Mereka sama-sama pendosa, namun Tuhan tampaknya ingin mereka dipertemukan untuk menjalani cinta yang tulus.
Raka dan Kara dipertemukan dalam suatu transaksi intim yang ganjil. Sampai akhirnya keduanya menyadari kalau keduanya bekerja di tempat yang sama.
Kara yang supel, ceria, dan pekerja keras. Berwatak blak-blakan, menghadapi teror dari mantan suaminya yang posesif. Sementara Raka sang Presdir sebenarnya menaruh hati pada Kara namun rintangan yang akan dihadapinya adalah kehilangan orang terpenting di hidupnya. Ia harus memilih antara cintanya, atau keluarganya. Semua keluarganya trauma dengan mantan-mantan istri Raka, sehingga mereka tidak mau lagi ada calon istri yang lain.
Raka dan Kara sama-sama menjalani hidupnya dengan dinamika yang genting. Sampai akhirnya mereka berdua kebingungan. Mengutamakan diri sendiri atau orang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Thirteen
“Yuk ke atas.” desis Raka sambil menghampiri Kara yang sedang duduk tegang di sofa lobby. Pria itu mengangkat tas yang diletakkan di samping Kara. Dan ia menggandeng tangan Kara.
Kara langsung menarik tangannya.
dan menatap Raka dengan terbelalak.
Raka menoleh dan juga memandang Kara dengan kaget.
“Kenapa?” tanya Raka.
“A-anuuu… nggak tau." Kara terlihat kebingungan sambil menatap ke arah tangannya sendiri. "Kayak kesetrum tadi.” gumam Kara sambil segera mendekap kedua tangan di dadanya.
Senyum Raka malah semakin lebar.
“Ha…ah.” ia pun menghela nafas panjang sambil memandang ke pegunungan di depannya. Pria itu menoleh ke arah Kara yang waspada dengannya.
“Gini aja.” katanya dengan nada rendah. “Kita sudah berada di zona pribadi. Sudah diluar Office Hour. Hari Jumat pulang jam berapa?” Raka mencondongkan tubuhnya bagai mengajak anak kecil belajar bicara.
“Jam 16 Pak.” dengan polosnya Kara menjawab.
“Iya betul, jam 4 sore. Sekarang jam 4 lewat 20. Jadi hubungan kita sudah bukan Boss dan karyawan lagi. Iya kan?”
“Hm. Iya. Kayaknya.” Kara ragu karena memang otaknya lagi nge-lag, alias ia belum bisa mencerna segala sesuatu dengan baik karena shock.
“Panggil saya Om. Jangan Pak.”
“Tapi, Pak-”
“Om. Om Raka. Seperti yang waktu itu.” sahut Raka.
“Om Raka.” gumam Kara.
Lalu wanita muda itu menegakkan tubuhnya dan mengernyit. Entah kenapa perasaannya jadi membaik.
“Iya ya. Om Raka. Kita akan bertransaksi ilegal. Betul kan ya, Om? 5 juta dua hari?” Kara langsung mencerocos dengan wajah berbinar.
Raka agak menjauh saat Kara menatapnya dengan berbinar seperti itu.
“Ya memang ilegal sih, tapi nggak usah disebut juga. Masalahnya kamu sehat-sehat aja apa nggak nih?”
“Laper Om!” sahut Kara.
“Dibilangin tadi makan dulu… pesen di kamar aja.” gerutu Raka sambil berjalan ke arah resort.
***
Mereka melakukannya sesaat, adegan panas penuh peluh. Gairah dan hasrat yang lepas sekaligus.
“Om time out, Om, sebentar stop dulu…” Kara melambaikan tangannya. Ia dalam posisi membungkuk di atas karpet dan terengah-engah. “Haus Om!”
“Hm...” Raka mendorong sedikit pinggulnya lalu berhenti bergerak. Dan ia pun mengatur nafasnya dan melepaskan tubuh Kara perlahan.
Mereka duduk di karpet bersandarkan ranjang, sambil menatap ke arah gunung di depan mereka.
Kara menegak air mineralnya sampai setengah botol. Lalu ia menyerahkan sisanya ke Raka.
Raka menegaknya sampai habis.
Mereka beristirahat mendinginkan tubuh, Kepala Kara disandarkan di bahu Raka.
“Mas Elang kirim WA tuh.” gumam Kara lelah sambil melirik ponsel Raka.
“Paling isinya kekalutan khas korporat.” sahut Raka.
“Caitlyn nelpon tuh.”
“Bodo ah…” gerutu Raka.
“Tante Annisa kirim telegram Om.”
“Nanti dibaca. Tapi nanti.” itu berarti kalau sempat. Kalau malas ya cuekin sampai besok.
