NovelToon NovelToon
MUTIA

MUTIA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Single Mom / Selingkuh / Anak Yatim Piatu
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Riaaan

Masa remajaku tidak seindah remaja lain. Di mana saat hormon cinta itu datang, tapi semua orang disekitarku tidak menyetujuinya. Bagaimana?

Aku hanya ingin merasakannya sekali saja! Apa itu tetap tidak boleh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riaaan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

18

"Nu!" panggil Bulan di saat kami sedang berjalan menuju kantin.

Wisnu tampak tak memperdulikannya. Mungkin dia maaih marah sebab Bulan menyinggung soal orang tua Wisnu di rumah sakit kala itu.

"Woi!" bentak Bulan begitu kami menyetarai langkah Wisnu. "Lo mau kerja ga? Bapak gue lagi butuh karyawan buat service mesin di pabrik. Biasanya sih nyewa tukang, tapi kan mahal dan susah juga nyari yang benaran bisa dan jujur. Lo mau ga?"

Aku baru tahu ternyata bapak Bulan punya pabrik, tapi dia malah bertingkah seperti fakir miskin yang selalu kelaparan sebab kehadiran ibu tirinya.

"Mesin apa?" tanya Wisnu.

"Ya banyak, mesin packing, mesin mixer, mesin banyak pokoknya. Ya lo ga mesti kerja tiap hari sih, tapi kalo mesin ada kendala, lo wajib masuk kerja," jelas Bulan lagi.

"Packing? Bapak lo punya pabrik apa, Bul?" tanyaku.

"Produksi roti kemasan gitu. Kan gue juga kerja di tokonya," jawab Bulan.

"Laah," balasku keheranan.

"Gimana? Mau ga?" tanya Bulan lagi.

"Terima aja, Nu. Lo kan juga bisa benerin elektronik, sesuai juga sama kejuruan lo, teknik mesin. Kalo lulus sekolah ntar, lo jadi lulusan teknik mesin, dan punya 2 tahun pengalaman kerja sebagai tukang service mesin di pabrik bokapnya Bulan sebagai freelance. Lebih gampang buat lo masuk kerja di mana aja," jelasku.

"Ini ga freelance. Lo tetap dapet gaji kok meskipun ga ada mesin yang rusak. Gaji bulanan gitu."

"Wuihh mantap, Nu! Terima aja!" ucapku.

"Di mana pabriknya?" tanya Wisnu.

"Lo langsung ke rumah gue aja, langsung ketemu sama bapak gue. Soalnya dia juga sebar rekrutmen di toko-toko. Kan kalo sama orangnya langsung, lebih prioritas buat masuk," jelas Bulan.

"Di mana rumah lo?" tanya Bulan.

"Di jalan Selempang Kuning, nomor 3," jawab Bulan.

"Jalan mana tuh?" Wisnu nampak bingung.

"Yang deket sama sawah gandum itu!"

"Ga tau gue."

"Gini aja, ntar balik sekolah, lo anterin Bulan pulang, nah kan sekalian bisa tau rumahnya dan ketemu sama bapaknya!" tegasku dan mereka pun setuju.

Tiba-tiba Alex datang dan merangkul pundakku. Dia juga menarik tangan kananku dan menunjukkan cincin di jari manisku kepada Wisnu dan Bulan.

"Lo dilamar Alex, Mut?!" pekik Bulan.

Aku langsung menyembunyikannya. "Bukti kalo gue pacaran sama dia," jawabku.

"Elah, lebay amat, Lex! Kayak yang suka sama Mutia itu banyak! Cuma lo yang mau sama dia!" omel Bulan dan membuatku terkekeh.

"Lo tau apa sih? Lo cuma tau nyontek, datang telat dan ga masuk berkali-kali di sekolah." Alex menoleh pada Wisnu. "Kali aja ada cowok yang dibantuin malah dikira suka," lanjutnya.

"Alex," panggilku pelan agar dia menyudahi pertengkaran dengan Wisnu.

"Lo kira gue suka sama cewek lo?" Wisnu mengernyitkan dahinya. "Semoga lekas sembuh, Lex!" lanjutnya dan berlalu ke kantin lebih dulu.

"Tuh kan! Kamu sih gitu sama dia. Dia jadi ngejek aku!" omelku.

"Diiihh najis! Aku-kamu! Mau muntah gue, Mut!" balas Bulan dan ikut berlalu.

Aku menatap Alex dengan wajah sedih. Dia malah terkekeh. "Cocok mereka," ucapnya.

