedulimu? Gara-gara kamu, Kaivan marah besar dan memukuliku. Kamu pasti senang, kan, melihat hubunganku dengan Kaivan hancur?" ketusnya.
lanjut thorrrr.