Cintia tumbuh di lingkungan yang penuh luka—bukan cinta yang ia kenal, melainkan pukulan, hinaan, dan pengkhianatan. Sejak kecil, hidupnya adalah derita tanpa akhir, membuatnya membangun dinding kebencian yang tebal. Saat dewasa, satu hal yang menjadi tujuannya: balas dendam.
Dengan cermat, ia merancang kehancuran bagi mereka yang pernah menyakitinya. Namun, semakin dalam ia melangkah, semakin ia terseret dalam kobaran api yang ia nyalakan sendiri. Apakah balas dendam akan menjadi kemenangan yang ia dambakan, atau justru menjadi neraka yang menelannya hidup-hidup?
Ketika masa lalu kembali menghantui dan batas antara korban serta pelaku mulai kabur, Cintia dihadapkan pada pilihan: terus membakar atau memadamkan api sebelum semuanya terlambat.
Ikuti terus kisah Cintia...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maurahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 ARAF KEMBALI, TAPI DENGAN JARAK.
“Kamu enggak ngerti, Raf,” katanya pelan, suaranya bergetar. “Kamu enggak pernah tahu rasanya dihancurkan sama orang-orang yang seharusnya melindungimu.”
Araf menatapnya, matanya penuh dengan emosi campur aduk. Ia ingin mendekat, ingin meraih tangan Cintia, tapi ada sesuatu dalam tatapan gadis itu yang membuatnya berhenti. Luka. Luka yang terlalu dalam sampai-sampai ia merasa tak layak mendekatinya.
“Aku memang enggak ngerti, Cin.” Suara Araf terdengar serak. “Tapi aku mau ngerti. Kalau kamu biarin aku ada di sini.”
Cintia memalingkan wajah. Ia tidak ingin Araf melihat kelemahannya. “Aku enggak butuh siapa-siapa,” ujarnya dingin. “Kamu enggak perlu repot-repot.”
Araf menghela napas panjang. Ia membiarkan keheningan menggantung di antara mereka sejenak sebelum akhirnya berkata, “Mungkin kamu enggak butuh aku. Tapi aku yakin kamu butuh seseorang.”
Cintia tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, matanya menatap ke arah laut yang gelap di kejauhan. Ombak bergemuruh, seolah menjadi saksi bisu pertarungan batinnya. Araf menunggu, tapi jawaban itu tak pernah datang. Ia akhirnya melangkah pergi, meninggalkan Cintia sendirian.
Pagi itu, toko sepi seperti biasanya. Cintia berdiri di belakang meja kasir, memainkan ujung kain kerudungnya dengan gelisah. Pikirannya terus melayang ke malam sebelumnya. Ia membenci dirinya sendiri karena membiarkan Araf pergi tanpa penjelasan. Tapi ia juga tahu, ia tidak bisa membiarkan dirinya terlihat lemah di depannya.
“Cin, kamu kenapa, sih? Dari tadi diem aja,” tanya Bu Rini sambil meletakkan setumpuk kerupuk di rak. Wanita paruh baya itu menatap Cintia dengan alis terangkat.
“Enggak apa-apa, Bu,” jawab Cintia singkat.
Bu Rini mendecak. “Kamu tuh masih muda, jangan terlalu banyak mikir. Nanti keburu tua sebelum waktunya.”
Cintia hanya tersenyum tipis. Ia tahu Bu Rini bermaksud baik, tapi ia tidak punya energi untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Lagi pula, apa yang bisa ia katakan? Bahwa ia hampir saja membiarkan satu-satunya orang yang peduli padanya pergi? Bahwa ia terlalu pengecut untuk mengakui bahwa ia membutuhkan Araf?
Tiba-tiba, bel pintu toko berdenting. Cintia menoleh, dan jantungnya hampir melompat ketika ia melihat siapa yang masuk.
Araf.
Namun, kali ini ada yang berbeda. Ia tidak menyapa seperti biasa, tidak memberikan senyum hangatnya yang biasa membuat Cintia merasa sedikit lebih ringan. Ia hanya mengangguk singkat sebelum berjalan ke rak minuman di sudut toko.
Cintia merasa ada sesuatu yang berat di dadanya. Ia ingin menyapa, tapi lidahnya terasa kelu. Ia hanya bisa berdiri di belakang meja kasir, memperhatikan Araf dari kejauhan.
“Cin, itu si Araf, kan?” bisik Bu Rini sambil menyikut lengan Cintia. “Dia kok kayaknya agak beda, ya? Biasanya ramah banget.”
Cintia tidak menjawab. Ia hanya memperhatikan Araf yang berjalan ke meja kasir dengan sebotol air mineral di tangannya.
“Pagi,” kata Araf singkat sambil meletakkan botol itu di meja.
