Azam tak pernah menyangka, pernikahan yang ia jalani demi amanah ayahnya akan membawanya pada luka paling dalam. Nayla Azahra—wanita cantik dengan masa lalu kelam—berusaha menjadi istri yang baik, meski hatinya diliputi ketakutan dan penyesalan. Azam mencoba menerima segalanya, hingga satu kebenaran terungkap: Nayla bukan lagi wanita suci.
Rasa hormat dan cinta yang sempat tumbuh berubah menjadi dingin dan hampa. Sementara Nayla, yang tak sanggup menahan tatapan jijik suaminya, memilih pergi. Bukan untuk lari dari kenyataan, melainkan untuk menjemput hidayah di pondok pesantren.
Ini adalah kisah tentang luka, dan pencarian makna taubat. Tentang wanita yang tak lagi ingin dikenal dari masa lalunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Doa dalam Pelukan Langit
Langit Jogja malam itu gelap sempurna. Hujan rintik turun pelan-pelan, seperti ikut mengamini setiap helaan napas dua insan yang bersujud dalam keheningan rumah kecil di sudut kota. Jam menunjukkan pukul 02.53 dini hari—sepertiga malam, waktu mustajab untuk jiwa yang lelah, dan hati yang mencari pulang.
Di sudut kamar, dua sajadah terbentang. Di atasnya, dua manusia duduk bersimpuh. Nayla dalam balutan mukena putih yang sudah basah air mata. Azam di sebelahnya, masih memeluk Al-Qur’an di dadanya, seakan mencoba menahan hancurnya batin yang tak sanggup menatap wajah istrinya saat tangis itu pecah tanpa suara.
“Allahu...” bisik Nayla lirih, seperti merintih. “Jika hati ini belum cukup bersih untuk menerima takdir-Mu, ajari kami ikhlas. Jika rahimku tak Kau pilih sebagai taman surga kecil, ajari kami cara lain mencintai-Mu lewat anak-anak yang Kau titipkan di jalanan...
Di atas sajadah yang telah basah oleh air mata, Nayla tertunduk. Tubuhnya gemetar, dada sesak oleh sesal yang tak pernah benar-benar pergi. Malam telah larut, namun hatinya jauh lebih gelap dari langit di atas sana. Tangannya gemetar menggenggam tasbih, tapi bibirnya terus bergetar memanggil nama Tuhan.
“Ya Allah...
Tuhan yang Maha Pengampun atas segala dosa...
Tuhan yang lebih mengetahui luka di dada ini daripada aku sendiri.
Aku datang dalam sepertiga malam-Mu, membawa kehinaan dan air mata yang tak pernah kering.
Ya Allah...
Ampuni aku.
Ampuni aku yang telah membunuh cahaya dalam rahimku.
Aku yang dulu begitu buta...
Yang begitu dungu, yang begitu tunduk pada ancaman manusia.
Ya Rabb...
Hari ini, aku tahu betapa mulianya menjadi seorang ibu.
Betapa indahnya menanti kehidupan tumbuh dari tubuhku sendiri.
Tapi aku telah mengubur kesempatan itu dengan tanganku sendiri.
Aku berdosa, Ya Allah... Aku berdosa...
Setiap kali kulihat seorang bayi, hatiku seperti diiris.
Setiap tangisan anak kecil menusuk ulu hatiku.
Setiap sujudku selalu kutitipkan rindu pada anak-anakku yang tak sempat kulahirkan.
Ya Allah...
Apakah mereka membenciku di alam sana?
Atau... apakah mereka masih mau memanggilku Ibu di akhirat nanti?
Aku tak pantas berharap surga, Ya Allah...
Tapi jika boleh aku meminta,
jangan biarkan mereka membenciku.
Jangan biarkan mereka berpaling dariku di Mahsyar nanti.
Ya Allah...
Izinkan aku menebus dosaku dengan cinta.
Izinkan aku mencintai anak-anak lain yang Kau titipkan di bumi ini,
meski bukan dari rahimku, tapi dari kasihku yang ingin menebus semua dosa.
Aku tidak akan pernah lelah menangis di hadapan-Mu, Ya Rabb...
