Naya yakin, dunia tidak akan sekejam ini padanya. Satu malam yang buram, satu kesalahan yang tak seharusnya terjadi, kini mengubah hidupnya selamanya. Ia mengira anak dalam kandungannya adalah milik Zayan—lelaki yang selama ini ia cintai. Namun, Zayan menghilang, meninggalkannya tanpa jejak.
Demi menjaga nama baik keluarga, seseorang yang tak pernah ia duga justru muncul—Arsen Alastair. Paman dari lelaki yang ia cintai. Dingin, tak tersentuh, dan nyaris tak berperasaan.
"Paman tidak perlu merasa bertanggung jawab. Aku bisa membesarkan anak ini sendiri!"
Namun, jawaban Arsen menohok.
"Kamu pikir aku mau? Tidak, Naya. Aku terpaksa!"
Bersama seorang pria yang tak pernah ia cintai, Naya terjebak dalam ikatan tanpa rasa. Apakah Arsen hanya sekadar ayah pengganti bagi anaknya? Bagaimana jika keduanya menyadari bahwa anak ini adalah hasil dari kesalahan satu malam mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 DBAP
Jantung Naya berdetak kencang. Bukan karena takut, tapi karena terkejut. Kejutan yang membuat tubuhnya menegang dan napasnya tercekat. Kata-kata itu… nada suara itu… bahkan bisikan di telinganya barusan, semua terasa terlalu familiar.
Seperti malam itu. Malam yang kelam. Malam yang ingin ia lupakan, tapi selalu datang menghantui.
Mata Naya membulat. Perlahan, ia memundurkan tubuh, menjauh dari Arsen. Suaranya nyaris tak terdengar.
“Paman…” bisiknya, “Ulangi tadi...”
Arsen menatapnya, kebingungan. “Apa maksudmu?”
“Kata-kata barusan…” suara Naya bergetar. “Kenapa terdengar persis seperti—”
Ia terdiam. Kalimat itu menggantung di udara. Tubuhnya lemas, dan penglihatannya mulai mengabur karena air mata yang mendesak keluar. Tangannya gemetar.
Arsen masih berdiri di tempat, tubuhnya membeku. Napasnya terputus. Ia tahu Naya mulai mengingat. Dan ini terlalu cepat. Terlalu tiba-tiba.
Tapi tatapan Naya kini berubah. Lebih tajam, seolah ingin menelanjangi kebenaran yang selama ini disembunyikan. Ia menatap Arsen seakan mencoba membaca isi hatinya.
“Jangan-jangan…” gumamnya pelan, sangat pelan. “Itu Paman, ya? Malam itu… Paman yang…”
Arsen tak menjawab. Rahangnya mengeras, dan tatapannya jatuh ke lantai. Tapi diamnya bukan penyangkalan. Diam itu... mengiyakan.
Ia tahu, sekeras apa pun mencoba menyembunyikan bangkai, baunya akan tetap tercium. Dan luka yang mengendap di hati perempuan seperti Naya... tak akan hilang begitu saja.
Arsen menarik napas panjang, mencoba merangkai kata. Tapi sebelum ia sempat bicara, Naya sudah mendahuluinya.
Dengan suara lirih, seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri, ia berucap getir, “Apa yang kamu pikirkan, Nay... sampai sempat berharap…” bibirnya gemetar, “Kalau lelaki malam itu adalah Paman Arsen.” Ia tersenyum tipis, pahit. “Paman Arsen kan baik… bertanggung jawab...”
Tatapannya beralih pada Arsen yang masih membisu, seperti patung.
“Kalaupun dia pernah berbuat salah…” suaranya mulai goyah, “dia pasti berani tanggung jawab. Dia nggak akan lari… nggak akan biarkan aku ngerasa sendirian…”
Ia menelan ludah, lalu menatap Arsen penuh harap, “Benar, kan? Paman…”
Arsen menggertakkan gigi. Ia ingin memeluk Naya. Ingin bilang bahwa apa yang dipikirkannya adalah benar dirinya adalah lelaki malam itu, tapi Arsen tak mampu untuk mengakuinya. Sudut lain hati Arsen seolah berkata apa gunanya? Waktu tak bisa diputar. Dan luka itu... sudah terlanjur dalam.
“Paman…” Naya memanggil, mencoba menguasai dirinya. “Ada apa? Apa aku salah bicara?”
Arsen berdehem, mencoba menstabilkan nada suaranya. “Nay… kamu pikir, suatu hari nanti… kamu bisa memaafkan laki-laki itu?”
Naya menatapnya tak mengerti. “Hah? Maaf? Aku nggak tahu, Paman. Kenapa, memangnya? Apa Paman tahu sesuatu? Zayan bilang sesuatu ke Paman soal laki-laki itu?”
“Ti—tidak,” sahut Arsen buru-buru. “Cuma penasaran aja. Sudahlah, kamu istirahat dulu. Nanti, setelah kamu keluar dari rumah sakit, aku mau ajak kamu ke suatu tempat.”
Naya menunduk, mencoba mengendalikan emosinya yang masih bergemuruh.
“Paman jangan terlalu baik ke aku…” bisiknya lirih. “Nanti aku nggak sanggup nerimanya…”
Arsen terdiam sejenak. Ia tahu Naya bukan tipe yang mudah menerima kebaikan tanpa alasan. Gadis itu terlalu kuat untuk terlihat rapuh, tapi terlalu jujur untuk menyembunyikan luka.
