Setelah pernikahan yang penuh kekerasan, Violet meninggalkan segala yang lama dan memulai hidup baru sebagai Irish, seorang desainer berbakat yang membesarkan putrinya, Lumi Seraphina, sendirian. Namun, ketika Ethan, mantan suaminya, kembali mengancam hidup mereka, Irish terpaksa menyembunyikan Lumi darinya. Ia takut jika Ethan mengetahui keberadaan Lumi, pria itu akan merebut anaknya dan menghancurkan hidup mereka yang telah ia bangun. Dalam ketakutan akan kehilangan putrinya, Irish harus menghadapi kenyataan pahit dari masa lalunya yang kembali menghantui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 17
“Benar-benar,” jawab Zayn tegas. Tatapannya mantap menembus mata Carisa. “Kalau aku sudah janji, aku akan melakukannya.”
Carisa menatapnya tajam, penuh kemarahan yang selama ini ia tahan. Matanya menyala dengan amarah yang tak biasa. “Kalau begitu… bantu aku cari tahu siapa perempuan yang berselingkuh dengan Ethan!”
Zayn menelan ludah. Perubahan nada suara Carisa membuat bulu kuduknya berdiri. Tapi Carisa belum selesai.
“Aku ingin tahu siapa dia… karena aku tidak akan membiarkannya hidup dengan tenang di dunia ini.”
Kalimat itu jatuh dari bibir Carisa seperti kutukan. Tangannya mengepal begitu keras hingga sendi-sendinya memutih. Mata yang dulu lembut kini merah tua, penuh dendam.
Carisa yang lembut sudah tidak ada.
Zayn terdiam. Jari-jarinya yang digenggam Carisa mulai terasa sakit. Ia menatap perempuan itu dengan rasa yang campur aduk—tak percaya, takut, dan… iba.
“Carisa… kamu jangan begini…” ucapnya pelan, seolah mencoba menenangkan badai.
Namun Carisa justru tertawa miris. “Kenapa? Kamu takut? Bukankah kamu baru saja bersumpah akan melakukan apa pun untukku?”
Zayn terdiam.
“Aku hanya minta kamu cari tahu siapa dia, dan kamu sudah ragu? Zayn… kamu tahu apa yang telah dilakukan Ethan padaku?” Carisa berseru.
“Dia janji akan bersamaku seumur hidup! Tapi dia malah tidur dengan perempuan lain!”
“Carisa…” suara Zayn tercekat. Ia tahu Ethan kejam. Tapi melihat Carisa seperti ini membuat hatinya nyeri.
“Kamu juga!” Carisa menepis tangan Zayn dengan kasar.
“Kamu bilang akan melindungiku! Tapi saat aku butuh kamu, kamu malah ragu!”
Carisa bangkit dari tempat tidur, nyaris jatuh karena tubuhnya masih lemah. Tapi tekadnya lebih kuat dari rasa sakit.
“Kalau kamu tidak mau bantu aku… aku akan cari dia sendiri!” serunya keras.
Zayn segera memeluknya, menahan tubuhnya yang mulai limbung. “Carisa! Jangan gegabah! Kamu belum pulih!”
“Aku tidak peduli!” jeritnya sambil memberontak. “Kalau dia tidak mati, maka aku yang akan mati!”
Zayn meremas bahunya, mencoba membuatnya sadar. “Baik! Aku janji! Aku akan cari tahu siapa dia! Tolong, tenangkan dirimu!”
Carisa berhenti meronta. Napasnya tersengal, matanya basah, tapi ia menatap Zayn dengan sorot lega. “Benarkah?”
“Benar,” kata Zayn tanpa ragu.
“Kamu tidak membohongiku?”
“Aku tidak akan pernah membohongimu,” jawabnya, menatap Carisa seperti sesuatu yang sangat rapuh.
Carisa tersenyum tipis. Ia kembali merebahkan tubuhnya di ranjang.
Melihat Carisa sudah lebih tenang, Zayn menghela napas. Ia tahu, membantu Carisa kali ini jauh lebih berbahaya dari sekadar mengusir perempuan yang dekat dengan Ethan.
Ini menyangkut hidup dan mati.
Tapi… jika itu bisa membuat Carisa tetap hidup, tetap berada di sisinya, maka ia rela menanggung semuanya sendiri. Lebih baik ia yang kotor… daripada Carisa yang hancur.
“Zayn,” panggil Carisa pelan, suaranya lembut, hampir seperti bisikan angin. “Kunci pintu kamar. Pastikan tidak ada yang bisa masuk.”
Zayn sedikit terkejut. Nada suara Carisa berubah drastis. Tapi ia tetap mengangguk dan menuju pintu, lalu memastikan semuanya terkunci rapat.
Saat ia berbalik, tiba-tiba Carisa memeluknya dari belakang. Pelukan itu hangat.
“Carisa…” bisik Zayn.
Perempuan itu menyandarkan wajahnya di dada Zayn.
“Cium aku.”
Zayn terdiam. Lalu perlahan membalas pelukan itu, mencium Carisa dengan lembut. Ia tak tahu ini bentuk cinta, pelarian, atau keputusasaan, tapi ia tahu satu hal, ia mencintai Carisa, lebih dari hidupnya sendiri.
Dan jika Carisa butuh pembalasan, maka dialah yang akan melakukannya.