***

Pulang sekolah hari ini, aku menunggu Alex di parkiran namun dia masih belum juga datang, katanya ada rapat OSIS. Tapi ya masa se-lama iniiiii.

Aku tidak sanggup menunggu lebih lama, sehingga aku memilih untuk datang ke ruang rapat OSIS dan melihat mereka baru saja bubar. Aku melihat Alex sedang mengobrol dengan seorang wanita yang tidak aku kenali.

Aku sangat marah dan entah kenapa aku tidak bisa mengontrol perasaan itu.

"Lagian kan kita juga masih mau ujian semester, mending tanggalnya diubah aja, ga pas aja timingnya," jelas Alex dan melihatku. Mata kami bertemu.

"Siapa tuh?" tanya cewek itu.

Aku langsung menunjukkan cincin itu padanya. "Pacarnya Alex!" tegasku dan merangkul tangan kekasih pujaan hati yang sangat aku cintai di bumi ini.

"Lo udah punya pacar, Lex?" tanya cewek itu.

"Ini pacar gue, Kak," jawab Alex.

"Ooh, agak aneh ya selera lo," balasnya.

"Dih!" balasku yang langsung diangkut Alex ke parkiran.

"Siapa sih cewek itu?" tanyaku kesal.

"Merilda, kakak kelas kita. Dia OSIS juga," jawab Alex.

"Dih! Sok cantik! Masa dia bilang selera kamu aneh! Maksudnya aku aneh gitu?!" omelku lagi.

"Iri aja itu mah, ga bisa jadi pacarnya Alex, ha ha!" Alex tertawa dengan percaya diri.

"Oh iya ya! Kan kamu emang banyak yang suka! Kan kamu tuh kalo mau cewek, tinggal nunjuk aja. Mantan kamu kan juga yang cakep, pinter, putih, mulus, ga main game, lupa aku!" balasku dengan sarkas.

"Udah, nanti ngambek. Kamu yang bahas, kamu yang ngambek, biasanya kamu gitu." Alex memakai helmnya.

"Ya kan aku takut kalah saing!" tegasku.

"Udah menang pun, tujuan mereka itu buat jadi pacar aku. Sekarang kamu udah ada di posisi yang mereka mau. Masa kamu masih takut."

"Ya kan bisa aja kamu nambah slot gitu. Biar bisa punya pacar 5 misalnya."

Alex mendekat dan mengambil jari berbalut cincin di tanganku. Cup! Dia mengecupnya. "Maaf ya, udah bikin kamu cemburu," ucapnya.

"Ini aja yang dicium, cium yang lain kek!" godaku sambil terkekeh.

"Humm, nakal! Ga boleh gitu, kurang-kurangin!" omelnya dan menyalakan motor.

Aku malah tertawa mendengar hal tersebut.

***

Sebulan setelah kejadian itu, kami semua diberikan libur panjang sebab ujian semester telah berlalu. Hari itu, tepat libur hari ke tiga. Alex bersama keluarganya berangkat ke Jawab Barat untuk mengunjungi keluarga besar mereka di sana.

"Ga enak banget LDR. Padahal kita bisa aja jalan-jalan pas liburan gini," ucapku pada ponsel yang menghubunganku dengan Alex.

"Sabar ya, cuma 4 hari kok. Masih ada sisa seminggu buat kita jalan-jalan," balasnya.

Keesokan harinya, aku mendapat berita duka dari Bulan. Nenek Wisnu meninggal dunia pada jam 7 pagi. Aku tidak bisa datang ke sana untuk melayat di waktu yang sama sebab berita duka itu aku dapatkan selagi masih berada di dalam pasar bersama ibuku.

"Nanti biar ibu yang beresin belanjaan, kamu ke rumah Wisnu aja. Kesian, dia pasti sedih," ucap ibu.

Aku langsung menurutinya. Namun sialnya adalah hari itu hujan turun dan aku berteduh di depan ruko yang sedang tutup. Hujan lebat dengan waktu yang amat lama. Aku sampai kesal dengan hujan.

Bulan berkata bahwa dia sudah pulang sebab harus kembali ke toko. Dia memintaku untuk membawakan makanan sebab Wisnu belum makan dari tadi pagi, sedangkan sekarang sudah jam 1 siang dan hujan masih belum redah. Aku mencoba menerobos gerimis, namun hujan lebat kembali terjadi dan aku berkali-kali berteduh di ruko atau tempat-tempat yang bisa aku pakai untuk berteduh.