“Pak Gilbert dari-”
“Nah itu harus diangkat!” seru Raka sambil berdiri dan menyambar ponselnya. “Ya Pak? Wah hahaha (ketawa ala konglomerat) iya saya lagi di Sentul. Tadi bapak nggak datang waktu saya golf sama Pak Wicak.” dan Raka pun mengambil celananya dan mengenakannya dengan cepat tanpa mengancingkannya. Lalu dia melipir ke beranda.
“Dasar gila bisnis.” gumam Kara.
Wanita muda itu merangkak ke arah kulkas dan menemukan coklat. Ia membuka bungkusnya lalu mematahkannya sedikit.
Sambil menggigit-gigit kecil patahan manis itu, Kara menatap ke depan. Ke arah Raka yang berdiri memunggunginya sambil menelpon.
Postur tinggi. Kalau dibandingkan dengan Kara yang mungil, hanya 160cm, saat mereka berdiri bersama mungkin tinggi Raka sekitar 185 sampai 190an. Bu Stephanie juga tinggi, seperti supermodel. Raidan juga jangkung.
Sepertinya memang DNA mereka sudah baik dari sananya.
Tapi Raka… wah, sulit dipercaya pria seperti ini sudah ditinggalkan oleh tiga wanita. Tapi Kara belum benar-benar mengenalnya. Jadi ia belum bisa berspekulasi.
Kalau tak salah, Bu Stephanie waktu itu pernah bilang, alasan ketiganya sama, Raka terlalu posesif.
Posesif yang seperti apa?
Yang positif atau negatif?
Tapi kalau dilihat dari sikapnya… saat Raka bertemu seseorang yang menurutnya tepat, ia akan mengikutinya kemanapun.
Karena ciuman itu, Kara jadi tahu perasaan Raka.
Sejak pertemuan mereka yang ‘berkesan’, Raka selalu ada di manapun. Bagai menguntitnya. Bahkan sebelum ciuman itu terjadi.
Pikiran Kara akhirnya kemana-mana. Seorang artis cantik jelita impian semua laki-laki saja bisa ditinggalkan, karena orang ketiga yang kalau dilihat secara kasat mata tidak terlalu sempurna. Laki-laki tampan beristrikan perempuan cantik jelita juga bisa saja berpisah karena suatu alasan yang sebenarnya remeh kalau mereka tidak egois satu sama lain.
Lalu Kara pun melihat tampilan sosoknya di jendela.
Menurutnya ia tidak jelek-jelek amat. Putih, rambut panjang, dada besar, langsing.
Tak ada masalah dengan penampilannya. Tubuhnya adalah impian setiap wanita.
Apakah karena kepribadiannya? Ia memang blak-blakan dan pekerja keras karena mudah lapar jadi harus cari uang. Belum ia suka berhias, dan mengoleksi perhiasan. Sudah pasti ia menyediakan dana untuk kebutuhannya.
Tabungannya sebentar lagi mencukupi untuk membeli rumah bersubsidi, di atas tanah, di pinggiran kota jakarta yang dekat dengan stasiun kereta.
Seharusnya ia adalah tipe pasangan ideal.
Kara menatap gunung di depannya.
Apakah karena ia tidak suka mendaki gunung? Aldo menyatakan perasaannya kepada perempuan lain, si pelakor itu, sewaktu berada di puncak Lawu. Perempuan dengan postur sedikit gemuk, mengenakan hijab, ceria dan supel. Mereka sekantor dan dekat karena suka mendaki gunung.
Sementara Kara lebih suka ke mall dan nonton drama di platform langganan.
Itu sebabnya Kara malas sewaktu ke Bogor. Karena di sini ada jajaran pegunungan dari Pangrango sampai Salak yang sering juga didaki Aldo kalau weekend. Mengingatkannya ke masa lalu.
“Masa lalu yang seperti apa?”
“Saya melabraknya di Pos Legok Leunca. Saya sudah mendaki sejak sehari sebelumnya, bersama Puspa dan Eris. Saya ingat kami menginap di Warung Hj.Mamduh lalu nekat jam 3 pagi mendaki sampai ke Pos 2. Dan menunggu Aldo dan perempuan itu di sana. Pagi-pagi saat matahari menerangi hutan,Tebak yang saya lihat?”
“Mereka mendaki sambil berpegangan tangan?”
“Ya! Kok Om Tahu…” Kara tak melanjutkan kalimatnya. Dia kaget saat Raka sudah duduk lagi di sebelahnya.”Sejak kapan di sini om? Kayaknya tadi masih di sana.” Kara menunjuk beranda.
Raka terkekeh, “Sejak wajah kamu penuh kebencian menatap gunung itu, sampai nggak sadar saya udah masuk kamar.”
Kara mencibir sebal.
“Jadi mantan suami kamu dan selingkuhannya adalah rekan sekantor…” desis Raka.
