"Aku istrimu, Aditya! Bukan dia!" Aurelia menatap suaminya yang berdiri di ambang pintu, tangan masih menggenggam jemari Karina. Hatinya robek. Lima tahun pernikahan dihancurkan dalam sekejap.
Aditya mendesah. "Aku mencintainya, Aurel. Kau harus mengerti."
Mengerti? Bagaimana mungkin? Rumah tangga yang ia bangun dengan cinta kini menjadi puing. Karina tersenyum menang, seolah Aurelia hanya bayang-bayang masa lalu.
Tapi Aurelia bukan wanita lemah. Jika Aditya pikir ia akan meratap dan menerima, ia salah besar. Pengkhianatan ini harus dibayar—dengan cara yang tak akan pernah mereka duga.
Jangan lupa like, komentar, subscribe ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 : Karina terpuruk
Malam itu, dunia seakan berhenti berputar di sekitar ruang perawatan intensif rumah sakit. Di balik dinding putih yang dingin dan lampu neon yang berkelap-kelip, keadaan sungguh kacau. Suasana hening yang seharusnya menenangkan malah berubah menjadi medan peperangan emosional.
Karina terbaring di ranjang, wajahnya pucat dan mata yang setengah terbuka menyiratkan penderitaan yang mendalam. Dengan luka-luka yang menganga dan bekas amputasi di kakinya, ia tampak rapuh, namun di balik kerentanan itu tersimpan amarah yang meledak-ledak. Di samping ranjang, Aditya berdiri dengan muka memerah, air mata bercampur dengan keringat dingin, sementara tangannya gemetar hebat karena emosi yang berkecamuk.
“Kenapa kau harus begini, Karina?!” teriak Aditya dengan suara pecah, nada marah dan putus asa.
Karina, yang masih dalam kondisi setengah sadar, berusaha mengumpulkan kekuatannya untuk menjawab, suaranya terdengar lemah namun penuh dengan kemarahan yang menggelegak:
“Kau selalu bilang kau mencintaiku, Aditya, tapi cinta itu tidak cukup untuk menutupi semua kebohongan dan pengkhianatan!”
Aditya mengepalkan tangannya di samping ranjang, matanya berkaca-kaca, namun masih terpancar kemarahan yang sulit dibendung:
“Aku—aku mencoba! Aku berusaha mempertahankan segalanya, bahkan ketika semuanya hancur!”
Dalam keheningan yang sesaat, suara dokter terdengar memecah kekacauan itu.
“Tuan Aditya, tolong tenangkan diri. Kondisi Karina sangat kritis, dan dia butuh perawatan intensif sekarang,” ujar dokter dengan suara lembut namun tegas, berusaha mengembalikan ketertiban di ruangan yang sudah penuh dengan emosi.
Aditya menggeleng dengan kaku, namun tidak bisa mengalihkan tatapannya dari wajah Karina yang kini penuh penderitaan. Ia berjalan mendekat, memegang tangan Karina dengan lembut, seolah ingin menghapus semua kesalahan yang pernah terjadi.
“Karina, maafkan aku… aku…” bisiknya, namun suara itu tenggelam dalam deru hati yang hancur.
Di balik tirai jendela ruang ICU, suara ponsel Aditya tiba-tiba berdering. Dengan gemetar, ia mengeluarkan ponselnya dan melihat sebuah pesan masuk. Pesan itu dari Rayhan, sepupu yang selama ini diam-diam melindungi Aurelia dan mengatur segala sesuatu di balik layar. Pesan itu berbunyi singkat namun menusuk:
“Ini belum berakhir. Aku punya rencana yang akan mengguncang segalanya. Bersiaplah.”
Aditya memejamkan mata, merasakan dinding antara ia dan kenyataan semakin melebar. Histeris dan tak mampu menahan kekacauan yang terus bertambah, ia mulai menangis seraya memeluk tangan Karina.
Karina, yang mendengar percakapan telepon itu, membuka matanya lebar-lebar, lalu berbisik dengan suara penuh amarah dan kesakitan:
“Kau lihat? Semuanya sudah berjalan sesuai rencana Rayhan! Semua itu—semua ini bukan hanya tentang aku atau kau. Ini tentang balasan untuk setiap kebohongan yang telah kau ciptakan, Aditya!”
