Ini tentang gadis ambigu yang berhasil merayakan kehilangannya dengan sendu. Ditemani pilu yang tak pernah usai menyapanya dalam satu waktu.
Jadi, biarkan ia merayakannya cukup lama dan menikmatinya. Walau kebanyakan yang ia terima adalah duka, bukan bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raft, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Caraku mencintaimu - 21
...Telinga ini akan selalu tertutup bagi orang yang membuat Ibu terluka. ...
...Termasuk ayah. ...
***
Rupa tidak selalu menjadi alasan seseorang mencinta, ada juga yang saling mencintai lewat kata, atau bahkan caranya bersikap dengan sesama.
Seperti halnya hati Rey yang mulai tertarik kepada Rai lewat kalimatnya, yang selalu membuat pemikirannya mulai terbuka.
"Buku apa aja boleh, 'kan?"
Rai begitu sibuk melihat tumpukan buku yang ditata begitu rapih oleh pihak toko, sembari sesekali membaca sinopsis yang ada di belakang sampul buku.
"Iya, buku apapun itu. Dan berapapun jumlahnya."
Rai melihat Rey dan mengerutkan kedua alisnya heran. "Ada apa, nih? Kok tiba-tiba baik banget mau traktir buku semau aku?"
Rey mengangkat sebelah alisnya. "Emang kenapa? Gak boleh?"
"Bukan gak boleh. Tapi aku tanya alasannya apa."
Rey mengambil asal buku di sampingnya, dan mengangkat itu ke hadapan Rai. "Lo suka ini, 'kan?"
Rai bergumam sembari mengangguk pelan.
"Waktu kita ke perpustakaan di sekolah, lo terus senyum sambil liatin buku ini."
Rey tersenyum setelahnya. "Dan gue pengen liat senyuman itu, lagi."
Darahnya berdesir hebat ketika melihat senyuman itu terbit tanpa Rai pinta. Detak jantungnya juga sekarang tak bisa ia kendalikan seperti biasa. Jangan lupakan rona merah di pipinya yang tiba-tiba ada.
Rey yang melihat jika pipi Rai memerah tertawa renyah. "Cie salting." Ucapnya setelah selesai tertawa.
Rai menggeleng, dan membawa tatapannya ke lain arah, asal jangan ke arah Rey yang terlihat tampan dari biasanya. Astaga. "Apaan? Enggak! Udah ah, ayok jalan lagi!"
Rey hanya tersenyum melihat kebohongan yang terlihat sangat nyata itu, dan setelahnya ia mulai mengikuti langkah Rai dari belakang dengan senyum yang masih mengembang.
Baru beberapa langkah, Rai tiba-tiba menghentikannya. Membuat Rey hampir menubruk tubuhnya. "Kenapa?"
Ketika dilihat, Rai ternyata sedang membaca halaman belakang dari buku yang sedang ia pegang.
"Ini kayaknya bagus, deh! Tapi kayaknya banyak bawangnya. Menurut kamu baca atau gak usah, ya?" Tanya Rai sembari menunjukkan buku bersampul biru muda yang menawan mata.
'Kalau senja saja bisa membuatmu jatuh cinta, lantas kenapa aku tidak?
Dan dari ribuan rintik hujan yang berjatuhan, selalu ada aku yang mengharapkan kamu kembali, walau nyatanya itu tidak mungkin terjadi.
"Kenapa kamu itu duka?" Tanyaku kala itu, sembari melihat wajah sendu milikmu.
"Karena sebentar lagi, aku akan membuatmu menangis tanpa jeda."
Aku sempat meragu dengan jawabanmu. Tapi ternyata, kamu memang membuatku menjadi manusia paling berduka atas kepergianmu.'
Isinya seperti itu.
"Beli aja. Gue juga penasaran gimana alurnya."
"Beli dua berarti, ya?"
Rey mengangguk yang membuat Rai senang karena mendapatkan buku dengan percuma.
"Let's go ke kasir!" Teriaknya sembari mengangkat dua buku yang akan mereka beli.
"Gak akan beli yang lain lagi?"
Rai menggeleng, karena menurutnya ini sudah lebih dari cukup. Satu buku saja harganya hampir seratus ribu, mana berani ia mengambil dua.
"Ini aja. Ayok!"
***
Ketika Ibunya masih ada, Angkasa selalu ditanya tentang perasaannya ketika pulang sekolah. Dan ia merasa dejavu ketika Ibu tirinya melakukan hal yang sama.
Tapi tetap saja, rasanya berbeda.
Ia lebih suka Ibunya yang melakukan itu.
"Ada yang mau kamu bagi tentang rasa hari ini, Sa?"
Yang Angkasa lakukan hanya pura-pura tak mendengar. Ia malas untuk berbagi cerita dengan orang yang sudah merusak keluarganya.
Sang Ayah yang kebetulan sedang ada di rumah, akan menjadi garda terdepan untuk membela orang asing ini.
"Sa, kamu ditanya."
Angkasa menghentikan langkahnya dan menatap Sang Ayah tak suka.
"Ayah lupa kalau Angkasa gak akan pernah anggap mereka ada? Termasuk suaranya."