“Tipikal cinlok nggak berfaedah.” gerutu Kara.
Raka meliriknya merasa tersindir.
“Begini Om,” Kara duduk menghadap ke arah Raka. Tapi entah kenapa Raka jadi salah fokus ke dada wanita itu yang berguncang saat Kara menggerakkan tangannya. Ukurannya pas di tangan, kencang, dengan puncak yang seukuran kelereng. Enak diemu-
“Kalau,” Kara memulai argumennya, Raka langsung kembali ke realita, berupaya memusatkan perhatiannya ke wajah wanita itu lagi. “... kalau di awal kamu berdoa ke Yang Maha Kuasa untuk mendapatkan pekerjaan dengan niat untuk menghidupi keluargamu, maka gaji dari kantor itu haruslah diberikan ke keluargamu. Apabila!”
Kara berhenti sebentar sambil mengangkat telunjuknya.
“Hm… apabila?” Raka menunggu kalimat keduanya.
“Apabila kamu punya istri kedua, ya kamu harus cari kantor kedua untuk menafkahi istri kedua dari gaji di kantor ke 2. Kalau!”
“Iya… kalau?”
“Kalau kamu pakai gaji dari kantor pertamamu untuk menghidupi istri pertama sekaligus istri kedua, maka itu judulnya berubah, jadi ‘Calon Peserta Kemelaratan’. Betul?!”
“Betul sih.” Raka jawab begini tapi kini benaknya jadi penuh dengan berbagai pertanyaan.
“Dan apa hubungannya dengan pernikahan kamu yang gagal?” Tanya Raka.
“Saya menyesal membiarkannya bekerja di kantor itu. Dia bilang mau bekerja untuk menabung agar kami dapat membeli rumah di atas tanah. Dia bilang mau bekerja agar saya bisa santai di rumah, bisa make-upan yang cantik, bisa beli banyak tas, banyak sepatu, bisa makan enak. Saya Om, Saayaaa! Bukannya cewek lain!” Kara berteriak gemas.
“Di kantor yang mana pun dia bekerja ya siklusnya akan tetap seperti itu, memang udah sifatnya dia nggak cukup dengan satu pasangan.” desis Raka.
“Tapi dia minta rujuk!” seru Kara.
“Kamu mau balikan?”
“Nggak lah!!”
“Memang apa alasannya dia mau rujuk?”
“Dia bilang dia dipecat dari kantornya karena sering nggak masuk untuk mengurus perceraian kami, Sebelumnya dia kena SP karena karena saya juga melabraknya di kantor, si ani-ani lacur itu juga kena SP. Dan akhirnya posisinya diturunkan. Dia bilang dia belum dapat pekerjaan dan jadi sering memikirkan saya karena dulu saat dia masih nganggur saya sering menyemangatinya untuk tidak menyerah. Itu alasannya.”
“Receh banget alasannya.” gumam Raka.
“Ya dia memang murahan sih.”
“Kenapa kamu suka?”
“Sekarang setelah dipikir-pikir lagi, kenapa ya dulu saya bucin banget ke dia?”
“Saya Juga sering mikir begitu.”
“Om ini posesif katanya.”
“Begitu katanya.”
“Hm…”
“Hm.”
mereka terdiam sejenak untuk menelaah yang telah terjadi di masa lalu.
“Saya posesif karena khawatir dan tingkahnya sering mencurigakan.” gumam Raka akhirnya.
“Saya juga. Dia bilang wajar memiliki rekan akrab yang lawan jenis.” sahut Kara.
“Betul, apalagi dia marketing. Wajar kalau terlihat merayu klien.” Raka teringat akan Caitlyn
“Iya. dan Aldo itu manajer, wajar kalau dia punya anak buah wanita yang agak-agak genit karena terbiasa merayu nasabah untuk taruh dana di bank.”
“Ho’oh. Tapi wajarkah kalau menginap di hotel berduaan sekamar?” gumam Raka
“Atau naik gunung setenda berdua aja?” tambah Kara
“Dia bilang saya posesif? Karena mencurigainya?”
“Dia bilang saya lebay, karena khawatir dengannya.”
“Hm..”
“Hm.”
“Kita salah nggak sih?” mereka saling tanya berbarengan.
dan saling tatap dengan memicingkan mata.
Lalu mereka kembali terdiam sambil menatap ke arah pegunungan.
ketahuan
udahhhh
gas.. dapat restu dr sahabat dan seng mantan gebetan
jutek, g senyum, ngomong asal2an. dari novel ini saya belajar cara bersikap, belajar bahasa2 gaul, singkatan gaul yg saya juga g paham bahasa anak muda sekarang.
keren bagus novelnya
buaaagusssss
Beraninya sm perempuan? di depan umum lagi? Waahhh kasus inih! 😠🤨🧐