Hingga akhirnya aku tidak peduli lagi dengan hujan sebab pakaianku juga sudah basah, ditambah lagi jarak rumah Wisnu yang amat jauh. Aku sampai di sana pada jam 5 sore. Waktu terlama aku gunakan untuk berteduh di warung makan saat membeli makanan untuk Wisnu.

Aku membawa makanan itu ke dalam rumah yang sudah sepi. Bahkan tidak ada siapapun di sini. Ya, itu wajar sebab Wisnu tidak memiliki keluarga.

"Nu!" panggilku memasuki rumah itu. "Wisnu!" panggilku lagi sebab tidak ada suara apapun di sana. Aku mencarinya di luar rumah dan sekeliling, tidak ada.

Saat aku melewati pintu kamar, aku melihat dia duduk di kasur yang terbuat dari rotan dan bambu. Termenung dalam hening. Bergeming sendirian.

Aku hanya berdiri di sini dan menatap saja sebab tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak pernah menemani seseorang dalam kondisi seburuk ini. Aku mendengar dia menyedot ingus. Pasti dia menangis.

Cukup lama kami dalam posisi hening tersebut. Hingga akhirnya malam menjelma dan kamar itu telihat sangat gelap. Aku berlalu dan menyalakan lampu pelita minyak tanah yang ada di ruangan. Aku juga tak menghiraukan tangisan Wisnu. Aku berjalan ke kamar itu dan menyalakan lampu pelita di sana agar tidak gelap.

"Makan dulu, Nu," ucapku memberikan nasi bungkus yang tadi aku beli. Semoga saja tidak basi sebab aku beli tadi siang.

Dia masih menangis. Dia memang cengeng. Ini bukan pertama kalinya aku melihat Wisnu menangis. Jadi, aku tidak merasa aneh lagi.

Aku berjongkong di hadapannya yang tertunduk sambil menangis. "Nu," panggilku.

Entah kenapa aku memegang tangan pria itu. Tangannya hangat, mungkin aku yang kedinginan sebab hujan-hujanan di jalan tadi.

Dan mungkin karena sentuhan tanganku, tiba-tiba tangisan Wisnu semakin menjadi. Dia menangis dan berteriak kencang. Genggaman tangannya amat kuat. Aku terdiam menatap begitu saja. Mulai timbul rasa takut.

Bagaimana jika Wisnu nekat melakukan hal-hal aneh? Bagaimana jika dia melampiaskan rasa sedihnya malah menghajarku?

Aku ikut tertunduk sebab rasa takut, sementara Wisnu menangis hingga tersedu-sedu dan tangan kami masih menggenggam satu sama lain.

"Gue sendirian," ucapnya sembari menangis. Mendengar kalimat itu, aku jadi mau ikut menangis. "Orang tua gue pergi, nenek gue pergi. Tujuan Tuhan ciptain gue apa sih?!" teriaknya.

Entah kenapa aku langsung memeluknya. Wisnu kembali menangis sejadi-jadinya. Aku juga ikut meneteskan air mata. Tak bisa aku bayangkan bagaimana jika aku berada di posisi Wisnu saat ini? Mungkin aku sudah bunuh di*ri.

Ia membalas pelukan itu dengan kuat dan terus menangis.

Hingga akhirnya perlahan-lahan tangisan itu mereda dan pelukannya juga merenggang. Aku mendorong tubuh Wisnu menjauh dan melihat wajahnya yang sudah kumal akibat air mata. Mata Wisnu memerah dan bengkak sebab terlalu banyak menangis.

Kuusap wajah itu agar tidak menangis lagi.

"Udah, sekarang makan dulu. Lo ga makan dari pagi kan?" tanyaku.

Mata Wisnu yang mulanya menatapku perlahan-lahan menatap ke arah lain dengan wajah yang tampak bingung dan linglung.

Air matanya juga berkali-kali mengalir meski wajahnya masih sama. Aku mengusapnya terus menerus.

"Lo ga sendirian kok. Ada gue," ucapku.

Ia kembali menatapku dan aku mengusap air matanya lagi. Aku memeluknya kembali dan kali ini dia tidak menangis.

"Mungkin ...." Aku menghentikan kalimat itu sebab tiba-tiba dadaku terasa sakit dan kerongkonganku menerik. "Suatu saat gue bakalan ngerasain apa yang lo rasain. Gue cuma tinggal berdua sama ibu," lanjutku.

Wisnu membalas pelukan itu dan menyandarkan kepalanya di bahuku.

Aku mengusap air mata yang mendadak keluar tanpa perintah.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!