Bella, seorang gadis ceria berusia 21 tahun, diam-diam menyukai Alex, pria berusia 33 tahun yang sukses menjalankan perusahaan keluarganya. Perbedaan usia dan status sosial membuat Bella menyadari bahwa perasaannya mungkin hanya akan bertepuk sebelah tangan. Namun, ia tak bisa mengingkari debaran jantungnya setiap kali melihat Alex.
Di sisi lain, Grace, seorang wanita anggun dan cerdas, telah mencintai Alex sejak lama. Keluarga mereka pun menjodohkan keduanya, berharap Alex akhirnya menerima Grace sebagai pendamping hidupnya. Namun, hati Alex tetap dingin. Ia menolak perjodohan itu karena tidak memiliki perasaan sedikit pun terhadap Grace.
Ketika Alex mulai menyadari perhatian tulus Bella, ia dihadapkan pada dilema besar. Bisakah ia menerima cinta dari seorang gadis yang jauh lebih muda darinya? Ataukah ia harus tetap berpegang pada logika dan mengikuti kehendak keluarganya? Sementara itu, Grace yang tak ingin kehilangan Alex berusaha sekuat tenaga untuk memiliki Alex.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketakutan yang Menyesakkan
Langkah kaki Alex menggema di lorong rumah sakit. Napasnya memburu, dadanya terasa sesak oleh rasa bersalah yang menghantam tanpa ampun. Baru saja ia membentak ayahnya, dan detik berikutnya, pria yang selama ini menjadi panutannya jatuh dengan tangan mencengkeram dada.
Di sampingnya, ibunya berjalan dengan wajah pucat, air mata terus mengalir. Suasana rumah sakit terasa lebih mencekam dari biasanya, seakan waktu bergerak lebih lambat.
Pintu UGD tertutup rapat. Sial, kenapa lama sekali?! Alex mengepalkan tangannya, menghantam dinding di belakangnya.
"Alex... jangan begitu, Sayang," suara ibunya bergetar.
Alex menarik napas panjang, mencoba menahan emosi yang semakin bergejolak. Saat itu juga, pintu UGD terbuka. Seorang dokter spesialis jantung keluar dengan ekspresi serius.
"Dok, bagaimana keadaan ayah saya?" suara Alex terdengar tegang.
Dokter melepas maskernya. "Kami sudah menangani serangan jantungnya. Untungnya, ini masih tahap awal, tidak sampai menyebabkan kerusakan permanen. Tapi beliau harus dirawat intensif."
Alex merasakan tubuhnya melemas. "Apakah ini berbahaya, Dok?"
"Jika stresnya tidak dikendalikan, kemungkinan serangan berikutnya bisa lebih parah. Untuk saat ini, beliau stabil, tapi harus istirahat total."
Ibunya langsung menangis, tubuhnya nyaris limbung kalau saja Alex tidak segera menangkapnya.
"Mom, Dady bakal baik-baik aja..." menenangkan ibunya, meskipun dalam hatinya sendiri ia merasa dihantui ketakutan.
Perawat datang memberi tahu bahwa ayahnya sudah dipindahkan ke ruang ICU. Mereka belum bisa bertemu, tapi bisa melihatnya sebentar dari balik kaca.
Alex berjalan menuju ruangan tersebut, menempelkan tangannya ke kaca bening yang memisahkan mereka. Di dalam, ayahnya terbaring lemah dengan selang infus terpasang di tangannya. Inikah akibat dari emosiku tadi? Aku yang membuatnya seperti ini...
Saat itu juga, ponselnya bergetar di saku. Dengan enggan, Alex mengeluarkannya. Nama yang tertera di layar membuat rahangnya mengeras—Grace.
Alex menutup mata sejenak, lalu menekan tombol merah tanpa ragu.
Sekarang bukan waktunya. Ada hal yang jauh lebih penting dari perjodohan konyol itu.
Ibu Alex yang duduk di sebelahnya melirik. "Siapa?" tanyanya pelan.
"Grace," jawab Alex datar, tanpa niat menjelaskan lebih jauh.
"Kenapa tidak diangkat? Setidaknya dia peduli, kan?"
Alex menghela napas berat, menutup matanya sejenak. "Mom, aku sedang tidak ingin bicara dengannya. Bisa Mommy saja yang kasih tahu orang tuanya? Bilang kalau kita di rumah sakit menemani Daddy."
Ibu Alex menatap putranya dengan tatapan penuh pengertian. Setelah beberapa detik, ia mengangguk pelan. "Baiklah, biar Mommy yang telpon."
Namun, belum sempat ibunya mengambil ponsel, getaran kembali terasa di saku Alex. Kali ini sebuah pesan muncul di layar:
"Alex, kenapa kamu nggak jawab? Kamu di mana? Aku khawatir."