Aditya menatap Karina dengan tatapan penuh keputusasaan dan kemarahan yang semakin memuncak. “Aku tidak akan membiarkan semuanya berakhir seperti ini. Aku tidak akan membiarkan diriku dikhianati lagi!”
Suasana semakin mencekam. Di ruang rumah sakit yang sempit itu, suara-suara saling bertabrakan, tak ada yang bisa menghentikan kemarahan dan rasa sakit yang mendalam. Aditya, yang selama ini tampak kuat, kini terlihat rapuh dan bingung. Karina, meskipun terbaring lemah, masih berteriak dengan penuh kebencian, mengutuk setiap keputusan yang pernah diambilnya.
Di sela-sela amarah mereka, tiba-tiba terdengar suara langkah cepat dari lorong rumah sakit. Seorang perawat masuk dengan wajah cemas dan berbicara dengan nada mendesak:
“Tuan Aditya, mohon segera tenangkan diri. Kami akan segera memindahkan Karina ke ruang perawatan lanjutan untuk operasi susulan. Kondisinya semakin memburuk.”
Aditya menggeleng, air matanya mengalir deras. “Jangan... jangan pindahkan dia tanpa aku! Aku... aku harus berada di sini!”
Karina, meski lemah, membuka matanya sejenak, menatap Aditya dengan tatapan yang penuh dendam dan keputusasaan.
“Kau pikir kau bisa menyelamatkanku, Aditya? Kau pikir semua ini akan berakhir dengan cinta yang kau janjikan? Aku sudah terlalu banyak menderita!”
Aditya mencoba menjawab, namun suaranya terputus-putus, emosinya sudah mencapai puncak.
Di luar ruang perawatan, melalui jendela kaca, muncul bayangan seorang pria yang berdiri diam di lorong. Bayangan itu bukan milik siapa pun yang hadir di ruang itu. Di balik bayangan itu, terdengar bisikan halus yang seolah menggema di seluruh ruangan:
“Kalian belum melihat separuh dari apa yang akan terjadi…”
Suara itu membuat hati Aditya bergetar, dan Karina yang masih tersisa kesadarannya tampak ketakutan.
Aditya, yang sejenak melupakan amarahnya, mendekat ke jendela, mencoba menangkap bayangan itu. Tapi saat ia mendekat, pintu ruang perawatan terbuka dengan cepat, dan seorang petugas medis segera menutupnya.
Dalam kekacauan itu, Rayhan mengirim pesan lanjutan kepada Aditya melalui ponselnya. Pesan itu berbunyi:
“Aditya, kau pikir kau sudah mengendalikan semuanya? Kesalahan besar telah terjadi, dan aku tidak akan biarkan dirimu lolos dari akibatnya.”
Aditya merespons dengan isak tangis, suaranya gemetar:
“Apa maksudmu, Rayhan? Apa yang kau lakukan?!”
Pesan itu tidak segera dijawab, meninggalkan Aditya dalam kebingungan yang semakin mencekam. Sementara itu, di ruang perawatan, Karina dengan suara lirih, namun penuh dengan dendam, mencoba berbicara kepada Aditya:
“Aku tahu kau masih berpikir aku akan tetap berada di sisimu, Aditya. Tapi lihatlah sekarang, kau sendiri pun tak mampu mengendalikan keadaan. Semua sudah menjadi kacau!”
Aditya membalas dengan suara yang penuh amarah dan kesakitan:
“Aku akan memperbaikinya, Karina. Aku akan mengambil kembali kendaliku, aku akan… aku akan membuat semua ini berakhir!”
Di tengah kekacauan itu, percakapan antara Karina dan Aditya semakin berubah menjadi teriakan histeris yang mengisi seluruh ruangan. Suara-suara mereka bergabung dengan isak tangis, teriakan minta tolong dari beberapa pasien lain yang juga terdengar samar.
Karina, meski lemah, berdiri dengan semangat yang tersisa, berteriak:
“Kau pikir kau bisa menyelamatkan diri dari semua ini? Semua kebohongan dan pengkhianatan itu akan menghantui kita selamanya!”
Aditya, yang wajahnya memerah karena amarah, membalas dengan suara gemetar,
“Aku tidak akan membiarkan ini berakhir tanpa balasan, Karina! Aku akan mengembalikan kehormatan yang telah kau hancurkan!”
