NovelToon NovelToon
Pernikahan Balas Dendam

Pernikahan Balas Dendam

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikah Kontrak / Pernikahan Kilat / Cinta Paksa / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:282
Nilai: 5
Nama Author: arinnjay

Seorang wanita cantik dan tangguh bernama Arumi Pratama putri tunggal dari keluarga Pratama.
Namun naas suatu kejadian yang tak pernah Arumi bayangkan, ia dituduh telah membunuh seorang wanita cantik dan kuat bernama Rose Dirgantara, adik dari Damian Dirgantara, sehingga Damian memiliki dendam kepada Arumi yang tega membunuh adik nya. Ia menikah dengan Arumi untuk membalas dendam kepada Arumi, tetapi pernikahan yang Arumi jalani bagaikan neraka, bagaimana tidak? Damian menyiksanya, menjadikan ia seperti pembantu, dan mencaci maki dirinya. Tapi seiring berjalannya waktu ia mulai jatuh cinta kepada Damian, akankah kebenaran terungkap bahwa Arumi bukan pelaku sebenarnya dan Damian akan mencintai dirinya atau pernikahan mereka berakhir?
Ikutin terus ceritanya yaa

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arinnjay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23: Rumah Yang Kita Bangun

Rumah kecil itu tak lagi sama sejak Arsha lahir. Suaranya kini selalu diisi tangisan, tawa kecil, suara botol sterilizer yang berbunyi tiap malam, dan suara Damian yang mencoba menyanyikan lagu anak-anak dengan nada sumbang.

Pagi itu, matahari sudah meninggi saat Arumi baru saja berhasil menidurkan Arsha. Napasnya masih tersengal. Di bawah matanya, lingkar gelap sudah mulai membentuk setengah lingkaran sempurna. Rambutnya diikat seadanya, dasternya kusut, dan kakinya belum menyentuh air hangat sejak kemarin sore.

Ia terduduk di tepi ranjang, memandangi putranya yang kini sudah berumur satu bulan lebih. Tubuh mungil itu berbalut selimut tipis, dan dada kecilnya naik-turun pelan. Damai sekali. Seolah dunia berhenti saat melihatnya tertidur.

Tapi saat Arumi hendak beranjak, suara pelan tangisan kembali terdengar.

“Ya Allah… baru juga duduk,” gumamnya pelan, nyaris putus asa.

Damian muncul di ambang pintu, masih dengan wajah kusut dan rambut acak-acakan. Tapi di tangannya ada segelas teh hangat dan sepotong roti panggang.

“Sayang… kamu udah makan belum?” tanyanya dengan suara serak.

Arumi menoleh, nyaris menangis karena bahagia. Ia mengangguk pelan. “Baru sempat minum air putih.”

Damian duduk di sebelahnya. Ia menyuapkan roti itu ke mulut Arumi. “Kalau kamu tumbang, kita semua juga tumbang. Ini ayah dan ibu dari Arsha. Gak boleh ada yang kalah.”

Arumi mengunyah perlahan, lalu bersandar di bahu suaminya. “Mas… aku gak nyangka jadi ibu itu... segini capeknya.”

Damian mengelus bahunya. “Gak ada yang nyangka, bahkan YouTube parenting pun gak bisa jelasin semuanya. Tapi kamu hebat banget, tahu gak?”

Arumi tertawa lirih. “Aku ngerasa gagal tiap hari. Arsha nangis, aku panik. Aku gak tahu kadang dia haus atau cuma butuh digendong. Kadang aku cuma duduk dan nangis karena capek.”

Damian menatap wajah Arumi lekat-lekat, lalu mengecup keningnya. “Justru itu artinya kamu ibu yang luar biasa. Karena kamu peduli. Karena kamu terus coba, walau kamu capek banget.”

Arumi menutup matanya, mencoba menyerap kata-kata suaminya. Ada rasa lega. Ada rasa... tidak sendiri.

---

Hari-hari berlalu seperti mimpi setengah sadar. Arumi belajar tidur dalam interval 1,5 jam. Damian mulai kembali bekerja dari rumah, membagi waktu antara zoom meeting dan mengganti popok.

Kadang, Damian menyelesaikan laporan sambil menggendong Arsha yang rewel di pundaknya. Tangannya di keyboard, mulutnya bersenandung pelan lagu Nina Bobo. Kadang suaranya fals, tapi Arsha tetap diam. Entah karena nyaman, atau karena sudah menyerah.