Akhirnya, ia menjawab dengan nada dingin yang selalu jadi tamengnya, “Jangan salah sangka. Apa yang kulakukan ini... demi diriku sendiri.”
Dan hancurlah Naya seketika. Baru saja ia terbang, merasa hangat... kini ia jatuh, keras, membentur kenyataan.
Benar. Arsen baik bukan karena dirinya. Tapi karena bayi di dalam perutnya. Bayi yang kelak akan jadi ‘penebus dosa’, pembersih nama baik keluarga.
“Aku tahu, Paman,” jawab Naya pelan.
Arsen hanya tersenyum canggung. Ia ingin segera pergi, menjauh dari kamar ini, dari mata Naya yang terlalu jujur. Tapi saat ia baru melangkah ke arah pintu, suara lembut itu kembali menahannya.
“Paman…” panggil Naya, “Sejak kapan kenal Nisa? Dan... terima kasih, ya, sudah kasih tahu dia kalau aku dirawat.”
Arsen mengernyit. “Nisa?”
“Iya, temanku. Yang tadi keluar bareng temennya Paman.”
Arsen menggeleng perlahan. “Aku baru ketemu dia tadi sore. Dan... aku nggak bilang apa-apa soal kamu dirawat.”
Naya membeku. “Paman... nggak kenal Nisa? Dan nggak pernah kasih tahu dia kalau aku di rumah sakit?”
Arsen mengangguk pelan. “Iya. Kenapa?”
Naya langsung menggelengkan kepalanya meskipun ada rasa penasaran, namun mengingat persahabatan yang sudah terjalin Naya tidak terlalu banyak curiga pada Nisa, ia pun segera berkata, “Tidak apa-apa Paman.”
***
Di sisi lain, setelah membawa Nisa keluar dari ruang rawat Naya, Dito langsung berdiri dengan tangan berkacak pinggang, napasnya masih agak tersengal. Wajahnya kesal, seperti baru saja mengangkat karung beras lima puluh kilo.
“Badan kamu kecil tapi berat banget, banyak dosa ya?” cetus Dito sambil melirik tajam.
Nisa mendongak, matanya membulat tak percaya. Ia menunjuk ke dirinya sendiri, ekspresinya setengah geli, setengah nyolot.
“Hah, aku banyak dosa? Yang ada kamu sudah terlalu tua makanya loyo gak ada tenaga. Makannya kamu kalau ada pembagian makan bergizi datang lebih awal.”
Nada suaranya santai tapi tajam, seperti melempar pisau dengan senyum manis. Dito nyaris tersedak napas sendiri, matanya membelalak.
“Apa kamu bilang? Aku terlalu tua? Pembagian makanan bergizi. Kamu lagi ngatain aku gak mampu, kaum penerima donasi gitu?”
Senyum Nisa makin lebar. Ia menjentikkan jarinya di depan wajah Dito, seolah mengukuhkan poinnya.
“Syukurlah otakmu gak lola, dan paham dengan apa yang aku bicarakan.”
“Kamu....!” Dito hampir kehilangan kata. Tangannya mengepal, tapi tak tahu harus melempar kalimat dari sisi mana.
“Jangan marah dong, lagian kamu duluan kan yang ngatain aku? Jangan kayak anak mami yang mainnya kurang jauh,” ujar Nisa, santai, dengan nada penuh kemenangan.
Ketegangan antara keduanya menggantung di udara, seperti dua kucing liar yang baru saja saling senggol ekor. Di tengah kekesalannya, Dito tiba-tiba menarik masker Nisa, membuat wajah gadis itu kini terlihat jelas di hadapannya. Matanya terbelalak, seolah tak menyangka.
Penampilan Nisa memang sederhana, tapi wajahnya bersih, nyaris tanpa cela. Pori-porinya hampir tak terlihat, seperti sudah menjalani perawatan kulit selama bertahun-tahun. Dito, yang tadi sempat memegang tangannya saat menariknya keluar dari ruang rawat, tiba-tiba teringat kembali betapa lembut kulit gadis itu—jauh dari bayangannya tentang seorang pelayan restoran.
“Cantik… sempurna,” gumam Dito tanpa sadar, matanya terpaku.
Namun Nisa sudah terlanjur kesal. Ia tak peduli dengan gumaman Dito. Baginya, laki-laki itu sudah kelewat batas dan pantas diberi pelajaran. Ia menggertakkan giginya, tangannya sudah siap melayang menghajar Dito.
Tapi sebelum sempat bergerak, sudut matanya menangkap pandangan beberapa pengawal berbaju hitam dengan postur tegap dan berotot mulai memperhatikan mereka. Naluri bertahannya langsung bekerja. Ia menurunkan tangannya, lalu tanpa aba-aba, menggenggam tangan Dito dan menariknya.
“Ayo lari!” serunya pelan namun panik.
Dito, yang belum sepenuhnya paham apa yang terjadi, hanya bisa pasrah ditarik mengikuti langkah cepat Nisa yang seperti angin ribut membawa kekacauan kecil di lorong rumah sakit.
jangan jangan,jangan deh
double update dong,,, kurang nih