Pertanyaan itu membuat Ayah marah. Tentu saja, Angkasa sudah menebaknya.
"Dia Ibu kamu, Angkasa!" Teriaknya membuat Rindu keluar dari kamar.
Angkasa menggelengkan kepala "Ibu Angkasa bukan dia. Ibu Angkasa itu perempuan hebat yang selalu kuat walau dia dikhianati sama suaminya sendiri, demi perempuan ini." Ucapnya sembari menunjuk Ibu Rindu dengan jempol kanannya.
Ayah mulai maju mendekati Angkasa, dengan tangannya yang terkepal kuat menahan amarah.
Ya, Angkasa tau dia salah. Tapi bayangan ketika Ibunya menangis membuat rasa bersalah itu seketika hilang begitu saja. Ibunya lebih terluka dibandingkan dengan kalimat yang ia paparkan kepada ayahnya sekarang.
"Sa, ini bukan salah mereka. Jangan anggap mereka gak ada. Yang harusnya kamu anggap gak ada itu Ayah."
Dengan tatapan tajamnya Angkasa menjawab. "Ayah sama mereka itu sama aja. Sama sama manusia gak punya hati yang nyakitin Ibu tanpa rasa bersalah."
Ayah masih berusaha sabar disini, berulang kali ia menghembuskan napasnya untuk menenangkan dirinya sendiri.
"Ada alasan di balik ini semua. Tapi Ayah belum siap ngasih tau kamu."
Angkasa tersenyum miring, ia muak dengan alasan yang sama ketika perselisihan seperti ini terjadi.
"Omong kosong."
Angkasa langsung mengakhiri obrolan dengan cara pergi keluar, tanpa berganti pakaian. Ia akan ke rumah Rey untuk kembali menenangkan diri.
"Mau kemana lagi kamu? Baru pulang malah keluar lagi."
"Bukan urusan Ayah!"
Respon Angkasa membuat Ayah menghela napas panjang.
"Kita gak bisa gini terus, Mas. Angkasa harus tau alasan kita nikah waktu itu."
Ayah hanya mengangguk dengan senyuman yang membuat Istrinya itu merasa tenang. "Iya, dalam waktu dekat ini. Aku bakal kasih tau dia."
***
Rai merasa jika Rey melambatkan lajunya. Soalnya dari tadi tidak sampai-sampai, heran Rai jadinya.
Padahal jarak dari toko buku ke rumah mereka tidak jauh jauh amat.
"Rey ini kamu kok ngejalaninnya kayak siput? Nanti sampenya maghrib lagi." Teriaknya dari jok belakang membuat Rey tertawa ringan.
"Lambat asalkan selamat."
"Tau, tapi ini lambatnya kebangetan. Sini coba, biar aku aja yang nyetir."
Dari kaca spion, Rey bisa melihat Rai sedang mengeluarkan ekspresi kesalnya. "Gak usah. Biar gue aja. Pegangan." Modusnya.
Tapi Rai hanya memegang pundak Rey dengan erat. Membuat ekspektasi Rey harus sirna begitu saja.
Kali ini mereka melaju tanpa obrolan, membiarkan angin menjadi pemenang dari suara yang bisa mereka dengar. Hingga tak terasa mereka telah sampai.
"Nah gitu, dong! Lama banget dari tadi. Pegel aku duduk soalnya." Ucap Rai sembari melepas helm milik Renata.
"Iya iya sorry."
"Nih helmnya! Makasih banyak ya udah di traktir buku!" Ucap Rai sembari mengangkat paper bag berisi buku yang baru mereka beli.
"Iya. Jangan lupa dibaca tuh buku."
"Pasti! Ya udah, aku masuk, ya!"
Rey mengangguk, membuat Rai tersenyum dan membalikkan badan.
Tapi suara Angkasa yang memanggil mereka membuat Rai mengurungkan niatnya. Mereka malah kompak melihat Angkasa yang sedang mengendarai motornya mendekat.
"Darimana?" Tanya Angkasa setelah mematikan motornya dan sudah berada di antara mereka.
"Toko buku, aku ditraktir sama Rey." Balas Rai dengan bangga sembari menunjukkan tote bagnya.
"Widih, gercep juga, ya?" Angkasa menyenggol lengan Rey pelan, membuat Rey hanya menatapnya datar.
"Ah iya, Rey. Gue kesini buat biasa. Hehe. Boleh, 'kan?"
Rey mengangguk, membuat senyum Angkasa terbit begitu saja.
"Aku masuk dulu, ya!"
Rai sudah tidak tahan dengan dirinya yang penuh keringat, ia ingin segera berendam.
"Iya." Balas Angkasa dan Rey bersamaan.
Setelah Rai masuk ke dalam, kedua lelaki itu juga mulai melangkah bersamaan.
"Good Boy! Perjuangin terus." Ucap Angkasa bermaksud menyemangati, sembari menepuk pundak Rey pelan.
Dan Rey hanya tersenyum sebagi respon yang diberikan.
Ya, Rey akan berusaha membuat Rai menjadi miliknya. Walau ia tau, jika dirinya tak memiliki waktu yang banyak untuk terus berada disini.
***
^^^25-Mei-2025^^^