Di malam hari, mereka berbagi giliran. Damian yang dulu susah bangun pagi, kini bangun setiap dua jam sekali tanpa alarm. Arumi yang dulu panik kalau mendengar bayi menangis, kini bisa membedakan tangisan lapar, tangisan lelah, dan tangisan "cuma pengen digendong aja".

Tapi kelelahan tetap datang.

Suatu malam, Arumi berdiri diam di dapur. Tatapannya kosong. Tangan kirinya menggenggam botol susu, tangan kanan memegang termos.

Damian yang lewat terhenti.

“Sayang... kamu kenapa?”

Arumi menoleh lambat, lalu berkata pelan, “Aku bahkan lupa tadi aku udah nyuci botol atau belum.”

Damian langsung menghampiri, memeluknya dari belakang.

“Kita rehat yuk. Kamu ke kamar, aku yang lanjut urus semua malam ini.”

Arumi menggeleng. “Enggak, mas. Aku cuma... kayak kehilangan diri sendiri.”

Damian terdiam. Ia tahu betul, ini bukan soal botol susu. Ini soal identitas, soal ruang personal, soal hidup yang dulu rasanya masih milik sendiri—dan sekarang seolah seluruhnya untuk bayi mungil itu.

“Arumi… aku tahu kamu kehilangan banyak hal. Waktu tidur, waktu me-time, bahkan mungkin perasaan sebagai ‘diri sendiri’. Tapi percaya deh, kamu lagi membangun sesuatu yang jauh lebih besar. Kamu lagi bangun rumah... bukan rumah dari bata, tapi rumah dari cinta.”

Air mata Arumi jatuh satu-satu.

Damian menatap matanya, lembut. “Dan kamu gak sendiri. Rumah ini kita bangun berdua.”

---

Akhir pekan itu, Damian memberi kejutan kecil. Ia menyewa jasa baby sitter profesional untuk tiga jam saja, dan membawa Arumi keluar rumah.

“Cuma bentar. Aku tahu kamu belum siap jauh dari Arsha terlalu lama. Tapi kamu juga butuh jadi perempuan, bukan cuma ibu.”

Arumi tersentuh. Ia berdandan seadanya—lip balm, alis disikat, dan baju kasual longgar. Damian menggandeng tangannya, seperti dulu waktu mereka pacaran diam-diam di tengah konflik keluarga.

Tujuan mereka sederhana: kedai kopi kecil di pinggiran kota. Tempat itu tenang, dikelilingi pepohonan. Ada alunan musik lembut dan aroma kopi yang menenangkan.

Mereka duduk berhadapan. Untuk pertama kalinya sejak Arsha lahir, mereka bisa bicara tanpa harus tergesa atau disela tangisan.

“Aku kangen ngobrol kayak gini,” kata Arumi.

Damian mengangguk. “Aku juga. Aku kangen lihat kamu ketawa karena obrolan gak penting. Bukan karena Arsha buang air pas gendongan.”

Arumi tertawa. “Kita beneran jadi orang tua ya.”

“Tapi kita juga tetap jadi kita. Damian dan Arumi. Pasangan yang dulu penuh luka, tapi milih buat saling sembuhin.”

Mereka diam sejenak, menikmati suasana. Lalu Damian membuka dompetnya dan mengeluarkan sesuatu—sebuah foto kecil Arsha dalam balutan selimut biru.

“Kalau nanti kita tua, kamu lihat ini, dan kamu ingat hari-hari kita bertahan.”

Arumi menatap foto itu, lalu Damian. “Mas…”

“Ya?”

“Terima kasih udah tetap di sini. Tetap pilih aku, meski kadang aku berantakan, lelah, dan gak semanis dulu.”

Damian memeluk tangan Arumi di atas meja. “Dan terima kasih karena kamu bertahan. Karena kamu gak pergi.”

---

Malam itu, setelah kembali ke rumah, mereka menemukan Arsha masih tertidur dengan tenang di kamar. Rumah sepi, lampu malam menyala lembut. Damian mematikan ponsel, lalu menggandeng Arumi ke balkon.

Di sana, di bawah cahaya bintang yang redup, mereka berdiri bersebelahan.

