Deonall Argadewantara—atau yang lebih dikenal dengan Deon—adalah definisi sempurna dari cowok tengil yang menyebalkan. Lahir dari keluarga kaya raya, hidupnya selalu dipenuhi kemewahan, tanpa pernah perlu mengkhawatirkan apa pun. Sombong? Pasti. Banyak tingkah? Jelas. Tapi di balik sikapnya yang arogan dan menyebalkan, ada satu hal yang tak pernah ia duga: keluarganya akhirnya bosan dengan kelakuannya.
Sebagai hukuman, Deon dipaksa bekerja sebagai anak magang di perusahaan milik keluarganya sendiri, tanpa ada seorang pun yang tahu bahwa dia adalah pewaris sah dari perusahaan tersebut. Dari yang biasanya hanya duduk santai di mobil mewah, kini ia harus merasakan repotnya jadi bawahan. Dari yang biasanya tinggal minta, kini harus berusaha sendiri.
Di tempat kerja, Deon bertemu dengan berbagai macam orang yang membuatnya naik darah. Ada atasan yang galak, rekan kerja yang tak peduli dengan status sosialnya, hingga seorang gadis yang tampaknya menikmati setiap kesialan yang menimpanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mycake, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Deonall Story
Deon mengemudi dengan kecepatan tinggi, roda mobilnya berputar cepat di jalanan kota yang semakin kosong, seolah-olah mengikuti irama ketegangan yang semakin mencekam di dalam dirinya.
Setiap detik terasa seperti ledakan, hatinya berdegup kencang, berusaha mengusir bayangan-bayangan yang terus menghantuinya. Tentang permainan yang sedang ia jalani, dan tentang apa yang telah dia ungkapkan pada ayahnya.
"Gwen," gumamnya pelan, menyebut nama itu seolah itu adalah jawaban untuk setiap kebingungannya.
Tangan kanannya menggenggam kemudi erat, sementara matanya tak lepas dari jalan yang semakin gelap. "Dia pasti tahu lebih banyak. Dia selalu ada, entah bagaimana dia tahu kapan aku butuhnya."
Sesampainya di rumah kontrakan yang sederhana namun penuh kenangan, Deon segera keluar dari mobil, menutup pintu dengan keras, lalu melangkah cepat ke pintu depan.
Dia mengetuk dengan keras, satu ketukan setelah ketukan lainnya, berharap Gwen ada di sana, di tempat yang selalu membuatnya merasa sedikit lebih tenang.
Namun, tidak ada jawaban. Deon mendorong pintu, namun terkunci. Dia mengetuk lagi, kali ini lebih keras, memanggil dengan nada frustasi.
"Gwen! Lo di mana?!"
Dia memutari rumah itu, mencari setiap sudut yang mungkin Gwen sembunyikan dirinya. Namun tidak ada jejak, rumah itu tampak kosong. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tanpa pikir panjang, dia merogoh sakunya, mengeluarkan ponsel, dan mencoba menghubungi Gwen, tapi tak ada yang menjawab. Pesan yang dia kirimkan pun hanya terjebak dalam status terkirim, tak ada balasan.
Deon berhenti sejenak di depan pintu, matanya menyapu seluruh tempat itu, perasaan yang tidak bisa dijelaskan muncul. Entah kecewa, marah, atau bahkan rasa takut yang tak pernah dia rasakan sebelumnya.
"Gwen, lo nggak bisa ngilang begitu aja," katanya pelan pada dirinya sendiri. "Lo pasti tahu sesuatu. Dan gue butuh lo sekarang."
Dengan langkah berat, dia berbalik, menatap rumah yang kini terasa begitu asing baginya. Tanpa Gwen, semuanya terasa sepi. Tanpa Gwen, dia tidak tahu harus melangkah ke mana.
Deon memutar otak, langkahnya tak terhenti meskipun pintu kontrakan Gwen tetap tertutup rapat. Perasaan tidak nyaman mulai menggulung di dadanya, seperti ada sesuatu yang sangat penting yang tengah ia lewatkan, namun dia tak tahu apa.
"Gwen, lo nggak di sini? Lo nggak bisa ninggalin gue gitu aja," gumamnya penuh frustasi, mengusap wajahnya dengan kasar. Sementara itu, pikirannya berputar, menelisik kembali setiap percakapan dengan Gwen yang terasa seperti potongan teka-teki yang kini mulai membentuk gambaran besar.
