Murni, seorang biarawati yang sedang cuti karena ingin menyembuhkan jiwa setelah terganggu mimpi-mimpi buruk yang terus berdatangan, menerima pesan aneh di ponselnya -suara paniknya sendiri yang membuatnya penasaran. Ia mengikuti petunjuk yang membawanya ke sebuah warung makan tua yang hanya buka saat malam.
Di warung itu ia bertemu dengan Mahanta, seorang juru masak pendiam yang misterius. Namun warung itu bukan warung biasa. Pelanggannya adalah jiwa-jiwa yang belum bisa pergi, dan menu makanannya bisa menenangkan roh atau mengirimnya ke dalam kegelapan. Murni perlahan terseret dalam dunia antara hidup dan mati. Ia mulai melihat masa lalu yang bukan miliknya. Meskipun Mahanta tampaknya menyimpan rahasia gelap tentang siapa dirinya dan siapa Murni sesungguhnya, pria itu bungkam. Sampai cinta yang semestinya dilarang oleh langit dan neraka merayap hadir dan mengungkapkan segalanya.
L'oubli (B. Perancis): keadaan tidak menyadari atau tidak sadar akan apa yang sedang terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Season 1 ; Bab 33 - Wanita Yang Dicintai Mahanta
Wanita itu tidak terlihat seperti manusia hidup. Tetapi juga bukan roh. Lalu apa?
Yang jelas, dia bukan pengunjung biasa.
Murni berdiri lama di tengah warung, memandangi jejak kaki wanita itu yang langsung lenyap tersapu air.
Apakah wanita itu berkata jujur?
Hatinya bergemuruh, pikirannya menolak menyusun jawaban.
Ia membenci perasaan ini.
Ia membenci bahwa sebagian dari dirinya merasa lega saat wanita itu pergi.
Hatinya kalut.
Jika benar Mahanta telah menikah… alangkah tidak patut dirinya yang mengejarnya tanpa malu!
Ia mengingat lagi tentang malam-malam yang mereka habiskan bersama. Percakapan-percakapan mereka. Rasa terbiasa berada di dekatnya. Tatapan Mahanta. Sentuhan singkat yang membuat jantungnya berdetak tak karuan. Senyuman tipis misterius yang membuatnya bertanya-tanya.
Dan malam terakhir ketika Mahanta menawarkan sup yang diikat benang merah. Yang dikatakan untuk jiwa yang gelisah, yang akan membantunya menghapus keraguan. Ketika itu, Mahanta mengatakan jika ia bersedia meminumnya, maka tempat ini akan memilikinya, dan ia akan menjadi… miliknya.
Sepertinya semua menunjukkan bahwa Mahanta juga menyukainya.
‘Apakah aku… telah salah menyimpulkan?’ pikirnya.
Apakah lelaki itu hanya memperdayanya? Mempermainkan hatinya yang masih polos, sementara di belakangnya dia menertawakannya?
Sudah terlalu terlambat untuk menanyakan itu sekarang. Ia telah memilih karena yakin. Lalu mengapa sekarang keyakinan itu menguap begitu saja?
Pada saat semuanya telah terlanjur.
Itu karena wanita itu. Istrinya.
Dadanya perih. Murni meremas ujung bajunya, mencoba mengusir rasa itu. Tetapi malah semakin terasa nyata.
‘Aku yang jatuh cinta sendiri. Aku yang bodoh.’
Tangannya gemetar saat menyentuh meja. Ia ingin marah, tapi tak tahu pada siapa. Pada Mahanta? Pada dirinya sendiri? Atau pada Tuhan yang memberinya hati… lalu melarang untuk menggunakannya?
Lampu di atasnya berkedip. Kilat menyambar di luar jendela, menyinari ruangan yang kini terasa seperti tubuh yang kehilangan jiwa.
Ia menyandarkan dahinya ke meja. Matanya memanas, tetapi ia menahan air mata di pelupuknya agar tidak jatuh.
Ini adalah jalan yang dipilihnya. Ia harus kuat. Ia menggelengkan kepala, mengusir prasangka-prasangka negatif itu. Ia mengatur napas, menenangkan kekusutan pikiran dan kegalauan hatinya.
Tiba-tiba angin menerobos jendela yang sedikit terbuka. Tirai berkibar. Sesuatu terjatuh di lantai ruang tengah. Buku menu tua. Saat ia memungutnya, kertas-kertas di dalamnya beterbangan, dan satu halaman terbuka sendiri, seperti disengaja.
Nama-nama menu yang biasa ia lihat: hilang.
Hanya ada satu tulisan, dengan tinta yang sangat pudar.
“Makanan malam ini: kesepian.”
Murni menggigit bibir, menyeka air mata yang akhirnya lolos juga.
Ia kembali ke meja. Duduk. Menatap pintu dapur yang tak terbuka. Lalu menatap kursi Mahanta lagi.
Pikiran negatif kembali datang.
‘Mungkin dia membiarkanku tinggal di sini hanya sampai aku mendapat jawaban.’