Suasana di ruang perawatan semakin memanas, seolah-olah dinding-dindingnya pun bergemuruh mendengar teriakan mereka. Di antara keributan itu, ada ketukan keras di pintu utama ruang perawatan. Semua mata tertuju ke arah pintu, dan hati semua orang di ruang itu berdebar.
Pintu itu terbuka perlahan, dan cahaya lampu menyinari seorang pria yang berdiri di sana. Dia mengenakan jas hitam rapi, dengan ekspresi tegas yang seolah datang membawa keputusan yang tak terelakkan.
Pria itu adalah Rayhan. Namun, di malam itu, ia tidak hanya hadir sebagai pengawas atau pelindung diam-diam. Ia hadir dengan aura kekuasaan yang membuat seluruh ruangan terdiam sejenak.
Dengan suara yang dalam dan penuh otoritas, Rayhan berbicara:
“Cukup!”
Semua terdiam. Bahkan suara mesin di luar seolah berhenti sejenak. Rayhan menatap ke sekeliling ruangan, wajahnya tampak sangat serius.
“Aku telah melihat cukup banyak kekacauan yang kau ciptakan, Aditya. Dan aku tidak akan membiarkan kalian berdua terus merusak apa pun lagi. Ini saatnya untuk keadilan, dan keadilan itu harus ditegakkan tanpa kompromi.”
Aditya menatap Rayhan dengan mata penuh amarah dan ketakutan yang bersamaan. “Apa maksudmu, Rayhan? Kau pikir kau bisa mengatur semuanya?”
Rayhan mendekat, wajahnya semakin mendekati Aditya. “Kau sudah terlalu lama bermain dengan api, Aditya. Aku telah melihat segala perbuatanmu—pengkhianatan, penipuan, dan penderitaan yang kau timbulkan. Hari ini, aku akan memastikan kau menerima akibat dari semua itu.”
Karina yang mendengar kata-kata Rayhan, meskipun dalam kondisi lemah, tidak bisa menahan diri. Ia mulai menangis histeris, tangannya bergetar hebat. “Aku… aku tidak bisa... Aku tidak mau begini!”
Aditya mengguncang kepalanya, air matanya mulai mengalir di wajahnya yang kotor oleh amarah dan keputusasaan. “Kita harus melakukan sesuatu! Aku tidak bisa membiarkan semua ini terjadi!”
Rayhan mengangkat tangan, menghentikan teriakan mereka. “Dengarkan aku, kalian berdua. Aku telah merencanakan ini jauh sebelum kejadian malam ini. Semua langkah sudah kubuat agar keadilan tidak hanya menjadi kata-kata kosong.”
Dia kemudian mengeluarkan sebuah berkas tebal dari tasnya dan meletakkannya di meja yang berada di tengah ruangan. Berkas itu berisi semua bukti—dokumen, rekaman video, catatan transaksi—yang menunjukkan betapa jauh Aditya telah melanggar batas.
Rayhan melanjutkan dengan suara dingin:
“Mulai hari ini, 10% saham perusahaan telah dialihkan kepada Aurelia. Itu adalah peringatan untuk Aditya bahwa segala yang kau bangun dengan kebohongan akan hancur dalam sekejap. Dan untuk Karina, kau akan segera dipindahkan dari posisimu sebagai sekretaris. Tidak ada ruang untuk pengkhianatan di perusahaan ini.”
Suasana semakin mencekam. Aditya terdiam, matanya menyala karena kemarahan yang membuncah, sedangkan Karina menangis histeris, merasa tidak berdaya menghadapi kenyataan pahit itu.
“Kau pikir aku akan menerima ini begitu saja?” teriak Aditya, suaranya pecah oleh emosi.
Rayhan menatapnya dengan tatapan tajam, lalu menjawab dengan suara yang dingin:
“Kau sudah memilih jalurmu sendiri, Aditya. Dan sekarang, segala sesuatu yang kau bangun selama ini akan hancur. Aku sudah menyusun semuanya dengan perhitungan yang cermat. Kau tidak punya pilihan lain.”
Aditya mencoba bangkit dari kursinya, namun langkahnya tersandung oleh kelelahan emosional. Dia terlihat kewalahan, tak mampu lagi mengendalikan kemarahannya.
(BERSAMBUNG KE BAB SELANJUTNYA)
kadang dituliskan "Aurelnya pergi meninggalkan ruangan tsb dengan Anggun"
Namun.. berlanjut, kalau Aurel masih ada kembali diruangan tsb 😁😁🙏