Tegar adalah seorang ayah dari dua anak lelakinya, Anam si sulung yang berusia 10 tahun dan Zayan 6 tahun.
Mereka hidup di tengah kota tapi minim solidaritas antar sekitarnya. Hidup dengan kesederhanaan karena mereka juga bukan dari kalangan berada.
Namun, sebuah peristiwa pilu membawa Tegar terjerat masuk ke dalam masalah besar. Membuat dirinya berubah jadi seorang pesakitan! Hidup terpisah dengan kedua anaknya.
Apakah yang sebenarnya terjadi? Bisakah Anam dan Zayan melalui jalan hidup yang penuh liku ini? Jawabannya ada di 'Surat Terakhir Ayah'
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dfe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebakaran
Sudah sepuluh hari berlalu sejak perginya Tegar dari sisi anak-anaknya, sejak saat itu pula semua berubah. Semua berbeda, tidak akan ada yang sama lagi untuk Anam dan Zayan.
Gara-gara insiden uang seratus ribu itu, Anam tidak lagi memperbolehkan Zayan membelanjakan uang pemberian Aji. Cukup! Biarkan uang itu tetap di sana. Tidak hanya menimbulkan masalah tapi juga akan mengundang fitnah untuk mereka! Masih dengan prasangka buruk orang-orang terhadap mereka, dapat dari mana uang sebanyak itu? Sedangkan mereka hanya anak kecil yang tinggal berdua tanpa pendampingan orang tua!
Oleh sebab itu, Anam memutuskan untuk rajin mengumpulkan barang bekas. Uangnya bisa mereka pakai untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Dan mereka lebih memilih belanja di warung dekat sekolah Anam saja, karena di warung Marpuah.. Mereka tidak akan dilayani. Yang ada diusir lagi! Tidak masalah tidak bisa berbelanja di sana, warung di tempat mereka bukan hanya milik Marpuah saja! Masih banyak warung lain, yang mau melayani kebutuhan mereka.
"Bang, nanti aku bawa karung sendiri ya bang."
Zayan berbicara ketika sudah menyelesaikan sarapannya. Nasi putih dengan lauk tepung bumbu kemasan seribuan yang dicampur tepung terigu dan sedikit air lalu digoreng, cukup enak di lidah Zayan. Sayang, minyak yang dipakai terlalu sedikit sehingga ada bagian yang belum matang sempurna. Tidak masalah bagi Zayan, itu sudah sangat enak. Dari pada nasi campur garam!
"Nggak Za. Kamu ikut abang aja itu udah bikin abang khawatir, nggak usah aneh-aneh ikut mulung segala. Kamu disuruh di rumah aja sama bi Ria nggak mau, tapi malah pengen ikut mulung.. Kalau kecapean lalu sakit, siapa yang repot hmmm?"
Anam bicara sambil membereskan buku-buku sekolahnya. Aah, dia melupakan sesuatu.. Kemarin wali kelasnya memberi tahu jika hari ini Anam harus sudah melunasi tunggakan buku-buku sekolahnya karena akan dilakukan ujian tengah semester. Semua murid yang belum melunasi sisa pembayaran tersebut, dipastikan tidak boleh ikut ujian sekolah. Sudah menjadi peraturan seperti itu, mau protes pada siapa?
"Kenapa bang?" Zayan menghampiri Anam yang terlihat bengong, melamunkan sesuatu.
"Hmm nggak. Udah makannya? Kita berangkat sekarang Za."
Zayan mengikuti langkah kaki abangnya. Sebelum pergi, Anam mengunci pintu terlebih dahulu. Bukan takut kemalingan atau apa, di dalam sana juga tidak ada satu pun benda berharga yang mungkin bisa menarik minat pencuri untuk mengambil barang mereka. Hanya sebuah kebiasaan saja. Tidak lengkap jika pergi tanpa mengunci pintu rumah, itu saja.