Sampai Engkau menghapus beban ini dari hatiku,
atau sampai Engkau mencatat air mataku sebagai syafaat di yaumil akhir nanti.”
Tangisnya pecah.
Azam tak kuat. Ia beralih, merengkuh tubuh Nayla ke dalam pelukannya. Tangannya menggigil, hatinya gemetar.
“Cukup...Nay...” lirih Azam, suaranya pecah. “Maaf..Aku bukan suami yang kuat. Untuk menyembuhkan lukamu,"
Nayla mendekap punggung Azam, memeluk lebih erat. “Kamu sudah sangat kuat, Mas... Kamu bahkan memilih menanggung luka itu sendiri, hanya agar aku tidak runtuh. Tapi... kita tak harus sembunyi dari luka. Kita bisa menangis bersama, bisa bersedih bersama.”
Tangis mereka berpadu. Di bawah cahaya remang lampu, dan suara rintik hujan yang makin deras, keduanya saling menumpahkan rasa—cinta, rindu, harap, dan takut. Tapi dalam pelukan itu, Allah hadir sebagai penguat.
“Jangan terus bersedih, kita bisa mulai rawat cinta ini...dengan keikhlasan” bisik Azam. “Kita doakan tiap malam, kita basuh luka ini dengan sabar. Jika Allah izinkan, Dia akan titipkan malaikat kecil itu dalam bentuk lain. Dan bila tidak pun, cukup ada kamu... itu sudah cukup bagiku untuk menjadi ayah, walau tanpa anak.”
Nayla memeluk Azam lebih erat, dan untuk pertama kalinya dalam banyak malam, tangisnya tak menyakitkan—tapi menenangkan. Karena ia tahu, pelukan ini bukan sekadar cinta seorang suami, tapi perisai yang Allah kirimkan untuk menjaga hati yang telah rapuh dan kini perlahan menguat kembali.
Pagi mulai turun perlahan di langit Jogja. Di teras rumah yang tenang itu, Nayla duduk di kursi, tangannya bermain dengan ujung jilbabnya, sementara Azam sedang membereskan dokumen di meja kecil di sebelahnya.
Setelah diam cukup lama, Nayla akhirnya bersuara.
“Mas,” kata Nayla, Azam menoleh, “Aku ingin terus mengajar anak-anak itu. Aku ingin membesarkan mereka dengan cinta yang dulu tak pernah kuterima. Aku ingin jadi ibu, walau bukan dari rahimku.”
Azam menatap istrinya lama, lalu mengusap kepalanya dengan lembut. “Allah telah menjadikanmu ibu, Nay… ibu dari banyak hati yang kini bergantung pada senyummu. Aku bangga padamu.”
Malam itu, Nayla menangis. Bukan karena sedih, tapi karena akhirnya ia menyadari, ia tidak kehilangan segalanya.Allah hanya mengalihkannya… menuju cinta yang lebih luas, menuju peran yang lebih dalam.
Setiap Jumat dan Sabtu, Nayla akan bangun lebih awal dari biasanya. Ia mengenakan gamis sederhana, menyampirkan tas berisi buku-buku cerita, kertas gambar, dan beberapa alat tulis berwarna. Di halaman kecil di bawah jembatan layang kota Jogja, ia kini menjadi sosok yang selalu dinanti.
Anak-anak jalanan yang sebelumnya liar dan enggan disentuh oleh aturan, kini dengan senyum ceria menyambut langkah Nayla. “Bu Guru Nayla datang!” teriak salah satu bocah, sambil menggandeng tangan kecil temannya.
Nayla tersenyum. Matanya berbinar, hatinya hangat.
Di tempat itulah, ia merasa hidupnya utuh. Di mata anak-anak yang penuh harap itu, Nayla melihat dirinya—yang pernah tersesat, pernah ditinggalkan, namun kini belajar mencintai dan dicintai tanpa syarat.
Azam tak pernah menahan. Ia tahu, itu bentuk ikhtiar Nayla untuk tetap utuh meski rahimnya tak lagi mampu melahirkan. Karena sejatinya, seorang ibu bukan hanya soal darah dan daging. Tapi juga tentang hati yang bersedia menjadi pelabuhan kasih.
aku juga 15th blm mendapatkan keturunan