Mungkin dia bukan hanya sekadar teman yang menyemangati Deon selama ini. Mungkin, Gwen tahu lebih banyak tentang perusahaan milik ayahnya daripada dirinya sendiri. Itu hal yang harus diakui meskipun kenyataannya, Deon adalah pewarisnya.
Dengan langkah cepat, Deon kembali ke mobilnya, matanya tajam menatap jalanan yang gelap.
"Bagaimana bisa dia tahu lebih banyak dari gue? Aku yang seharusnya memegang kendali, kan?" pikirnya, matanya penuh kebingungan.
Gwen, siapa sebenarnya dia? Dan kenapa perasaan Deon mengatakan bahwa Gwen tahu lebih banyak tentang kegelapan perusahaan itu daripada dirinya sendiri?
Mobil melaju, melintasi jalan-jalan kota yang semakin sepi, dengan pikiran Deon yang semakin dipenuhi pertanyaan.
Tapi ada satu hal yang dia tahu pasti, Gwen bukan hanya sekadar orang yang datang dan pergi dalam hidupnya. Dia adalah kunci yang mungkin bisa membuka semua pintu yang selama ini terkunci rapat dalam dunia yang gelap ini.
"Kalau dia tahu segalanya, berarti gue harus cari tahu siapa dia sebenarnya," Deon bergumam, matanya tak lepas dari jalan, pikirannya bahkan lebih tajam daripada sebelumnya. "Apa yang lo sembunyikan, Gwen?"
"Atau lebih tepatnya, apa yang lo tau Gwen?!"
Tanpa ragu, Deon menambah kecepatan mobilnya. Dia harus menemukan Gwen, harus mendapatkan jawaban. Karena jika Gwen tahu sesuatu yang lebih besar tentang perusahaan ayahnya, maka Deon tak akan tinggal diam.
Mungkin, inilah saatnya baginya untuk mengendalikan takdir, untuk mengejar apa yang selama ini tersembunyi di balik tirai gelap yang melingkupi dunia perusahaan itu.
__
Tiba tiba saja, ingatan masa lalu misterius muncul dengan jelas di benak Deon, dan itu jelas mengguncang jiwanya.
"Woi! Berhenti, lo!"
Suara langkah kaki yang terengah-engah, napas yang memburu, dan teriakan-teriakan mengejar dari belakang membuat perempuan itu semakin panik. Wajahnya penuh ketakutan, mata yang terus melirik ke belakang, memastikan gerombolan laki-laki berjas hitam semakin mendekat.
"Berhenti, jalang!"
Salah satu dari mereka meneriakkan kata-kata penuh kebencian, suara mereka memecah kesunyian malam. Perempuan itu, dengan tubuh yang lelah dan hatinya yang berdegup kencang, semakin mempercepat langkahnya, berusaha menghindar, berlari ke tempat yang seolah-olah bisa memberinya perlindungan.
Tak lama kemudian, perempuan itu tiba di pintu rooftop di salah satu lantai gedung tinggi, menarik pintu dengan sekuat tenaga dan membantingnya tertutup di belakangnya.
Tanpa ragu, dia berlari menembus taman bunga yang sepi dan pepohonan yang tinggi, bersembunyi di balik bayang-bayang hijau yang melingkupi, tubuhnya terengah-engah, keringat bercucuran deras, dan air mata membasahi pipinya. Jantungnya berdebar begitu keras seolah ingin keluar dari dadanya.
"Brak!"
Tiba-tiba, pintu rooftop didobrak dengan keras.
"Temukan dia!" terdengar suara salah satu dari mereka, penuh kekesalan.
"Sepertinya dia tidak ada di sini, bos!" kata salah satu pria yang terlihat memeriksa sekeliling.
"Sial! Cari ke tempat lain!" teriak bos mereka, suara amarah menggema.
Langkah-langkah kaki mereka semakin menjauh, meninggalkan perempuan itu dalam keheningan yang sesaat memberi sedikit rasa lega. Perempuan itu, masih dengan tubuh yang gemetar, mengatur napasnya, mencoba menenangkan diri setelah kejaran yang mematikan itu.