Sambil berjalan, Zayan bercerita tentang Lusi yang datang ke rumah mereka untuk bermain bersama tapi Marpuah langsung menarik Lusi agar bocah itu pulang ke rumah. Masih segar dalam ingatan, kala Anam mendorong Riki dan menginjak-injak mulut suaminya itu, tidak akan Marpuah biarkan bocah yang sudah kurang ajar pada suaminya, bebas bermain dengan anaknya.
"Orang Lusi sendiri kok bang yang nyamperin aku. Aku nggak ngajak dia main." Tutur Zayan dengan nada polos.
"Iya, biarin aja. Yang penting kamu jangan main ke rumahnya ya. Apalagi beli apapun di sana, bisa dimarahi lagi nanti." Sok dewasa. Tapi mau bagaimana, nyatanya tidak ada orang dewasa yang bisa menasehati Zayan saat ini. Hanya Anam yang Zayan punya.
"Iya bang. Bang.. Tadi abang nggak sarapan, kenapa?" Tanya Zayan sambil menatap ke arah abangnya.
"Nanti telat Za. Kan kita jalan kaki, kalo masih dipake buat sarapan, abang bakal telat masuk sekolahnya."
Bohong! Nasi hanya cukup untuk satu orang saja. Anam rela tidak makan asal adiknya tidak merengek kelaparan. Dia sudah terbiasa puasa, sedangkan Zayan.. bocah itu masih kecil untuk bisa menahan rasa laparnya. Dan Anam pikir, Zayan tidak mungkin kuat jika harus menunda jam makannya. Meski tidak serewel dulu, yang namanya anak kecil mana bisa disuruh menahan lapar tanpa alasan?
"Bang.." panggil Zayan pelan.
"Iya."
"Abang tau kan bohong itu dosa, kenapa abang bohong?"
Kali ini Anam terdiam. Dia tahu apa yang akan Zayan bicarakan. Anam menghela nafas panjang, lalu mengusap rambut Zayan yang lupa disisir.
"Nanti keramas. Rambut kamu kucel banget." Anam berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Keramas pakai sabun mandi?" Tanya Zayan.
"Hmm, asal jangan pakai deterjen aja." Jawab Anam.
"Kenapa bang?" Zayan penasaran.
"Karena nggak ada. Habis buat nyuci baju semalem."
Zayan manggut-manggut saja. Dia pikir, tidak boleh mencuci rambut dengan deterjen karena memang di rumahnya tidak ada. Misal ada, pasti sangat bagus! Dia bisa menggunakan sabun itu untuk semua hal. Untuk mencuci baju, mencuci piring, keramas juga boleh.. Karena busanya banyak, serta wangi!
Terlepas dari pembicaraan anak-anak kecil polos itu, di rumah Marpuah.. Dia sedang menghangatkan sayur opor yang dia bikin sore tadi. Sengaja dia buat di awal agar bumbu meresap ke ayam nanti saat di makan.
Wanita itu lalu pergi ke depan kompleks bersama Lusi, anaknya yang berusia enam tahun untuk mencari lauk berupa gorengan, dia malas membuat sendiri, repot! Pikirnya. Biasanya tukang gorengan ada di ujung jalan. Dari pada berjalan memakan waktu lama, Marpuah memilih menggunakan motor saja. Lebih mempersingkat waktu.
Di jalan, Marpuah melihat dua anak kecil yang sangat dia benci. Sengaja! Melihat genangan air yang akan dilewati kedua bocah di depannya, Marpuah sengaja menarik gas agar bisa memberikan efek cipratan noda ke baju anak-anak kecil itu.
Dan benar saja, tanpa salah perhitungan sedikitpun.. Marpuah berhasil membuat kedua anak itu terkena air dan lumpur oleh ulahnya. Tertawa dia di atas sepeda motor, sambil mengejek kedua bocah di sampingnya.
"Ya ampuuuun.. Kok bisa sih kecipratan air got kayak gitu? Belum mandi pasti ya.. Ulululuuuuu, Rasain!!! Emang enaaaak??? Hahahahaaaaaa." Tawa lampir Marpuah membuat kedua bocah itu mengeram kesal. Terutama sang adik yang sudah hampir menangis karena ulah Marpuah.