Ethan memejamkan mata, bersandar di kursi kerja berlapis kulit hitam. Satu jam sudah berlalu sejak ia tiba di kantor, tapi tak ada satu pun pekerjaan yang disentuh. Kepalanya terasa berat, dihimpit oleh penyesalan yang menusuk.
Wajah Carisa kembali membayang. Lembut dan penuh kepercayaan. Wanita itu pernah ia janjikan untuk dijaga, dicintai, dan tidak akan dibuat menangis. Tapi justru dialah yang kini menjadi sumber luka.
"Aku harus jujur... Harus," pikir Ethan dengan tekad bulat. Apa pun reaksinya nanti, entah marah, kecewa, atau tak sudi melihat wajahnya lagi, ia akan memohon ampun. Ia ingin menebus kesalahannya, meski itu butuh waktu seumur hidup.
Saat ia sedang berusaha menyusun kata-kata untuk mengaku, seseorang masuk ke ruangannya tanpa mengetuk. Dion, sahabatnya yang penuh gaya dan selalu santai, muncul dengan langkah ringan.
"Bro, ada masalah besar," katanya dengan senyum menggoda. Ia mengenakan setelan biru terang, kemeja putih, tanpa dasi, semakin menunjukkan sikap santainya yang khas. Tingginya menjulang, rambutnya ditata modern, dan wajahnya selalu memancarkan kesan sembrono.
"Masalah apa lagi?" Ethan mengerang pelan. Kepalanya masih terasa nyut-nyutan. Kalau saja semalam Dion tidak menyeretnya bertemu Direktur Anton, lalu meninggalkannya begitu saja, kejadian itu, pertemuannya dengan Irish, mungkin takkan pernah terjadi.
"Masalah yang menyangkut kamu, tentu saja." Dion menjatuhkan dirinya ke sofa tamu tanpa rasa bersalah.
Ethan tidak menjawab. Ia membuka dokumen di mejanya, mencoba mengalihkan perhatian.
"Apa Carisa tidak nyuruh kamu berlutut di depan pintu?" goda Dion dengan nada iseng, sambil menyilangkan kaki.
Ia tahu betul bahwa Ethan tidak pulang semalam. Bahkan, ia yang pertama kali mengetahui kabar itu langsung dari Direktur Anton yang sempat panik.
Semalam, saat Dion sedang sibuk “mengejar target barunya,” teleponnya berdering. Ternyata Direktur Anton, yang seharusnya membahas kerja sama dengan Ethan, malah mengabarkan bahwa Ethan pergi dengan seorang wanita.
Zayn nyaris tertawa saat itu juga. Sahabatnya yang dikenal terlalu setia. Bahkan setelah empat tahun menikah, Ethan masih terlihat seperti pria yang pertama kali jatuh cinta. Tapi sekarang? Ia penasaran siapa wanita yang bisa membuat pria setegar Ethan goyah.
Ketika ponselnya kembali berdering—kali ini dari Carisa, ia langsung siaga. Suaranya lembut seperti biasa, tapi Dion bisa menangkap nada curiga di baliknya.
Dengan segenap pengalaman menggoda wanita, Dion berbohong tanpa cela. Ia bilang Ethan bersamanya semalam, membahas urusan pekerjaan. Tidak ada wanita lain, tidak ada kejadian aneh. Semuanya aman.
Begitu telepon ditutup, ia langsung datang ke kantor, setengah khawatir sahabatnya akan menggagalkan semuanya dengan satu kalimat pengakuan bodoh.
Namun saat melihat Ethan masih tenang, ia merasa lega.
"Gila. Aku ini teman paling loyal sedunia," gumamnya dalam hati, bangga pada diri sendiri.
"Berhenti mengoceh dan urus perhiasanmu itu." Ethan masih menolak mengangkat kepala.
"Perhiasan? Wanita-wanita itu berebut karyaku, santai saja," Dion mengangkat bahu, lalu mendekat. "Tapi serius, bro. Semalam waktu Carisa menghubungi, aku lagi 'berperang', tahu sendiri maksudku. Tapi tetap aku angkat. Demi kamu!"
"Zayn." Tiga garis kerutan muncul di dahi Ethan. Ia akhirnya menatap Dion dengan pandangan tajam.
"Apa sebenarnya yang mau kamu tanyakan?"
"Kamu ketahuan tidak?" tanya Dion dengan sorot mata penuh rasa ingin tahu.
"Belum." Ethan melemparkan pulpen ke meja, frustrasi. Bayangan Carisa yang pagi tadi begitu perhatian padanya membuat dadanya semakin sesak. Ia tak tahan terus berbohong.
"Syukurlah!" Dion tertawa kecil, seperti baru saja lolos dari jebakan maut. "Direktur Anton dan yang lainnya juga sudah aku peringatkan. Mereka tidak akan bocor, tenang saja. Bahkan aku sendiri tidak tahu siapa wanita itu!"
Ethan terdiam. Ia tahu Carisa terlalu percaya padanya untuk mencurigai apa pun. Tapi itulah yang membuat rasa bersalah ini makin menyiksa. Ia merasa wajib jujur. Ia ingin bersih, meski risikonya besar.
"Aku harus jujur pada Carisa," ucap Ethan, pelan namun tegas.
"Apa?!" Dion hampir berdiri dari kursinya. "Kamu gila, ya? Jangan! Itu sama saja mengubur hidup-hidup dirimu sendiri!"