NovelToon NovelToon
12th Layers

12th Layers

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Fantasi / Sci-Fi / Misteri
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: GrayDarkness

Maelon Herlambang - Pria, 16 Tahun.

Dibesarkan di lapisan pertama, panti asuhan Gema Harapan, kota Teralis. Di sekeliling kota ditutupi banyak tembok besar untuk mencegah monster. Maelon dikhianati oleh teman yang dia lindungi, Alaya. Sekarang dia dibuang dari kota itu dan menjadi umpan monster, Apakah Maelon bisa bertahan hidup didunia yang brutal dan tidak mengenal ampun ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29: Latihan Diluar

Menjelang sore, latihan ditutup dengan pengulangan semua gerakan serangan dasar. Tombak Maelon yang rapuh kembali digunakan, menyayat udara dalam lengkungan-lengkungan kaku yang perlahan diperbaiki. Vivi menggunakan tongkat lurus dari bambu, melatih ayunan dan kelincahan tangan. Daniel berdiri di antara mereka, memperbaiki posisi kaki, membetulkan arah pundak, dan sesekali menahan serangan mereka dengan lengan kosongnya—menunjukkan betapa besar perbedaan kekuatan mereka saat ini.

Tubuh mereka nyaris runtuh ketika matahari mulai condong ke barat. Kaki lemas, tangan mati rasa, dan napas terengah dalam paru-paru sempit. Tapi tidak ada yang mengeluh. Tidak hari ini.

Daniel akhirnya membuka suara. “Cukup untuk hari ini. Kalian belum kuat. Tapi kalian berjalan di arah yang benar.”

Lalu ia pergi, meninggalkan mereka berdua duduk bersandar di batang pohon tua dekat ladang, dengan tubuh lelah tapi hati yang anehnya tenang. Dalam keheningan yang diselingi napas berat dan aroma tanah, mereka menyadari: mereka telah memulai perjalanan yang tak akan pernah bisa mereka tinggalkan.

Matahari telah turun, menyisakan cahaya jingga yang lembut di tepian ladang. Udara sore terasa lengket namun tidak sepenuhnya menyiksa, seolah dunia tahu bahwa tubuh mereka telah cukup digerus hari ini. Maelon duduk bersandar pada batang pohon tua yang keras namun teduh, dan di sisinya, Vivi juga duduk, lutut dirapatkan ke dada, rambutnya kusut oleh peluh dan debu. Keduanya diam sejenak, membiarkan keheningan menyerap ke dalam kulit seperti embun yang membasahi luka.

Setelah beberapa saat, Maelon menoleh sedikit. “Kau tadi nyaris pingsan di putaran ketujuh,” katanya pelan, setengah menggoda, tapi nada suaranya lelah dan jujur, seperti daun kering yang jatuh tanpa beban.

Vivi tertawa kecil, samar. “Aku pikir aku sudah mati di putaran keenam,” balasnya, matanya menatap kosong ke langit yang mulai redup. “Tapi entah kenapa... aku terus jalan. Mungkin karena aku terlalu keras kepala.”

Maelon mengangguk pelan, lalu menatap lurus ke depan. “Atau mungkin karena kau punya alasan yang cukup kuat untuk bertahan.”

Vivi menoleh, dan ada jeda dalam pandangannya. “Apa alasanmu?” tanyanya. Bukan pertanyaan yang menggali—lebih seperti undangan. Suara angin melintas pelan di antara batang padi yang mulai bergoyang.

Maelon terdiam cukup lama sebelum menjawab. “Aku... tidak tahu,” katanya akhirnya, jujur dan kosong. “Mungkin karena aku benci dunia ini. Karena aku ingin sesuatu berubah. Karena aku tidak ingin mati seperti sampah yang tidak dikenal siapa pun. Atau mungkin... karena aku tidak punya pilihan lain.”

Vivi menunduk. “Kita semua mungkin tidak punya pilihan. Tapi setidaknya, kita memilih untuk tidak diam.”