"Udah Za, nggak apa-apa.. Abang bawa baju ganti di tas. Nanti sampai sekolahan, kamu ke toilet buat ganti baju ya." Kata Anam berusaha menenangkan.
"Terus seragam abang gimana? Kok ada orang jahat banget kayak gitu sih bang? Emang kita salah apa sama dia bang?" Zayan berusaha menahan tangisnya.
Beberapa orang yang melihat kelakuan Marpuah sampai ada yang beristighfar saking minus akhlak nya, kok bisa orang tua tapi kekanakan kayak gitu? Mungkin itu bukan lagi kekanakan tapi kelewatan!
Tidak terasa Marpuah sampai juga di penjual gorengan. Dia kalap mata, membeli apapun yang sekiranya bisa menyenangkan hatinya. Tidak kemakan juga nggak apa-apa, kan dia punya uang! Bisa beli ini itu seperti yang dia mau, terserah mau borong se gerobak-gerobaknya juga nggak apa-apa kan?
"Mama, kenapa tadi nyipratin air kotor ke baju bang Anam sama Zayan? Kasihan mereka ma.." Lusi berceloteh pada ibunya.
"Alah, kamu anak kecil tau apa?! Awas ya, kalo kamu berani main lagi sama si Zayan atau Anam itu, mama potong kaki kamu biar nggak bisa keluar rumah!!"
Entah itu hanya gertakan atau memang seperti itu cara Marpuah mendidik anaknya, yang ditangkap oleh anak enam tahun itu dari ucapan ibunya adalah ibunya memang bersungguh-sungguh akan memotong kakinya jika dia nekat bermain dengan Anam dan Zayan.
Terdengar ledakan keras. Marpuah yang asik berbincang dengan pedagang gorengan jadi terkejut dibuatnya. Ah, paling-paling bunyi anak-anak main petasan. Pikirnya.
Dan setelah selesai dengan belanja gorengan, ghibah tipis-tipis bersama para emak lain dan penjual gorengan, Marpuah memutuskan untuk pulang ke rumah. Rasanya senang sekali hatinya. Yang pertama dia bisa sarapan enak pagi ini, dan yang kedua bisa membuat anak-anak Tegar kelimpungan karena baju mereka terkena noda lumpur oleh ulahnya.
Namun saat baru sampai di jalan menuju arah rumahnya, ada keramaian yang membuat dirinya ikut penasaran.
"Ada apa pak? Ada apa??" Marpuah bertanya pada tetangganya yang berlarian membawa ember.
"Ya Allah, ini Marpuah di sini! Mar... Rumah sama toko mu kebakaran!! Ada suara ledakan keras tadi, lalu api muncul dan menghanguskan rumah mu Mar!" Pekik tetangga Marpuah memberi informasi.
"APA?? NGGAK MUNGKIN.. RUMAHKUUU....!!!!"
Marpuah meninggalkan motornya, meninggalkan Lusi yang berteriak ketakutan. Lusi menangis memanggil ibunya, tapi Marpuah lebih histeris karena tahu rumah dan tokonya yang kena amukan si jago merah!
"SUAMIKU DI DALAM... TOLOOOONG, TOLONG SIAPAPUN.. SUAMIKU MASIH ADA DI SANAAA... HUAAAAHUAAAHUAAAAAAA!"
Tangis lolongan Marpuah tidak membuat api itu meredup. Malah semakin meluas saja. Bunyi ledakan lebih keras terdengar, mungkin api menyambar gas gas lain yang ada di dalam toko tersebut. Warga jadi takut mendekat, jangankan untuk menyelamatkan Riki, untuk menyelamatkan diri mereka sendiri saja masih untung bisa mereka lakukan. Sebab rumah mereka hampir saling berhimpitan dengan rumah lain. Mereka takut api cepet membesar dan merembet meluluhlantakkan hunian mereka.
Kalau sudah seperti ini, apa yang mau di sombongkan?
arogan bener jadi manusia, udah kek Fir'aun bae
bukan nyari muka
seperti kata kong abut berubah lebih baik untuk kalian sendiri
bulu apa ini 🤔🤔🤔