Murni, seorang biarawati yang sedang cuti karena ingin menyembuhkan jiwa setelah terganggu mimpi-mimpi buruk yang terus berdatangan, menerima pesan aneh di ponselnya -suara paniknya sendiri yang membuatnya penasaran. Ia mengikuti petunjuk yang membawanya ke sebuah warung makan tua yang hanya buka saat malam.
Di warung itu ia bertemu dengan Mahanta, seorang juru masak pendiam yang misterius. Namun warung itu bukan warung biasa. Pelanggannya adalah jiwa-jiwa yang belum bisa pergi, dan menu makanannya bisa menenangkan roh atau mengirimnya ke dalam kegelapan. Murni perlahan terseret dalam dunia antara hidup dan mati. Ia mulai melihat masa lalu yang bukan miliknya. Meskipun Mahanta tampaknya menyimpan rahasia gelap tentang siapa dirinya dan siapa Murni sesungguhnya, pria itu bungkam. Sampai cinta yang semestinya dilarang oleh langit dan neraka merayap hadir dan mengungkapkan segalanya.
L'oubli (B. Perancis): keadaan tidak menyadari atau tidak sadar akan apa yang sedang terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Season 1 ; Bab 14 - Yang Bisa Menyelamatkan
‘Mengapa? Mengapa kau ingin mengakhiri hidupmu, Maya?’
Sepanjang ia mengenal Maya, Murni melihat gadis remaja itu sebagai pribadi yang ceria, berani dan pintar. Dia tidak pernah terlihat sedih, selalu ceria, murah senyum, mudah akrab dengan umat baru, ringan tangan dan selalu juara kelas di sekolah.
Maya bergabung dengan paduan suara gereja, membantu merangkai bunga untuk misa, bahkan sering bertandang ke biara. Setiap kali memiliki waktu luang, dia selalu datang untuk membantu menyiangi kebun, atau pergi ke perpustakaan hanya untuk sekadar membaca.
Apa yang membuatnya tiba-tiba begitu putus asa sampai ingin mengakhiri hidup? Dia baru enam belas tahun!
Murni benar-benar tidak mengerti.
Rupanya setiap manusia memiliki rahasia yang dipendam sendiri, dan ketika dia tak kuat lagi menanggungnya… bisa terdorong melakukan hal-hal di luar dugaan. Dan, harus ia akui, kecuali yang nampak di permukaan, betapa sedikit ia mengetahui tentang gadis itu. Yang terlihat di luar hanya cangkang yang dia perlihatkan kepada dunia.
Murni menghela napas, mengingat bahwa sudah lama ia tak bertemu dengan Maya. Ia sadar dirinya terlalu tenggelam dengan urusannya sendiri, sehingga tidak memperhatikan apa yang terjadi di sekitarnya.
Mungkinkah… mungkinkah Maya pernah mencarinya, untuk mencurahkan kegundahan hati, atau bercerita tentang apa yang membebaninya? Itu mungkin, karena mereka cukup dekat. Tetapi ia tak ada di sana ketika Maya membutuhkannya. Seketika Murni didera rasa bersalah.
Mobil berhenti di rumah sakit Santo Klemens dimana Maya dirawat. Dari berita yang diterima Suster Maria, gadis itu telah melewati masa kritis dan sudah kembali sadar, bahkan telah dipindahkan dari ruang ICU ke kamar biasa.
Mereka berempat masuk dan menemukan ibu Maya sedang duduk di tepi tempat tidur. Wanita paruh baya itu menangis tanpa suara. Satu tangannya tak lepas memegang tangan putrinya, sementara tangan yang lain sesekali mengusap air mata yang terus mengalir tanpa henti.
Hati wanita itu jelas hancur, mungkin bertanya-tanya mengapa putrinya melakukan itu. Atau mungkin sangat tahu mengapa putrinya senekad itu, dan dia sedang menyesal.
Mendengar suara langkah kaki, ibu Maya menoleh, lalu berdiri, menghapus air mata di mata dan pipinya, kemudian mengulurkan tangan untuk menyalami Suster Maria, dan mengangguk pada tiga biarawati lain.
“Suster, terima kasih sudah datang.”
Suster Maria menepuk tangan wanita itu.
“Bagaimana kondisinya?” Suster Maria berbisik, tidak berani bersuara keras.
“Sudah stabil,” ibu Maya menunjuk mesin pengukur detak jantung yang terletak di samping brankar. “Tapi belum membuka mata.”
“Apakah… sudah diketahui apa yang membuatnya melakukan ini?”
“Ceritanya panjang, tapi itu karena saya bertengkar hebat dengan ayahnya.” Ibu Maya yang bernama Bernadette menangis lagi.
“Ya sudah, ceritanya nanti kalau Anda sudah tenang. Sekarang, mari kita berdoa.” Suster Maria menenangkan.
Bernadette menangguk, lalu bersama-sama mereka menundukkan kepala di samping tempat tidur dan Suster Maria memimpin doa.