Mereka terdiam lagi, tapi bukan keheningan yang canggung—lebih seperti napas yang dibutuhkan setelah kalimat panjang. Dunia di sekitar mereka perlahan ditelan senja. Cahaya kemerahan menyelimuti wajah mereka, membentuk siluet-siluet kelelahan yang anehnya terlihat lebih hidup daripada pagi tadi.

“Maelon,” ucap Vivi lirih.

“Hmm?”

“Apa menurutmu kita bisa selamat?”

Maelon tidak segera menjawab. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menggeleng. “Entah. Tapi aku akan memastikan kita tidak mati dengan sia-sia.”

Vivi tersenyum tipis, tidak bahagia, tapi juga tidak putus asa. “Itu cukup.”

Ketika malam mulai merayap dari balik perbukitan, mereka akhirnya bangkit. Tubuh terasa berat, kaki seperti batu, tapi mereka melangkah juga. Berdua kembali ke gubuk. Jalanan desa yang mereka lewati lengang, hanya suara jangkrik dan desah tanah yang menyambut langkah mereka. Saat mereka sampai di depan gubuk reyot itu, Roy sedang menyalakan lentera kecil di sudut meja, menyambut mereka dengan anggukan diam.

Mereka tidak banyak bicara. Kelelahan menggantung di seluruh tubuh, menenggelamkan semua keinginan untuk menjelaskan. Vivi masuk ke kamar kecil yang baru diberikan padanya, dan Maelon melangkah ke ruangnya sendiri.

Di dalam, suasana kamar Maelon tak berubah—semuanya sederhana, dinding kayu rapuh, atap yang sesekali bocor, dan alas jerami yang mulai membentuk cekungan bekas tubuh. Tapi malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Di sakunya, Maelon masih menyimpan satu batu inti jiwa. Ia mengeluarkannya perlahan, duduk bersila, dan meletakkannya di depan lutut.

Tangannya gemetar sedikit saat menyentuh batu itu. Ia menarik napas pelan, lalu mulai menyerap.

Energi dari batu itu perlahan mengalir masuk—bukan sekadar cahaya, melainkan arus kehidupan yang membawa kenangan asing bersamanya. Dalam benaknya, Maelon melihat sekelebat bayangan—seseorang yang dulu memiliki kekuatan ini. Seorang pria muda, berwajah tajam dan mata seperti bara, sedang berdiri di tengah reruntuhan, tubuhnya separuh terbakar oleh kekuatan yang tak mampu ia kendalikan. Teriakan. Darah. Lalu sunyi. Batu itu menyimpan kepedihan, dan Maelon merasakannya, seperti sisa mimpi buruk yang menolak hilang setelah bangun tidur.

Ia meringis, tapi tidak menghentikan prosesnya. Tubuhnya bergetar, jiwanya sedikit tertekan. Tapi ia bertahan. Ia harus bertahan. Seperti kata Daniel, tubuh dan jiwa harus tumbuh bersama. Jika tidak, kekuatan akan melahapnya dari dalam.

Saat aliran energi selesai, batu itu retak dan hancur perlahan di tangannya. Nafas Maelon terengah, tapi tidak separah kemarin. Ada yang berubah. Sedikit. Tapi terasa.

Ia merebahkan diri perlahan di atas jerami—dingin, kasar, tapi malam ini terasa lebih layak daripada sebelumnya. Kelopak matanya menutup dengan perlahan, tubuhnya tenggelam dalam kegelapan yang bukan sekadar tidur, tapi juga pengendapan. Malam menyelimuti gubuk dengan sunyi, dan Maelon pun terlelap, membawa serpihan kekuatan yang belum utuh, tapi sedang ia bangun dengan penuh rasa sakit dan tekad yang sunyi.

---

Dua hari berlalu seperti embun yang menguap perlahan dari rerumputan saat pagi menggeliat dari tidur panjangnya. Dalam kurun waktu singkat itu, pelatihan yang dijalani Maelon dan Vivi bukan hanya mengikis kelemahan tubuh mereka, tapi juga menajamkan sesuatu yang lebih dalam—kesiapan jiwa untuk menghadapi dunia yang tak pernah ramah. Daniel, tanpa ampun namun penuh perhatian dalam cara yang tak langsung, membentuk mereka seperti menempa logam—membakar, memukul, dan mendinginkannya kembali dalam uap keringat dan letih.