Alex menatap pesan itu sekilas, lalu mengunci ponselnya tanpa niat membalas. Saat ini, satu-satunya hal yang ada di pikirannya hanyalah ayahnya. Bukan Grace, bukan perjodohan, bukan yang lain.
_____
Di ruang tunggu rumah sakit, Alex duduk dengan wajah letih. Matanya menatap kosong ke lantai, pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran tentang ayahnya. Ponselnya terus bergetar, nama Grace muncul di layar.
Ibunya menghampirinya. "Alex, biar mommy saja yang mengabarkan ke keluarga Grace sekarang. Kasihan, Grace pasti bertanya-tanya kenapa kau tidak menjawab teleponnya."
Alex tidak menjawab, hanya mendesah panjang dan mengangguk pelan.
____
Beberapa saat kemudian, suara langkah cepat terdengar di lorong. Keluarga Grace datang.
Grace yang mengenakan gaun berwarna krem langsung menghampiri Alex. Matanya terlihat cemas, tapi juga ada kilatan harapan di sana.
"Alex..." suaranya lembut, mencoba menarik perhatian pria itu.
Alex menoleh sekilas, tapi tanpa ekspresi.
"Aku dengar dari Mama. Bagaimana keadaan Daddymu?" tanyanya hati-hati.
"Sudah ditangani dokter," jawab Alex datar.
Grace duduk di sampingnya, mendekat sedikit. "Aku bisa bantu apa?"
Alex mengusap wajahnya, jelas terlihat ia sedang berada di titik jenuh.
"Nggak perlu, Grace. Aku bisa urus sendiri."
Grace menggigit bibirnya, menahan rasa kecewa. Kenapa pria ini selalu memasang dinding yang begitu tinggi?
Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda dari Alex. Dia tidak hanya dingin, tapi juga terlihat... kosong.
Di dalam hatinya, Grace sadar, ini adalah kesempatan untuk mendekatinya. Saat seorang pria sedang lelah dan rapuh, itulah saatnya seorang wanita bisa masuk ke hatinya.
Ia menyentuh lengan Alex pelan. "Aku di sini, Alex. Kapan pun kau butuh seseorang untuk berbagi, aku siap mendengarkan."
Alex menoleh sekilas, "makasih Grace..."
Suasana rumah sakit terasa hening. Lampu-lampu putih bersinar terang, tapi tak bisa menghapus bayang-bayang kecemasan di wajah Alex.
Orang tua Grace menghampiri Alex dengan ekspresi khawatir.
"Alex, kami sangat prihatin dengan kondisi ayahmu." Kata ayah Grace, menepuk pundaknya dengan penuh simpati.
"Dokter bilang beliau harus dirawat beberapa hari," jawab Alex singkat, suaranya terdengar lelah.
Ibunya Grace menatap Alex dengan iba. "Alex, kamu harus tetap kuat. Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri."
Alex hanya mengangguk. Pikirannya masih tertuju pada kondisi ayahnya.
Lalu, ayah Grace menatap putrinya.
"Grace, temani Alex di sini. Dia butuh seseorang untuk mendukungnya."
"Tentu, Pa," jawab Grace cepat, tanpa ragu sedikit pun.
Tapi Alex tetap diam. Ia tidak mengatakan iya, tidak pula menolak. Wajahnya kosong, hanya ada lelah dan kegelisahan.
Beberapa saat kemudian, Alex berbalik ke arah ibunya.
"Mom, lebih baik Mommy pulang dulu. Nanti biar aku minta supir yang menjemput."
"Tapi, Alex, mommy ingin tetap di sini..."
"Aku ada di sini, Mom. Kalau ada apa-apa, aku pasti kabari."
Dengan berat hati, ibunya akhirnya menurut dan pergi.
Di ruang tunggu yang sepi, Alex akhirnya menyerah pada kelelahan dan tertidur di kursi.
Di sebelahnya, Grace tidak bergerak. Ia hanya diam, menatap Alex dalam-dalam.
Wajahnya terlihat lebih damai saat tidur. Lekukan tajam rahangnya, bulu mata yang tebal, serta bibirnya yang sedikit terbuka membuatnya terlihat begitu... menarik.
Tak sadar, jemari Grace bergerak, hampir menyentuh pipinya. Tapi ia menahan diri.
"Cintai aku, Alex... Dua puluh tahun aku menunggu cintamu."
Matanya menyipit. Jangan sampai kau terus menolaknya. Jangan sampai aku melakukan hal yang tak pernah kau duga...
Karena kali ini, aku tidak akan kalah.
*****
Hai readers... penasarankan kelanjutannya... like dan komen ya..novelku 🥰