“Aku nggak tahu besok bakal kayak apa,” kata Arumi pelan.

Damian menoleh. “Gak ada yang tahu. Tapi yang aku tahu… selama kamu masih di sampingku, aku gak takut.”

Arumi mengangguk. “Kita mungkin gak punya semua jawaban sebagai orang tua. Tapi kita punya satu sama lain.”

Mereka saling tersenyum. Tak ada janji muluk, tak ada rencana jangka panjang yang rumit. Hanya satu hal pasti: mereka memilih untuk terus berjalan. Bersama.

Dan di tengah dunia yang kadang terlalu keras, mereka tahu… cinta mereka adalah rumah yang tak pernah runtuh.

***

Pagi itu, sinar matahari pagi mengintip malu-malu lewat sela-sela tirai kamar Arumi. Udara hangat membawa aroma harum kopi yang baru saja diseduh. Damian sudah sibuk di dapur, membuatkan sarapan untuk Arumi dan dirinya sendiri. Aroma roti panggang dengan mentega cair menguar di seluruh rumah kecil mereka, memberi tanda pagi penuh semangat dan cinta.

Arumi masih terbaring di ranjang, merasakan gerakan kecil dalam perutnya yang membulat. “Hai, kamu… mau tunjukkan sesuatu ya pagi ini?” gumamnya sambil tersenyum lembut. Ia tahu, bayi kecil itu mulai semakin aktif, menandakan tanda-tanda kehidupan yang terus bertumbuh dalam rahimnya.

Damian masuk membawa nampan sarapan lengkap dengan segelas jus jeruk, telur orak-arik, dan roti panggang. Ia tersenyum lebar saat melihat wajah bahagia Arumi. “Sarapan spesial buat calon mama paling cantik di dunia,” katanya dengan suara lembut.

“Makasi, Mas. Kamu ini selalu bisa bikin aku merasa istimewa setiap hari,” balas Arumi sambil menerima nampan itu dengan tangan kecilnya yang mulai mulai sedikit gemetar karena kehamilan.

Mereka makan dengan tenang di meja makan yang menghadap taman kecil di belakang rumah. Burung-burung berkicau riang, dan udara pagi yang segar membuat suasana menjadi begitu damai. Damian sesekali mengangkat roti dan menyuapkan ke mulut Arumi, yang tak pernah bosan menerima perhatian manis itu.

Setelah sarapan, Damian membantu Arumi berdiri dan menuntunnya ke ruang tamu. Mereka duduk di sofa empuk, Damian memeluk Arumi dari belakang dengan perlahan.

“Kamu tahu, aku kadang masih nggak percaya betapa beruntungnya aku punya kamu dan anak kita,” katanya pelan.

Arumi menoleh, menatap mata suaminya yang tulus. “Aku juga, Mas. Dari semua luka dan masa lalu, kamu jadi tempat aku merasa aman. Rumah aku yang sebenarnya.”

Mereka berdiam, hanya suara detak jam dinding yang menemaninya. Kadang cinta memang seperti itu—tidak selalu perlu kata-kata besar, cukup hadir dan merasakan bersama.

---

Hari-hari berlalu, kehamilan Arumi semakin besar. Damian makin perhatian, kadang sampai membuat Arumi tertawa geli. Suatu sore, mereka duduk di balkon sambil menikmati es kelapa muda.

“Mas, kamu ini kadang kayak bodyguard, kadang kayak perawat pribadi,” canda Arumi.

Damian tersenyum lebar, “Aku memang harus begitu, sayang. Kamu bawa calon pemimpin kecil keluarga kita, aku harus jadi pelindung kalian.”

Tiba-tiba Arumi merasakan tendangan kecil. “Eh, Nak, kamu nendang lagi,” ucapnya.

Damian spontan menempelkan tangan ke perut Arumi. “Halo, Nak. Daddy di sini. Kamu udah siap keluar belum?”

Arumi tertawa kecil. “Kayaknya dia pengen bilang, ‘Daddy, aku kuat, santai aja!’”

Damian menggeleng. “Santai sih santai, tapi Daddy tetap harus siap sedia.”

---

Suatu malam, saat hujan turun pelan di luar jendela, Arumi merasa sedikit gelisah. Ia duduk di kursi goyang di kamar, membiarkan Damian membacakan cerita untuknya dan calon bayi mereka. Suara Damian yang hangat dan penuh cinta membuat ketegangan di hati Arumi mereda.