Pagi hari yang ketiga dimulai dengan langit pucat yang tak menjanjikan apa-apa selain kesejukan sesaat sebelum panas menggigit. Di tempat latihan yang telah menjadi bagian dari keseharian mereka, Maelon berdiri dengan napas yang lebih tenang dibanding sebelumnya. Tubuhnya masih terasa nyeri, namun nyeri itu telah menjadi teman akrab, semacam pengingat bahwa dirinya telah bergerak lebih jauh dari titik awal. Vivi berdiri di sampingnya—gadis kurus yang kini mulai memiliki sinar di matanya, bukan sinar kekuatan, tapi kemauan untuk tetap bertahan, belajar, dan tumbuh.

Daniel berdiri di depan mereka, matanya menyapu keduanya dengan pandangan yang lebih serius dari biasanya. Suaranya keluar berat dan datar, tak seperti biasanya yang masih disisipi senyum kecil atau nada santai.

“Hari ini,” katanya, “kita akan keluar desa.”

Keduanya saling menatap sejenak. Kalimat itu terasa seperti rantai yang baru saja dilepas dari leher mereka.

“Kita akan berburu Lunatics. Kalian akan menghadapi makhluk-makhluk yang dulunya manusia, tapi kehilangan akalnya karena gagal mengendalikan kekuatan Doctrina.”

Daniel berhenti sejenak, memberi waktu pada kalimat itu untuk menggantung di udara.

“Aku tidak akan membantu. Ini bukan latihan. Ini kenyataan. Kalian akan lihat seperti apa akibat dari kegagalan. Dan kalian akan bertarung, bukan untuk menang, tapi untuk memahami satu hal penting: bahwa kalian bisa mati kapan saja.”

Maelon menelan ludahnya. Tangannya otomatis menggenggam gagang tombak kayu yang sudah mulai penuh retakan namun masih cukup kuat untuk digunakan. Vivi menarik napas perlahan, lalu mengangguk. Tak ada ketakutan di wajahnya, hanya kekhawatiran sunyi yang disembunyikan di balik sikap tenangnya.

Daniel mengambil satu tas kain kecil dari balik jubahnya, melemparkannya ke arah Maelon. Isinya beberapa pil hijau, dua kantong air kecil, dan sepotong batu Doctrina kosong—tak berwarna, tak bersinar.

“Untuk bertahan hidup,” katanya singkat.

1
Aisyah Christine
pasti susah utk memahaminya. bagaimana maelon bisa bersatu dan berkomunikasi dgn kekuatan baru
Aisyah Christine
ini kulivator moden thor😂
Aisyah Christine
perjuangan yang belum tuntas.. smoga bisa bekerjasama dgn tubuh yang baru.
Aisyah Christine
entah ini 1 keberkahan atau kutukkn tapi yg jelas maelon semakin kuat
Aisyah Christine
apa kayak parasit? tubuhnya udh pindah ke ank remaja itu?
angin kelana
survival..
angin kelana
pertama baca coba lanjut..
GrayDarkness: terima kasih banyak, semoga suka.
total 1 replies
Aisyah Christine
terus bertahan untuk hidup
Aisyah Christine
tanda dr makhluk aneh itu
Aisyah Christine
lebih baik mencoba sesuatu dr mati sia²😂
Aisyah Christine
cerita yang menarik. lanjut thor
GrayDarkness: terima kasih, do'ain aja biar bisa dieksekusi dengan baik. kalo ada kesalahan bilang aja biar nanti langsung diperbaiki.
total 1 replies
GrayDarkness
terima kasih sarannya akan diperbaiki secepatnya
azizan zizan
kekuatan ini datang bukannya dengan paksaan.. di ulang2 terus..
GrayDarkness: done, sedang direview terima kasih. kalo ada yang lain bilang aja, biar langsung diperbaiki.
total 1 replies
GrayDarkness
Betul, puitis.
Aisyah Christine: gaya bahasa nya lebih pada malay. maka aku faham😂
total 1 replies
azizan zizan
ini novel peribahasa kah apa ini.. alurnya berbelit-belit..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!