“Pagi,” balas Cintia pelan. Tangannya gemetar saat mengambil uang dari tangan Araf. Ia tidak berani menatap matanya.
Araf mengangguk lagi sebelum berbalik dan melangkah keluar. Cintia hanya bisa menatap punggungnya yang perlahan menghilang di balik pintu.
Malam itu, Cintia duduk di tepi tempat tidurnya, menatap kosong ke dinding. Ia memegang sebuah kertas lusuh di tangannya—rencana balas dendam yang telah ia susun selama bertahun-tahun. Nama-nama orang yang telah menyakitinya tertulis di sana, termasuk Luna dan ayahnya.
Ia mengingat wajah Luna, senyum sombongnya saat merundung Cintia di sekolah. Ia mengingat ayahnya, tangan kasarnya yang meninggalkan memar di kulitnya. Ia mengingat semua rasa sakit yang mereka sebabkan, dan amarah itu kembali membakar dadanya.
“Enggak ada yang peduli sama kamu, Cin,” gumamnya pada diri sendiri. “Mereka semua cuma mau ngelihat kamu menderita.”
Tapi kemudian ia teringat pada Araf. Pada cara ia menatapnya, seolah ada sesuatu di dalam dirinya yang masih layak untuk diperjuangkan. Ia teringat kata-katanya, “Aku mau ngerti. Kalau kamu biarin aku ada di sini.”
Cintia menghela napas panjang. Ia tahu ia tidak bisa terus hidup seperti ini. Tapi ia juga tahu ia belum siap untuk melepaskan dendamnya.
Dengan tangan gemetar, ia melipat kertas itu dan menyelipkannya di bawah bantalnya. “Besok,” bisiknya. “Besok aku akan mulai.”
Pagi itu, Cintia berdiri di depan sebuah rumah besar dengan pagar besi yang tinggi. Ini adalah rumah Luna, mantan pembully-nya yang kini hidup sebagai seorang wanita sukses. Cintia menyelipkan amplop cokelat ke dalam kotak surat sebelum melangkah pergi.
Di dalam amplop itu, ada foto-foto Luna dari masa lalu—foto-foto yang menunjukkan sisi gelap hidupnya yang selama ini ia sembunyikan. Cintia tahu bahwa jika foto-foto itu tersebar, reputasi Luna akan hancur.
“Ini baru permulaan,” gumam Cintia sambil tersenyum tipis.
Namun, saat ia berjalan menjauh dari rumah itu, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Perasaan bersalah mulai merayap ke dalam hatinya, tapi ia menepisnya. “Dia pantas mendapatkan ini,” ujarnya pada diri sendiri.
Araf kembali ke toko beberapa hari kemudian, dan kali ini ia tidak bisa menahan rasa penasarannya. Ia memperhatikan Cintia yang tampak lebih gelisah dari biasanya. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara ia berbicara, dalam cara ia menghindari tatapan Araf.
“Cin, kamu baik-baik aja?” tanya Araf akhirnya.
Cintia mengangguk cepat. “Aku baik-baik aja.”
“Bener?” Araf memiringkan kepalanya, mencoba mencari jawaban di wajah Cintia. “Soalnya aku ngerasa kamu kayak... ada yang kamu sembunyikan.”
Cintia membeku sesaat sebelum akhirnya berkata, “Enggak ada yang aku sembunyiin.”
Araf tidak yakin, tapi ia memutuskan untuk tidak memaksa. Ia tahu bahwa memaksa hanya akan membuat Cintia semakin menjauh. Tapi di dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi. Sesuatu yang melibatkan masa lalu Cintia.
Malam itu, Cintia menerima pesan di ponselnya. Sebuah pesan dari Luna.
“Kita perlu bicara. Aku tahu apa yang kamu lakukan.”
Cintia menatap layar ponselnya dengan mata melebar. Jari-jarinya gemetar saat ia membaca pesan itu berulang kali. Bagaimana Luna bisa tahu? Apakah rencananya telah gagal?
Di saat yang sama, bel pintu toko berbunyi. Cintia menoleh dan melihat Araf berdiri di sana, wajahnya serius.
“Kita perlu bicara,” kata Araf pelan.
Cintia menatapnya, hatinya berdebar kencang. “Tentang apa?”
Araf memandangnya lama sebelum akhirnya berkata, “Tentang kamu... dan apa yang sebenarnya kamu rencanakan.”
tetel semangat ya Cintia
jadi Mak yg merasa takut tauuu
ambil hikmah dari kejadian dlu. it yg membuat km bertahan smpe skg
sebenarnya Cintia mimpi mu adakah gambaran yg terjadi kelak,rasa luka yg membawa dendam dan rasa dendam yg akan membawa celaka
apa sakit thor
mampir juga ya di cerita aku