“Kamu tahu, Mas, aku kadang takut… takut kalau aku nggak bisa jadi ibu yang baik,” kata Arumi pelan.

Damian meletakkan buku, lalu memegang tangan Arumi erat. “Sayang, kamu sudah jadi ibu terbaik sejak kamu memutuskan untuk membawa hidup ini ke dunia. Aku yakin kamu bisa. Aku ada di sini, kita jalani semuanya bareng-bareng.”

Mata Arumi berkaca-kaca, ia merasakan rasa aman dan cinta yang dalam dalam pelukan Damian. “Terima kasih, Mas. Aku janji bakal berusaha sebaik mungkin.”

“Dan aku juga janji akan selalu ada untuk kalian, melewati apa pun.”

---

Waktu terus bergulir. Mereka mulai menyiapkan kamar bayi dengan penuh semangat. Damian mengecat dinding dengan warna lembut, sementara Arumi sibuk memilih perlengkapan bayi.

“Aku pengen semuanya nyaman dan penuh cinta, seperti rumah kita,” kata Arumi.

Damian tersenyum dan menambahkan, “Dan kita buat tempat ini jadi tempat yang penuh tawa dan kenangan indah.”

Mereka sering menghabiskan waktu di kamar bayi, membayangkan masa depan yang penuh harapan. Sesekali Damian mengajarkan Arumi cara memandikan bayi menggunakan boneka bayi lucu yang mereka beli. Tawa kecil pun mewarnai setiap latihan itu.

---

Suatu pagi, saat Arumi tengah membersihkan rumah, tiba-tiba ia merasa kontraksi ringan. Damian yang sedang di ruang kerja langsung berlari menghampiri.

“Apa kamu baik-baik saja, sayang?”

Arumi mengangguk, meski sedikit kesakitan. “Kayaknya ini tanda-tanda awal, Mas.”

Damian segera menghubungi dokter dan menyiapkan semua perlengkapan untuk persalinan. “Kita siap, sayang. Kita akan lalui ini bersama.”

---

Malam itu, rumah kecil mereka dipenuhi haru dan doa. Damian terus menenangkan Arumi, membisikkan kata-kata cinta dan kekuatan. Arumi merasakan betapa besar cinta Damian untuknya dan bayi yang akan segera lahir.

Detik demi detik terasa lambat dan penuh arti. Mereka berpegangan tangan erat, saling menguatkan.

---

Pagi hari menjelang, tangisan bayi kecil pecah di kamar persalinan rumah sakit. Suara itu membawa kebahagiaan yang tak tergambarkan.

Damian menangis haru saat menggendong bayi lelaki mungil dengan rambut hitam lebat. “Selamat datang, Nak. Daddy cinta kamu sudah dari dalam perut mama.”

Arumi tersenyum lelah tapi bahagia, menatap buah hati mereka yang sempurna.

---

Hari-hari berikutnya diisi dengan keajaiban menjadi orang tua baru. Damian dan Arumi belajar dari pengalaman, saling mengingatkan dan mendukung. Mereka tahu perjalanan ini tidak mudah, tapi mereka siap menjalani semuanya bersama.

Mereka sering duduk di balkon rumah, berbagi cerita tentang mimpi dan harapan untuk masa depan anak mereka. Cinta yang dulu bermula dari luka, kini tumbuh jadi rumah yang hangat dan penuh kehidupan.

---

Penutup

Bab ini adalah kisah tentang bagaimana cinta bisa menjadi pondasi terkuat dalam hidup. Tentang bagaimana dua hati yang pernah terluka menemukan jalan untuk sembuh dan tumbuh bersama. Tentang keajaiban kecil yang hadir dalam setiap detik yang mereka lalui.

Arumi dan Damian bukan hanya pasangan, mereka adalah keluarga—rumah cinta yang selalu menjadi tempat pulang dan berlabuh.

---

...****************...

1
Araceli Rodriguez
Ngangenin deh ceritanya.
Cell
Gak kepikiran sama sekali kalau cerita ini bakal sekeren ini!
filzah
Karakter-karakternya sangat hidup, aku merasa seperti melihat mereka secara langsung.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!