Namun, saat dia merasa sedikit lebih tenang, saat tubuhnya hendak bergerak untuk melangkah pergi, tanpa peringatan. Sesuatu yang berat dan keras menyambar kepalanya. "Bam!" Sebuah pot tanah liat besar menghantam kepala perempuan itu dengan keras, menyebabkan darah mengalir deras dari luka yang terbuka di kepalanya.
Tubuhnya terjatuh, ambruk ke tanah, tak mampu bergerak. Jantungnya masih berdegup kencang, namun tubuhnya sudah tak kuat lagi untuk melawan.
Dengan darah yang mengalir, dia hanya bisa terkulai lemas di atas tanah, sementara bayang-bayang kejam itu masih berputar di sekelilingnya.
Kegelapan mulai merenggutnya, dan segala harapan terasa begitu jauh.
Itulah ingatan yang perlahan akan terus menghantui Deon, sebuah kenangan yang menciptakan luka dalam hati, luka yang tersimpan jauh di dalam dirinya, namun tak pernah bisa terlupakan.
Deon berdiri tegak, matanya terpaku pada tempat kejadian yang baru saja dia saksikan. Ingatan yang datang begitu mendalam, begitu jelas tapi juga penuh kebingungan yang membuat kepalanya berputar.
Gambar-gambar itu, kejadian-kejadian itu, semuanya terasa asing namun begitu familiar, seolah dia pernah berada di sana, terjebak dalam peristiwa yang tak bisa dia ingat dengan jelas.
Dia menggigit bibirnya, berusaha mengusir kegelisahan yang merayapi pikirannya. "Apa yang sebenarnya terjadi?" pikirnya. "Kenapa ini terasa begitu nyata, tapi gue nggak tahu apa-apa?"
Setiap detail terasa hidup perempuan itu, langkah-langkah yang tergesa, suara teriakan yang masih menggema di telinganya. Seperti mimpi buruk yang tak bisa dia hindari.
Tapi kenapa itu datang sekarang? Kenapa wajah perempuan itu, bahkan suara-suara itu, terasa seperti kenangan yang terpendam lama, yang baru saja terbangun dari tiduran panjang?
Deon mengusap wajahnya, merasa kepalanya semakin berat. Dia berusaha mengingat, mencoba menghubungkan setiap potongan ingatan yang berceceran.
Dia tahu ada sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang tersembunyi di balik semua itu, tetapi setiap kali dia mencoba menggenggamnya, itu justru meluncur jauh dari jangkauan tangannya.
"Apa yang gue lewatkan?" gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. "Apa yang sebenarnya terjadi dulu?"
Dia merasakan seperti ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang mungkin seharusnya dia ingat, namun entah bagaimana, itu tak pernah benar-benar dia pahami.
Kenapa dia merasa terhubung dengan kejadian-kejadian itu? Kenapa dia merasa seperti ada yang membawanya ke sana, ke tempat yang penuh dengan ketakutan dan kebingungan?
Deon melangkah mundur, matanya tetap fokus pada tempat itu, tempat di mana kenangan itu tiba-tiba muncul. Sekelompok pria yang datang mengejar, pot tanah liat yang digunakan untuk memukul, dan perempuan itu yang mencoba melarikan diri.
Semua itu seakan mengingatkan dirinya pada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang lebih dalam, dan Deon tahu, tak lama lagi, dia akan menemukan jawabannya.
Tapi pertanyaan yang lebih besar sekarang adalah, siapa yang dia percayai?
Rasa bingung itu terus menggerogoti dirinya. "Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi," pikir Deon dengan tekad yang baru, "Gue harus cari tahu."
"Mungkin Gwen bisa bantu gue!"
"Ya."
"Gue harus cari keberadaan Gwen dulu."
Deon berdecak kesal. "Lagian tu orang kemana sih? Sok misterius banget ngilang tiba tiba. Apa lembur ya?!" tanyanya kesal.
"Ah terserah deh pusing pala gue lama lama."
Malam itu, Deon memutuskan untuk tidak tidur. Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, menjauh dari tempat yang telah mengganggu pikirannya, mencari tahu apa yang tersembunyi di balik segala kebingungannya.
Sesuatu yang tak bisa ia jelaskan, namun ia tahu satu hal. Jawabannya ada di luar sana, dan dia tidak akan berhenti sampai menemukannya.