Sila, seorang gadis karier dari dunia modern yang tajam lidah tapi berhati lembut, terbangun suatu pagi bukan di apartemennya, melainkan di sebuah istana mewah penuh hiasan emas dan para pelayan bersujud di depannya—eh, bukan karena hormat, tapi karena mereka kira dia sudah gila!
Ternyata, Sila telah transmigrasi ke tubuh seorang selir rendahan bernama Mei Lian, yang posisinya di istana begitu... tak dianggap, sampai-sampai namanya pun tidak pernah disebut dalam daftar selir resmi. Parahnya lagi, istana tempat ia tinggal terletak di sudut belakang yang lebih mirip gudang istana daripada paviliun selir.
Namun, Sila bukan wanita yang mudah menyerah. Dengan modal logika zaman modern, kepintarannya, serta lidah tajamnya yang bisa menusuk tanpa harus bicara kasar, ia mulai menata ulang hidup Mei Lian dengan gaya “CEO ala selir buangan”.
Dari membuat masker lumpur untuk para selir berjerawat, membuka jasa konsultasi percintaan rahasia untuk para kasim.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Keesokan harinya, istana gempar.
Pasukan penjaga kerajaan bersiap. Para menteri bersidang. Kaisar sendiri tampak gelisah.
Suku Lang, dikenal sebagai suku kuat dengan kekuatan fisik luar biasa, dikenal tak mudah ditaklukkan dengan senjata saja.
“Kita harus kirim pasukan lebih banyak!” seru Panglima Rui.
Tapi sebelum Kaisar menjawab, suara lembut namun yakin menyela.
“Bagaimana jika kita kirim makanan saja?”
Semua menoleh.
Mei Lin berdiri di pintu aula.
“Makanan?” gumam Kaisar.
Mei Lin melangkah pelan. “Suku Lang terkenal keras dan kuat. Tapi bukan berarti mereka tak punya rasa lapar. Jika mereka datang dengan amarah, maka kita suapi dengan kehangatan. Aku akan buat makanan yang membuat mereka… berpikir dua kali sebelum maju.”
Strategi Sup Asam Manis
Selama tiga hari, dapur rahasia Mei Lin bekerja tanpa henti. Mereka membuat ribuan porsi makanan khusus: sup tulang lembu asam manis dengan rempah hangat dan sayuran akar gunung.
Setiap porsi dibungkus dalam daun teratai dan dikirim ke titik perbatasan—oleh utusan berpakaian netral, bukan pasukan kerajaan.
Di dalamnya disisipkan pesan dari ‘rakyat kota timur’:
"Kami tidak mengenal kalian, tapi kami tahu rasa lapar. Kami membagikan ini sebagai sesama manusia yang takut perang."
Kaisar sempat ragu.
Namun tiga hari kemudian… utusan kerajaan kembali dengan kabar luar biasa.
“Pasukan Suku Lang… mundur.” seru urusan kerajaan
Kaisar berdiri dari singgasananya. “Apa?!”
Utusan mengangguk. “Pemimpin mereka berkata, belum pernah dalam hidup mereka mencicipi kuah sehangat itu. Mereka memilih menunggu… dan mengirim utusan damai.”
Ibu Suri tertawa hingga air matanya keluar. “Selir satu ini… bisa mengalahkan perang dengan kuah!”
Selir yang Ditakuti dan Dicintai
Hari itu, para pejabat dan prajurit mulai memandang Mei Lin bukan sebagai wanita istana biasa, tapi sebagai penyelamat yang berpikir cepat dan bertindak cerdas.
Sementara di aula para selir…
“Dia bukan selir, dia tukang masak dengan mulut licin!” desis salah satu.
“Aku lebih baik membuat patung dari mentega daripada bersaing dengannya,” keluh yang lain.
Namun tak satu pun yang bisa membantah—Mei Lin kini bukan hanya bintang istana… tapi sudah menyentuh hati rakyat.
Malam Tenang di Balkon
Qin Mo menatap Mei Lin yang duduk di ujung balkon, menatap bulan.
“Anda tahu, nona Mei Lin… nona satu-satunya selir yang bisa memukul musuh dengan sendok.” ujar Qin Mo
Mei Lin tertawa pelan. “Aku belum pernah menang angkat pedang… tapi mungkin, satu mangkuk kuah hangat lebih tajam dari pisau.”
Qin Mo mengangguk. "Anda benar.”
Lalu mereka terdiam.
Namun satu hal pasti.
Kaisar, rakyat, dan bahkan musuh kini tahu…
Selir Mei Lin bukan selir biasa.
Keesokan harinya
“Yang Mulia Kaisar!”
Seorang utusan datang berlari ke aula utama, napasnya tersengal dan wajahnya penuh kecemasan.
“Desa Hua di selatan terkena wabah… penyakit kulit yang membuat para petani tak bisa bekerja. Lumbung mereka pun kosong. Kelaparan menyebar!”
Kaisar berdiri dengan wajah gelap.
“Panggil semua tabib kerajaan! Kita harus segera kirim bantuan.”
Namun di tengah keramaian para pejabat yang mulai ribut mengusulkan ini dan itu, seorang wanita berselendang hijau melangkah ringan ke tengah aula.
Tentu saja—Selir Mei Lin.
"Anda lagi…” bisik salah satu pejabat senior. “Tak cukup menghentikan perang dengan sup, sekarang mau menantang penyakit?”
Mei Lin tersenyum manis.