Begitu kata amin terucap, mata Maya terlihat bergerak-gerak, perlahan terbuka lalu berkedip cepat, seperti sedang berusaha tetap sadar dari sesuatu yang masih menyeretnya kembali.
“Maya!” Bernadette langsung bertumpu di tepi tempat tidur, memeluk anaknya. “Maafkan Mama, Nak. Mama yang salah…”
Tapi Maya bergeming, tidak memedulikan ibunya. Mata itu berbeda dengan mata ceria yang biasanya. Namun, Murni menyadari bahwa Maya sedang menatapnya.
Mulut gadis itu bergerak-gerak, seolah bicara saja sangat sulit baginya.
“Air,” Murni bergegas mengambil gelas yang terletak di meja kecil di samping tempat tidur, lalu menyorongkan sedotan ke mulut Maya.
Setelah beberapa teguk, Maya berdeham beberapa kali, dan suaranya sudah bisa keluar.
“Suster… Murni…” Maya berkata terpatah-patah. “Aku mau… bicara dengan Suster.”
Semua saling berpandangan. Tetapi mengingat Maya memang cukup dekat dengan Murni, mereka maklum. Suster Maria menepuk lengan Maya penuh pengertian, lalu mengajak Bernadette dan dua biarawati lain ke luar kamar, meninggalkan Murni dan Maya berdua.
“Suster… “
Murni mendekat dan menggenggam tangan Maya. “Suster di sini.”
“Aku… melihat Suster.” Meskipun suara Maya lemah, Murni mendengarnya sangat jelas.
“Melihatku? Maksudmu?” Murni mengerutkan kening.
“Aku… sepertinya pergi ke sebuah warung. Di sana ada koki yang menyuguhkan makanan pada setiap pengunjung, tapi tidak padaku.” Bicara Maya mulai lancar.
Murni merasa dingin menjalar di sepanjang tulang punggungnya. Jantungnya berdetak sangat kencang sampai ia mengira Maya bisa mendengarnya.
“Aku melihat Suster, tapi Suster tidak melihat aku. Aku memanggil Suster tapi Suster sudah pergi.”
Murni menenangkan diri, lalu berkata. “Suster tidak akan pernah meninggalkan kamu. Itu cuma mimpi. Mungkin karena kamu terlalu ingin bertemu Suster. Maaf karena Suster gak ada pada saat kamu sangat membutuhkan bantuan.”
Maya menggeleng. “Tidak, itu bukan mimpi. Sepertinya aku ada di antara dua dunia. Aku melihat tubuhku antara nyata dan bayangan, seperti hologram."
Maya melanjutkan, "Karena aku tidak diberi makan, aku bertanya pada koki itu mengapa. Dia bilang… karena aku masih bisa kembali. Tapi yang bisa menyelamatkan aku sudah pergi, jadi aku harus mengambil keputusan sendiri.”
“Lalu?” Dengan tegang Murni menunggu kelanjutan cerita Maya.
“Entah mengapa aku menyimpulkan yang bisa menyelamatkan aku adalah Suster. Jadi aku menunjuk ke pintu, sebagai isyarat bertanya apakah itu orang yang bisa menyelamatkan aku? Koki itu mengangguk, lalu aku berlari mengejar Suster, dan tiba-tiba aku terbangun di sini.”
Murni tahu bahwa itu bukan mimpi, bukan juga kebetulan bahwa ia mengetahui peristiwa ini ketika ia kembali ke biara.
“Terima kasih sudah mau bicara denganku,” kata Murni lembut. “Apakah kamu bersedia bercerita mengapa kamu… ingin menyelesaikan semuanya? Atau kamu ingin beristirahat dulu?”
Ia ingin agar Maya tidak merasa dipaksa. “Kalau kamu tidak nyaman...”
Maya menggeleng, matanya menerawang, dan ada genangan bening di sana. Bening yang kemudian bergulir di pipi mudanya ketika ia mengedipkan mata.
“Tidak apa-apa,” ujar Murni. “Menangislah. Suster tidak akan ke mana-mana. Ambil waktu, kapan pun kamu sudah siap, baru kamu bercerita.”
Murni mengusap-usap punggung tangan gadis itu. Dan napas Maya yang awalnya tersengal-sengal mulai mereda.
“Sebenarnya, sudah lama aku ingin bercerita. Tapi Suster tidak ada, katanya Suster cuti.”
Maya menoleh, sorotnya seolah menuduh Murni meninggalkannya, membuat Murni tergugu.
“Aku menunggu Suster berbulan-bulan, tapi Suster tidak juga kembali.”
“Sekarang Suster sudah di sini. Keluarkan semua beban yang menyesaki hatimu.”
kesedihan ,bebannya pindah ke murni ?
🤔
apakah jiwa nya blm kembali ke asal
masih gentayangan
tapi kebanyakan semakin di larang semakin penasaran