“Kau mengatakan jawaban yang kucari sebentar lagi datang. Apakah ini jawabannya? Aku harus melayani di sini sendiri, tanpamu?” Murni mengedarkan pandangan.
Membayangkan lelaki itu tiba-tiba muncul di hadapannya untuk memberi jawaban.
Namun, hanya ada kesunyian. Yang menjawab hanya bunyi tetesan air di langit-langit. Hujan semakin deras di luar.
Lilin di pojok ruangan mati sendiri. Tak ada pelanggan malam ini. Seolah semua tahu Mahanta tak akan datang. Seolah ia satu-satunya yang datang tanpa diundang.
Murni memeluk dirinya sendiri.
Dan dalam bisikan lirih, penuh luka, ia berkata. “Jika kau tak ingin aku datang lagi… Katakan saja, Mahanta. Kau tidak perlu membiarkan aku dalam kebimbangan seperti ini. Jangan mempermainkan aku.”
“Kau tidak mengatakan akan pergi. Kau bahkan tidak mengucapkan selamat tinggal.”
Murni memejamkan mata. Di balik kelopaknya, ia kembali melihat bayangan tangan Mahanta dan tangannya yang hampir bersentuhan. Tatapan mata hitam keunguan yang terlalu dalam. Semua tindakan tertahan yang seakan-akan mengatakan…
“Kau adalah pengantin Tuhan…”
“Aku tak ingin mencuri apa yang bahkan Tuhan pun tunggu…”
Kata-kata itu terasa menyakitkan sekarang.
Murni tidak tahu yang mana lebih melukainya. Karena merasa tertolak. Atau karena salah mengambil kesimpulan.
Sekarang apa? Apa yang harus dilakukan?
Mengonfrontasi tidak bisa dilakukan jika lelaki itu bahkan tidak ada. Mencari kebenaran kata-kata wanita itu, bagaimana caranya? Dan apakah ada gunanya?
Namun entah mengapa, Murni merasa setengah tidak percaya. Atau menolak percaya.
Karena itu, mengikuti dorongan hati, ia berjalan mengitari warung.
Ada satu tempat yang tidak pernah bisa dimasukinya sendiri. Dapur. Seolah di sana menyimpan banyak rahasia.
Ia memang pernah diizinkan masuk, melihat-lihat berbagai toples rempah yang terpajang di sana. Tetapi waktu itu sang pemilik warung mendampinginya.
Lagi pula, bagaimana caranya masuk?
“Mahanta, bolehkah aku masuk ke dapur?” Ia berbisik, seolah Mahanta ada di depannya.
Tanpa dinyana, tiba-tiba ia sudah ada di bagian dalam warung, di seberang meja saji panjang.
Murni tertegun. Jadi ia hanya perlu meminta, dan ia akan mendapatkannya?
Murni melangkah ke dapur. Hati kecilnya mengatakan, ada sesuatu di sana.
Ia berkeliling, melangkah perlahan. Tangannya menyusuri meja, kompor, alat-alat memasak yang tergantung
Tiba-tiba, tangannya menyentuh permukaan meja kayu yang tidak rata.
Murni berhenti bergerak. Menoleh. Itu meja yang paling tersembunyi. Permukaan yang tidak rata itu sepertinya ukiran. Ia mendekatkan kepala, memperhatikan dengan saksama, dan… mencoba membaca yang terukir di sana.
Itu terlalu gelap.
Murni meraih lilin yang tertancap di kandil. Lilin itu mati. Ia mencari-cari korek api dan menyalakannya, lalu membawanya kembali ke meja.
Di bawah cahaya lilin, tulisan itu tampak jelas.
C.A.S.T.A.
Satu demi satu huruf yang diukir itu sangat dalam, seakan-akan tumpahan kerinduan. Seolah setiap kali merindukan nama itu, Mahanta akan kembali menggoreskan pisaunya semakin dalam.
Casta…
Jantung Murni berdebar-debar, keningnya berkerut.
Apakah ini sebuah nama? Jika ya, sepertinya itu nama wanita. Tanpa bisa dicegah, hati Murni tersengat oleh rasa cemburu.
Apakah wanita yang mengaku istri Mahanta itu tahu siapa dia? Atau dia adalah salah satu wanita yang tertarik pada lelaki itu?
Atau…kemungkinan yang lebih menyesakkan, apakah Casta adalah nama wanita tadi?
Tidak. Tidak.
Ada sesuatu dalam dirinya yang menolak keras kemungkinan itu.
Murni merasa Casta tidak asing. Bukan orang asing. Apalagi nama wanita yang mengaku istri Mahanta itu. Bukan.
Casta adalah sesuatu yang lebih dekat, lebih dalam, lebih… menyatu.
Ia berdiri mematung di depan meja pojok itu. Matanya terpaku pada ukiran nama di meja.
“Casta…” bisiknya, “…siapa kau? Apakah aku mengenalmu?”
“Apakah kau wanita yang dicintai Mahanta? Itu sebabnya dia meninggalkan istrinya?”