“Penyakit bisa diobati, Tuan Menteri. Tapi ketakutan lebih cepat menular jika kita hanya saling berteriak tanpa solusi
Perjalanan Rahasia ke Desa Hua
Mei Lin meminta izin langsung pada Kaisar. Bukan sebagai selir. Tapi sebagai utusan penyelamat.
“Aku ingin pergi ke desa itu,” ujarnya mantap. “Tapi tidak sebagai bangsawan. Izinkan aku menyamar dan membawa beberapa pengawal serta tabib istana.”
Kaisar menatap dalam.
“Kau tahu risikonya?”
Mei Lin mengangguk. “Tapi lebih berisiko membiarkan rakyat mati perlahan.”
Qin Mo, yang berdiri di sisi, sudah mengemasi perlengkapan bahkan sebelum Mei Lin selesai bicara. “Kami siap.”
Sesampainya di desa Hua, mereka disambut pemandangan yang memilukan.
Anak-anak kurus kering, warga dengan ruam dan luka di tubuh, serta ladang kering tak terurus. Wabah membuat para petani takut bersentuhan, dan kelaparan menambah penderitaan.
Namun Mei Lin tidak panik.
Pertama-tama, ia membuka dapur umum sederhana dari gerobak bekal yang dibawa. Ia mulai memasak bubur beras hangat dengan daun herbal penurun panas dan penambah imun. Hasil risetnya sendiri dari buku perpustakaan kota yang ia pinjam diam-diam.
“Satu mangkuk untuk setiap keluarga, pagi dan malam!” perintahnya.
Tabib istana yang ikut serta mengobati luka-luka, tapi hasilnya tidak signifikan… hingga Mei Lin menemukan catatan kuno dari lumbung desa.
“Dulu… ada mata air tua yang dipercaya menyembuhkan luka dan menyehatkan kulit,” gumamnya sambil membaca gulungan lusuh.
Qin Mo langsung memimpin tim kecil mencari mata air itu di kaki bukit.
Dan betul saja—mata air itu masih mengalir, meski tertutup ilalang.
Mei Lin langsung memerintahkan: “Kita alirkan air ini ke desa! Bersihkan luka dengan air ini, lalu makan bubur herbalku. Aku ingin laporan tiap dua hari.”
Penyebar Ketakutan
Namun, tak semua senang dengan kedatangan Mei Lin.
Di desa itu, seorang mantan pejabat lokal bernama Wu Fan diam-diam menyebar isu:
“Itu semua akal-akalan selir kerajaan! Mereka tak peduli rakyat, hanya ingin pujian!”
Tapi sayangnya bagi Wu Fan, ia ketahuan mencuri bahan makanan bantuan dan menjualnya ke pedagang luar desa.
Dengan bukti di tangan, Qin Mo menyeretnya ke tengah alun-alun dan membacakan hukuman.
“Atas pengkhianatan dan penghambatan bantuan kerajaan, kau dihukum penjara seumur hidup!”
Rakyat pun bersorak lega.
Dan Mei Lin?
Ia hanya mengangkat alis. “Lain kali, jangan menantang perempuan yang bisa mengalahkan perang dengan mie.”
Tiga minggu setelah misi itu, desa Hua mulai pulih.
Wabah tak menyebar, luka mulai sembuh, dan ladang kembali ditanam.
Kabar tentang keberhasilan Selir Mei Lin menyebar hingga ke kota utama dan akhirnya masuk ke telinga Kaisar.
Ia segera memanggil menterinya.
“Aku ingin kunjungan ke desa Hua. Kali ini bukan untuk menyamar… tapi untuk memberi penghargaan.”
Rasa yang Tak Bisa Dibeli
Hari itu, Kaisar tiba di desa bersama rombongan kecil. Warga sudah menyiapkan penyambutan sederhana: kain merah tergantung, anak-anak bernyanyi, dan… panci besar berisi bubur herbal Mei Lin.
“Izinkan kami menyajikan bubur penyelamat,” kata kepala desa.
Kaisar mencicipi satu sendok, lalu tersenyum kecil. “Hangat… dan penuh rasa kasih.”
Mei Lin yang berdiri di sisi hanya tertawa pelan.
“Siapa sangka, satu panci bubur bisa menyelamatkan satu desa.”
Ibu Suri dan Surat Rahasia
Sementara itu, di istana, Ibu Suri menerima surat rahasia dari seorang pelayan kepercayaannya yang ikut ke desa.
Isinya hanya satu kalimat:
"Putra Anda bisa mengandalkan banyak orang, tapi hanya satu yang bisa menyelamatkan nyawa dengan masakan: Selir Mei Lin."
Ibu Suri tersenyum kecil. “Akhirnya, istana punya mutiara yang tak hanya cantik, tapi juga berguna.”
Selir-Selir yang Tersingkir
Saat Mei Lin kembali ke istana, ia disambut dengan senyum manis dan… tatapan penuh bara dari para selir lainnya.
“Dia lagi…”
“Tidak cukup jadi penyelamat istana, sekarang dia juga penyelamat desa?!”
Namun tak satu pun yang bisa menyaingi kenyataan: Kaisar yang sudah pulang duluan pun sekarang menyambut Mei Lin langsung di gerbang istana dengan ucapan,
“Selamat datang, penyelamat rakyatku.”
Dan dengan itu, pengaruh Mei Lin… semakin kuat.
Bersambung
semoga sampe tamat ya Thor 🥰🥰
semangat nulisnya...
sehat selalu ya 🥰🥰